Tatapannya tidak pernah sekalipun teralih pada hal lain. Ia menatap keluar melalui jendela pesawat yang kecil. Berulang kali Shabir mengajaknya untuk berbicara, tetapi ia tetap bergeming dan memasang wajah rindunya pada Zehhad.
Rembulan yang bulat sempurna itu selalu membuatnya teringat dengan Zehhad. Lengannya yang mungil mengusap permukaan kaca yang tidak terlalu luas. Ia menghembuskan napasnya pada kaca itu kemudian menulis sebuah nama.
"Aku, ingin, paman mati," ucapnya sembari menulis kata itu dengan perlahan.
Shabir menoleh dengan cepat mendengar apa yang dikatakan Shela. Ia meraih tubuh Shela dan menghapus tulisan yang belum jadi sempurna. Ia mendekap Shela dan menatap wajahnya.
"Jangan ucapkan perbuatan tidak terpuji seperti itu. Bagaimana jika itu terjadi? Kau pasti akan sangat menyesal."
"Tidak paman, paman sudah banyak berbuat jahat pada kakak."
"Dengarkan paman Shela, ini semua paman lakukan hanya untukmu. Agar kamu terlindungi dari sikap kakakmu yang tidak manusiawi. Paman sudah melakukan apa yang paman bisa. Sudahlah, lebih baik kau tidur dan paman akan membangunkanmu ketika kita sudah sampai."
Shela ia dudukan kembali pada kursi yang kosong. Kedua matanya memerhatikan sikap Shela yang berubah drastis setelah dipisahkan dengan Zehhad. Tidak pernah ada senyum di wajah yang imut itu. Cenderung meraup semua hak buruk yang tidak membuat Shabir senang.
Shabir mengambil sesuatu dari dalam saku celananya. Ia berharap apa yang ditunjukannya mampu membuat Shela senang.
"Paman mempunyai sesuatu untukmu!" ucapnya dan berhasil membuat Shela melihat benda itu.
Tangan mungil itu naik ke udara dan menepis benda kecil yang dipegang Shabir. Ia kembali pada posisi awal dan menatap keluar melalui jendela pesawat.
Perlahan senyum di wajah pria itu memudar. Ia mengalihkan pandangannya dan membungkuk, mengambil benda yang dilemparkan Shela. Hatinya mulai tersulut emosi namun pada akhirnya ia berusaha untuk tetap tenang. Benda itu dimasukan kembali ke dalam saku celana dan tatapannya tidak berhenti melihat Shela.
"Apakah kau mau minum?" tanya seorang pramugari yang membawa nampan berisi beberapa gelas kecil.
"Tidak, terimakasih," jawab Shabir sembari menggerakkan tangannya sebagai tanda maaf dan membuat pramugari itu pergi.
Beberapa jam telah berlalu namun pesawat itu masih belum mendarat. Sayup-sayup kelopak mata Shabir hendak menutup tetapi ia tetap fokus memerhatikan Shela. Ia melihat berbenah untuk membuat posisinya nyaman hingga beberapa guncangan membuat matanya kembali fresh.
Pesawat itu mendarat pada jalananan yang sangat panjang. Zehhad melempar senyum ketika Shela melihat wajahnya. Akhirnya pesawat itupun berhenti dan membuka sebuah pintu. Shabir memangku Shela dan berbaris dengan para penumpang lainnya.
Kakinya perlahan melangkah, menginjak satu-persatu anak tangga dan barganti dengan aspal. Shela tidak kembali tertidur. Ia melihat ke belakang, menyaksikan indahnya rembulan yang dikelilingi bintang.
Shabir berjalan menuju jalan raya dan menaiki sebuah taxi yang membawanya ke Punjabi. Ia kembali mendudukan Shela di kursi lainnya dan membiarkan perempuan kecil itu menatap indahnya langit yang terang karena rembulan.
"Kakak," gumamnya pelan.
Shabir menumpuk kedua lengannya dan menatap jalanan kota New Delhi yang masih ramai. Sesekali ia memerhatikan yang masih menatap ke arah luar. Bibirnya kembali tersenyum karena telah berhasil membuat Zehhad dari enyah dari kehidupannya.
"Kakak," gumam Shela kembali dan akhirnya mata sebelah kirinya meneteskan air mata.
Tangannya yang mungil kembali mengusap-usap permukaan kaca dan tangisnya tidak pernah berhenti. Rembulan itu masih bersinar, menunjukan wajah Zehhad yang hanya bisa dilihatnya. Shela menutup mata berusaha untuk berhenti menangis. Tetapi ia tidak bisa, air mata itu terus menetes membasahi pipinya dan membuat hatinya terluka.
Taxi itu berhenti di depan sebuah rumah yang penuh dengan corak Hindu. Shabir kembali memangku Shela dan membayar uang kepada supir itu. Ia melangkah keluar dan berdiri di depan pintu.
"Jangan menangis, kita sudah pulang," ucap Shabir sembari menyeka air mata di pipi Shela.
Tangannya yang besar mengetuk pintu dan membuat seorang nenek yang mengenakan tudung di kepalanya menunjukan diri. Nenek itu tersenyum melihat kedatangan Shabir yang telah lama ia nantikan.
"Hallo ibu," ucap Shabir sembari memberikan Shela pada nenek itu dan ia membungkuk, menyentuh kedua kaki nenek itu dengan tangannya.
"Sudah lama sekali ibu menunggu kau datang, ayo masuk! Temuilah Shabul di dalam."
Shabir melangkah melewati nenek itu dan berjalan menemui seorang pria yang sedang sibuk menonton televisi. Nenek itu menatap wajah Shela yang begitu manis. ia mendongakkan kepalanya untuk memastikan tidak ada orang lain di luar. Tangannya bergerak menutup pintu dan ia beralih membawa Shela menuju sebuah tempat yang penuh dengan bau dupa.
"Kau begitu canti sekali," ucapnya sembari mencubit pipi Shela.
Nenek itu menarik kain sarinya dan duduk di atas sebuah karpet besar berwarna merah. Ia mencium Shela kemudian membiarkan perempuan itu berjalan mengenali tempat yang baru dilihatnya.
"Jangan terlalu jauh dari sini, aku tidak akan bisa melihatmu nanti," ucapnya sembelum akhirnya Shela menghilang di balik pilar yang begitu besar.
Seorang wanita yang mengenakan sari berwarna merah dan membawa beberapa bunga di dalam sebuah wadah menghampiri nenek itu dan duduk di sampingnya.
"Ibu terlihat begitu bahagia sekali, apa yang baru saja terjadi?" tanyanya sembari menggeser wadah itu agar tidak terlalu dekat dengannya.
"Shabir pulang dengan membawa cucunya."
Wanita itu menggerakkan bola matanya merasa terkejut dengan apa yang dikatakan nenek itu. Ia kembali menatap wajah nenek itu dan tersenyum padanya.
"Ba-bagus sekali itu ibu. Tapi, cucu ibu itu pria taukah perempuan?"
"Dia seorang perempuan, cantik dan manis sekali."
Wanita itu menarik napasnya panjang kemudian berdiri dan berjalan kesana-kemari di depan nenek itu. Tangannya berulang kali naik ke udara dan menggerakkan kepalanya seiringan dengan gaya bicaranya yang sudah tidak asing.
"Ya ampun ibu, perempuan? Maksudmu seorang putri?"
"Memangnya kenapa Majunda? Dia akan memudahkan semua pekerjaan di rumah ini."
"Ibu, seorang perempuan tidak akan bisa menjadi ahli waris. Di-dia akan membuat rumah ini kacau ibu_"
"Diam Majunda! Aku yang meminta Shabir untuk mempunyai anak perempuan. Karena aku akan membuktikan pada Catjuhko bahwa seorang perempuan mampu mejadi ahli waris."
Wanita itu tersenyum penuh keraguan. Perlahan kakinya melangkah mendekat pada nenek yang sudah naik pitam. Ia tersenyum sambil duduk di samping nenek itu dan meremas kain sarinya.
"Ma-maafkan aku ibu," ucapnya sembari menyilangkan kedua tangan dan mencubit bagian bawah telinganya. "Sekarang di mana dia?"
Nenek itu menggerakkan jari telunjukanya pada Shela yang sedang berdiri di dekat jendela. Tangan kirinya sedang memegang permukaan kaca dan tatapan itu tidak pernah berpaling dari rembulan yang bersinar. Baginya, melihat rembulan seperti melihat Zehhad.
"Kakak," gumamnya sembari meneteskan satu air mata.
🕊️🕊️🕊️
![](https://img.wattpad.com/cover/187547356-288-k781573.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
PALESTINA
Roman pour AdolescentsKisah yatim piatu yang hidup di tengah konflik dua negara. Zehhad sebagai Kakak hanya bisa memberikan dunia fantasi untuk Shela, adiknya. Ia tidak tahu kapan peperangan itu berakhir, sampai suatu saat. Perjuangan mereka untuk hidup bersama dihalangi...