Rembulan merangkak dalam gelap bermandikan bintang yang terus bersamanya. Berulang kali ia menggerakkan cahayanya agar Zehhad mengikutiku jalan yang baik. Tetapi rencanya kandas tanpa berhasil sama sekali. Ia menurunkan senyumnya, berharap agar Zehhad baik-baik saja.
"Peganglah tanganku," ucap orang itu sembari mengulurkan tangan pada Sizan.
Sizan tertawa senang. Ia menatap lekat-lekat mata yang keluar dari bolong topeng itu. Sizan tersenyum, kemudian menghempaskan tangan ke udara dan memegang tangan orang itu.
"Apakah kau siap?" tanya orang itu sembari menoleh pada Sizan.
"Tentu saja! Kita berjuang di jalan yang benar, benar kan Zehhad?" Sizan menyikut Zehhad namun hanya mendapat Senyuman tipis tanpa satu kalimatpun.
Pintu lift itu terbuka dan mereka melangkah keluar menghampiri pintu yang terbuka lebar. Sizan masih tetap pada posisinya. Tersenyum bahagia karena berhasil keluar dari tempat itu. Sesekali ia menyenggol Zehhad agar berbicara dengan orang di sampingnya. Tetapi Zehhad tetap bergeming dan diam tanpa respon apapun.
"Kau masih memegang benda itu kan?" Orang itu mendongkakkan kepalanya dan menghentikan perjalan.
"Ya, benda ini tidak pernah lepas dari tanganku," tunjuk Sizan pada orang itu.
"Bagus, aku mengapresiasi keberanianmu."
Mereka kembali berjalan dan keluar dari dalam tempat itu. Beberapa polisi terlihat menodongkan pistol pada mereka semua dan orang itu diam tanpa sebab.
"Kenapa di_" Sebuah tangan bersarung hitam menutup mulut Sizan dan mendekapnya bersama dengan Zehhad.
Mereka berdua berontak untuk bisa lepas dari orang itu. Namun sepertinya tenaga mereka masih kurang dan hanya membuat orang itu tertawa keras di balik topengnya.
Tangannya bergerak dan mencabut sebuah kabel yang terpasang pada benda yang dipegang Sizan. Alat itu menunjukan beberapa angka seperti waktu. Zehhad dan Sizan tidak bisa menahan rasa takutnya, mereka tetap gigih untuk bisa lepas.
"Tembak!" teriak salah seorang polisi yang bersembunyi di balik semak-semak.
Bombh!
"Sizan!" Zehhad mendorong tubuhnya menjauhi Sizan dan meledak bersama dengan orang itu.
Sizan terpental setelah terkena dorongan kuat Zehhad. Ia duduk di atas lantai sambil mengatur napasnya yang terburu waktu. Jantungnya berdegup kencang sekali dan ia tidak dapat melihat apa yang ada di depannya.
Orang yang membekap ia telah hancur. Tubuhnya terpotong menjadi beberapa bagian. Kedua tangannya pun sudah tidak dapat dilihat lagi. Penuh dengan darah dan sangat tidak menyenangkan.
Zehhad berdiri dengan kakinya yang terasa lemas. Ia tersenyum pada Sizan dengan wajah yang kotor, penuh dengan darah. Perlahan kakinya menggontai dan mendekat pada Sizan. Setelah itu tubuhnya terbanting mengikuti gravitasi dan jatuh di atas pertahanan Sizan.
"Maaf, aku telah mendorongmu lagi," ucapnya sembari menggerakan tanga kiri yang habis terpotong dan hanya menyisakan darah sebagai bukti perjuangan.
Sizan yang duduk di atas lantai, berusaha untuk membuat tubuhnya tetap konsisten. Beberapa polisi dan tentara yang sedang mengamati lekas memasukan senapan angin yang dipegangnya dan berlari menghampiri Sizan.
Tubuhnya ditarik seiring dengan lepasnya tangan Zehhad dari bahunya. Sizan menatap nanar semua itu. Hatinya terasa sakit sekali. Ia tidak sanggup melihat Zehhad dalam keadaan seperti itu. Kedua matanya tidak pernah teralihkan menatap Zehhad yang akhirnya hilang dibawa sebuah mobil.
"Sadarlah! Kau masih hidup!"
"Sadarlah!"
"Jangan terus melamun!"
Sizan mengerjap ketika menyadari suara aneh itu berbisik di telingannya. Ia menatap sekitar dan mendapati wajah para pria sedang tersenyum padanya. Tangannya dengan lemas terulur ke depan, menerima sebuah tarikan dari pria berjaket hitam.
Tubuhnya naik ke atas punggung pria itu. Sesekali Sizan menatap pada potongan tubuh yang masih segar. Ia menutup matanya, kemudian menatap ke arah lain. Di keadaan seperti itu pikirannya tidak bisa diajak kerja sama. Berulang kali pandangannya hilang dan tanpa sadar sering melamun.
Kepalanya bergerak menatap wajah pria yang menggendongnya. Ia menutup matanya, berusaha untuk melupakan apa yang telah terjadi.
"Turunkan aku!" titahnya tapi tidak lekas membuat pria itu berhenti. "Aku kesulitan bernapas."
Sizan dimasukkan ke dalam sebuah mobil dan duduk di sana. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh isi mobil. Namun kejadian itu kembali mengingatkannya akan sosok Zehhad. Laki-laki itu telah banyak berkorban demi melindunginya.
"Alhamdulillah Allah masih menolongmu," ucap pria itu sembari memutar kunci mobilnya dan menginjak pedal gas.
Sizan tidak pernah berhenti menatap gedung peresmian. Ia menyaksikan tubuh pria itu meledak bersamaan dengan bom yang sebelumnya dia pegang. Tidak pernah terpikir kejadian itu akan merenggut sebagian mentalnya. Bahkan Zehhad kehilangan sebagian tubuhnya demi menjadi seorang pelindung.
"Aku kira kalian berdua akan menyerah, tetapi Allah memang berkehendak lain."
Sizan menatap ke bawah. Ia menunduk lesu ketika membayangkan satu-persatu kejadian menyakitkan dilihatnya secara langsung. Ia mendengar apa yang dikatakan pria itu. Tentang menyerah ia mengerti, pria itu sudah mengira dirinya akan meninggal. Tetapi nyatanya Allah memang sudah berkehendak lain. Ia selamat sedangkan Zehhad kritis.
"Apakah yang tadi itu?" Akhirnya Sizan memberanikan diri untuk berbicara.
"Teroris."
"Teroris? Apakah mereka juga bagian dari penghancur Negara ini?"
"Tidak, tujuan mereka bukan untuk menghancurkan sebuah Negara. Tetapi mereka sering beranggapan bahwa mati bunuh diri dengan membawa orang lain itu bisa membawanya masuk ke dalam surga. Tapi nyatanya tidak, bunuh diri adalah salah satu cara yang tidak Allah sukai."
Sizan menurup matanya sebentar kemudian membukanya kembali. Ia menajamkan penglihatanannya ke depan, melihat beberapa orang sedang berlarian dengan membawa tas mereka.
"Oh iya, dari tadi aku hanya terus bicara tanpa tahu siapa namamu," pria itu tertawa seperti tidak merasakan sedih yang dialami Sizan.
"Sizan Khatamalah." Zehhad menelan habis ludahnya. "Kenapa kau tertawa? Apakah kejadian seperti itu sudah sering kau alami?"
"Sebenarnya, baru kali ini aku mendapati kejadian seperti ini. Aku sering mendengar orang-orang membicarakan mereka. Aku bersikap seperti ini agar kau terhibur, agar kau melupakan kejadian itu."
Sizan memalingkan wajahnya dan menatap sisi gelap kota Gaza. Ia merapatkan kedua bibirnya sebagai tanda persembahan pada kotanya sendiri.
"Bagaimana sekarang? Apakah kau sudah merasa baikan?" tanya pria itu tapi tak sekalipun mendapatkan jawaban. Sizan hanya diam mengingat efek kejadian itu belum hilang.
Pria itu tersenyum simpul. Ia memutar kemudi dan menginjak pedal gas dengan sangat cepat menuju tempat kemiliteran.
"Ayo kita masuk ke dalam, temuilah teman-temanmu," ucapnya sembari memutar kunci dan mematikan semua mesin yang bekerja.
Sizan melangkah dengan melompat keluar dari dalam mobil itu. Aroma asap kembali membuatnya harus menutupi indra penciuman. Pria itu berjalan mengitari mobilnya dan berhenti saat bertemu Sizan.
"Aku bangga padamu." Pria itu menepuk pundak Sizan dan mereka berjalan memasuki tempat itu.
Baru kali ini ia melihat senyum seorang pembela Negara. Sizan senang bisa melihat kejadian langka itu. Tetapi Zehhad kembali mengungatkannya kejadian kelam itu. Hatinya menggebu merasakan pedih. Ingin sekali rasanya ia bertemu Zehhad yang masih sempurna. Ia mengerjap, berusaha bangun dari mimpi buruknya.
🕊️🕊️🕊️
KAMU SEDANG MEMBACA
PALESTINA
Teen FictionKisah yatim piatu yang hidup di tengah konflik dua negara. Zehhad sebagai Kakak hanya bisa memberikan dunia fantasi untuk Shela, adiknya. Ia tidak tahu kapan peperangan itu berakhir, sampai suatu saat. Perjuangan mereka untuk hidup bersama dihalangi...