Nur menolehkan pandangannya pada Shela. Ia mendekat, menggeser tubuhnya untuk menenangkan Shela.
"Tunggu di sini ya, aku akan memanggil Zehhad."
Shela menggeleng, "Tidak perlu, janjimu harus ditepati Nur."
Nur memejamkan matanya sebentar. Ia menarik napas panjang untuk menghilangkan beban di pikirannya. Perlahan matanya membuka begitupun dengan surutnya udara yang telah lama pada paru-paru.
"Ayo naik lagi!"
Shela tersenyum manis. Perlahan ia menggeser dan berdiam pada punggung Nur. Sebuah dorongan untuk melawan gravitasi dilakukan Nur. Ia berdiriz berjalan sempoyongan hingga akhirnya berhenti ketika melihat beberapa pesawat tempur datang digiring sebuah helikopter.
Baling-balingnya yang besar mengibaskan angin ke mana-mana. Debu yang mengendap di atas tanah itupun membuat orang-orang dengan refleks mengangkat tangan mereka dan melindungi dari debu yang terbawa angin.
"Ah!"
"Kenapa kau menjatuhkan aku lagi Nur!"
Mereka berdua saling menyalahi. Tidak ada penyelesaian di kedua perempuan itu.
Seorang pria berjas hitam turun dari dalam helikopter itu. Tangan kanannya bergerak untuk menarik dasi yang terlalu longgar. Ia melangkah dengan derapan para tentara yang menjaganya.
Ia tersenyum ramah pada semua orang, "Selamat. Hari ini perang akan dihentikan."
Sorak-sorai para penduduk yang selama ini dirundung duka pun menggema. Kaum hawa saling peluk dengan mahramnya atau bersujud syukur, seperti kebanyakan yang dilakukan para pria. Mereka bangun, menyudahi kegiatanannya. Langkah-langkah itu menderu, menggeser ribuan partikel debu. Mereka semua mendekat, mengucapkan kalimat syukur dan terimakasih pada pria itu.
'Terimakasih ya Allah, engkau telah membebaskan kami dari kesedihan ini.'
'Kuasa Allah memang sangat besar.'
'Terimakasih pak!'
Begitulah respon mereka terhadap keputusan yang berhasil mengukir senyum. Kalimat mengagungkan nama-Nya terdengar keras, membuat keadaan semakin ramai.
"Tapi bohong."
Seketika, semua suara dan rasa syukur itu hilang. Semua mata tertuju pada pria itu, kecuali dengan orang-orang yang ada dipihaknya.
"Tunggu, kau bercanda kan?" ucap salah seorang pria bertopi coklat di samping pohon palem.
"Kalian pikir aku akan merelakan semua ini begitu saja? Tentu saja tidak. Aku bukanlah pemimpin bodoh yang akan percaya hanya dengan satu mulut." Pria itu tersenyum licik kemudian berbalik dan masuk ke dalam helikopternya.
Mereka semua merasa kecewa. Beberapa tentara langsung membentuk barisan dan menahan orang-orang yang hendak menyerang pemimpinnya. Bayangkan saja, suara indah yang sangat kita idamkan itu ternyata hanya tipuan. Begitu sakitnya perasaan mereka sekarang.
'Kau telah mengecewakan kami!'
'Manusia terkutuk!'
'Memang seharusnya manusia sepertimu tidak pantas untuk hidup!'
Suara makian itu penuh dengan penekanan. Sedangkan pria itu hanya menampiknya dan melambaikan tangan lewat pintu helikopter yang terbuka. Tidak lama kemudian, terdengar suara ledakan dari arah barat. Asap hitam pun mengepul, dan inilah perang yang sesungguhnya. Perang untuk membuktikan siapa yang berhak untuk hidup atau mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
PALESTINA
Teen FictionKisah yatim piatu yang hidup di tengah konflik dua negara. Zehhad sebagai Kakak hanya bisa memberikan dunia fantasi untuk Shela, adiknya. Ia tidak tahu kapan peperangan itu berakhir, sampai suatu saat. Perjuangan mereka untuk hidup bersama dihalangi...