Melompat dan Hap

171 29 2
                                        

     Dunia dibagi menjadi dua. Ada siang ada malam, ada gelap ada terang. Begitupun dengan manusia. Adakalanya mereka semua berdiri dengan kuasaan dan ada pula yang berusaha untuk bangkit, ada yang senang ada yang sedih. Begitu yang dirasakan Shabir saat ini.

     Tangannya kembali memukul dinding yang sudah hampir rapuh cat-nya. Sudah beberapa jam ia dalam posisi seperti itu. Tidak pernah sekalipun untuk keluar dari dalam kamarnya atau menyahut ucapan nenek itu. Ia benar-benar marah dan kecewa dengan keadaanya saat ini. Sekarang Shela hilang dan dia tidak dapat lagi melihatnya.

     Sekejap ia beralih dan mengambil sesuatu dari atas nakas di samping kasur. Ia memanantapkan langkahnya dan tahu harus ke mana ia pergi sekarang. Kartu yang berisikan password kependudukannya. Ia mengambil jaket yang tergantung di dinding kamar dan memakainya. Perlahan tangannya membuka pintu dan memunculkan sosok nenek-nenek.

     "Ka-kau akan pergi ke mana?" ucap nenek itu sembari menopang sebuah piring di tangan kanannya.

     Nenek itu menggerakkan tangannya dan menarik lengan jaket Shabir. Shabir menatapnya tajam kemudian dihempaskan begitu saja tangan nenek itu.

      "Ibu tidak perlu tahu." Shabir merapihkan pakaiannya dan pergi meninggalkan nenek itu.

      Nenek itu berusaha untuk mengejar Shabir, namun karena kain sarinya lupa untuk diangkat jadinya sepiring bunga yang dia bawa terjatuh dan berantakan di atas lantai.

      "Jangan pergi!" teriaknya namun tidak di dengar Shabir.

      Majunda yang mendengar nenek itu berteriak lantas keluar dari dalam kamarnya dan meninggalkan Shabul untuk sementara waktu. Ia menganga ketika melihat nenek itu terjatuh dengan bunga di sampingnya.

     "Ya ampun ibu, kenapa kau malah bermain drama saat sedang dalam keadaan seperti ini!" Ia menepuk jidat lantas menuruni tangga dan membantu nenek itu berdiri.

      Shabir berjalan di antara debu yang berterbangan. Pemandangan biasa yang sering ditunjukan kota Punjabi membuatnya acuh dengan keadaan sekitar. Sebuah taxi melintas di hadapannya dan dengan segera Shabir memberhentikannya. Ia masuk ke dalam dan pergi meninggalkan keramaian.

     "Bandara Punjabi," ucapnya mendapatkan sebuah anggukan dari sopir melalui spion.

       Shabir menatap ke arah luar, berdoa agar matahari tidak surup sebelum harapannya terkabul. Tangannya meraba-raba saku celana dan menemukan ponsel yang jarang ia gunakan. Shabir mengangkat ponsel itu dan menekan beberapa nomor kemudian menempelkannya di samping telinga.

     Tetapi sesuatu yang buruk membuat jempolnya seretak menekan tombol pemutus sambungan telepon. Ia menunduk kemudian menatap layar ponselnya. Nomor yang bertuliskan Sadiah My Good itu menjadi saksi akan matanya yang hendak menetes.

     Sebuah perasaan bersalah itu kembali menusuk hatinya. Ia merasa dirinya tidak berguna sama sekali. Sekarang Sadiah telah pergi dan tidak akan ada lagi masakan Palestina atau senyum manisnya. Semua itu sirna karena sikapnya sendiri.

     "Berapa lama lagi untuk sampai di sana?" tanya Shabir sembari memasukan ponselnya ke dalam saku celana.

     "Tidak jauh lagi, sebentar lagi akan sampai di sana."

      Shabir menoleh pada samping sebelah kiri. Dilihatnya tiga anggota keluarga di atas satu motor yang sama seperti miliknya. Sesal itu seketika kembali menusuk hatinya hingga sampai di bandara pun rasanya tidak pernah mau untuk pergi.

      "Ambilah ini!"

      "Uangnya terlalu banyak_"

      "Ambil saja."

       Shabir melangkah turun dari dalam taxi itu. Ia segera melangkah dari dalam taxi itu dan berlari menghampiri loket pembayaran.

       "Satu tiket ke Yerusalem hari ini!" ucapnya tanpa jeda.

       "Maaf pak, pesawat itu sudah berangkat 3 jam yang lalu."

       Shabir memukul papan di depannya. Ia lekas berbalik dan duduk di samping seorang pria beruban yang sedang membaca Al-Qur'an. Ia meremas rambutnya dan memijat kepala. Keadaan seperti itu sangat tidak ia suka. Ia benci dengan semua keadaan yang tidak pernah memberikan napas bahagia untuknya. Terlebih ketika harus mengunjungi Negara yang penuh dengan bom itu. Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.

     "Assalamualaikum," ucap pria beruban itu merasa iba melihat Shabir yang mengeluh.

     "Waalaikumusalamm." Shabir menaikan pandangannya dan menatap pria itu.

     "Apa yang terjadi? Mungkin kau bisa sedikit cerita, siapa tahu aku bisa membantumu."

      Shabir menarik napas panjang kemudian membuangnya, "Aku harus menyelamatkan putriku di Palestina. Tetapi pesawat ke sana sudah pergi 3 jam yang lalu. Aku-aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan."

      "Kau bisa menggunakan tiket punyaku." Pria beruban itu menyodorkan sebuah kertas berbentuk persegi panjang. "Itu tujuanku ke Pakistan. Kau boleh menggunakannya."

      "Tapi aku tidak akan pergi ke Pakistan."

      "Gunakan tiket itu untuk pergi ke Palestina. Maksudku, kau terbang dari sini menuju Pakistan dan saat di sana kau masuk ke pesawat yang lain, yang tujuannya Yerussalem."

      Shabir menatap semua itu tidak percaya. Ia seperti merasakan sesuatu yang menyesak di dadanya hilang karena pria itu. Shabir senang sekali. Bola matanya berbinar, tangisannya yang tidak terdengar pun hilang terganti kebahagiaan.

     "Ta-tapi bagaimana denganmu?"

     "Tidak masalah. Aku akan pergi ke Pakistan lain kali."

      "Terimakasih, tapi kenapa kau memberikan tiket ini padaku?"

       "Aku hanya iba padamu. Aku tidak bisa membiarkan seorang ayah harus berhenti untuk menyelamatkan putrinya." Pria itu menarik napas sebentar. "Pesawatnya akan berangkat 1 jam lagi." ucapnya sembari tersenyum dan membuat napasnya terbuang dengan sempurna.

     "Terimakasih! Aku sangat berterimakasih!"

      Pria beruban itu mengangguk dan kembali pada Al-Qur'an yang di bacanya. Shabir menatap nanar ke depan kemudian beralih pada ponselnya begitu secara berulang-ulang. Hingga pada Akhirnya tepat 15 menit lagi sebelum satu jam, ia berdiri dari duduknya.

     "Aku pergi dulu," ucapnya kemudian berlari menghampiri beberapa orang yang sedang menerima tiket.

     Ia memberikan tiket itu dan berlari menghampiri pesawat yang sesuai dengan tujuannya. Kini sebuah pesawat dengan goresan biru itu menjadi tempatnya untuk masuk. Tangga yang keluar dari badan pesawat membuatnya lekas naik dan duduk sesuai nomor yang tertera pada tiketnya. Ia duduk jauh dari jendela dan menyandarkan punggung pada kursi pesawat.

      Beberapa menitpun berlalu dan di samping duduk seorang wanita yang mengenakan kerudung merah. Itu mengingatkannya akan sosok Sadiah yang selalu membuatnya tersenyum. Beberapa guncangan kecilpun menjadikan pengalaman biasa dan pesawat itu lepas landas. Pergi meninggalkan kota Punjabi.

     Bola matanya bergerak dan melirik wanita di sampinya. Dilihatnya beberapa tulisan arab yang dibaca wanita itu. Seketika hatinya merasakan sakit kembali ketika menyadari bahwa Sadiah juga sering melakukan itu. Ia terkesiap, kemudian duduk dengan nyaman mendengarkan lantunan ayat Al-Qur'an yang dibaca wanita itu.

     Tidak butuh waktu lama akhirnya pesawat itu turun mengingat jarak antara India dan Pakistan tidak akan lama jika ditempuh melalui jalur udara. Shabir segera keluar dari dalam pesawat kemudian menghampiri loket pembayaran.

🕊️🕊️🕊️

PALESTINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang