Zehhad melambaikan tangan kanannya pada Shela. Perlahan wajahnya hilang di antara sela-sela tembok. Shela menatap semua itu dengan rundungan kesedihan. Pria itu telah pergi, bersama Zehhad memasuki zona merah.
Shela menarik napas panjang kemudian membuangnya lembut. Ia menurunkan padangannya, menatap kedua kaki yang tidak bisa digerakan.
"Kalau aku bisa terbang, aku akan turunkan hujan dan kabut yang sangat lebat. Tetapi, itu tidak mungkin."
Shela tertawa kecil di sana. Ia menatap bunga kertas yang baru saja diberikan Zehhad. Ia tersenyum, kemudian memeluk bunga itu seperti boneka. Peralahan tanah yang ia duduki menerbangkan debunya, membuat hidungnya beberapa kali bersin.
Ia mencoba menarik diri dan melihat apa yang terjadi di luar sana. Tembok itu berhasil menyembunyikan tubuhnya. Kepalanya mendongkak ke depan, melihat betapa kejamnya peperangan itu.
"Kakak….”
Ia kembali pada posisi semula. Topi baret kesayangannya hilang entah ke mana. Sekarang tidak ada kegiatan apapun yang dapat dilakukannya.
"Aku akan menunggu kakak," gumamnya.
Bunga mawar itu ia usap setiap kelopaknya, menampakan waktu yang terus berjalan dalam setiap sentuhan. Kakinya mulai terasa sedikit berbeda. Ia berhenti melakukan kegiatan pada bunga mawar itu. Pandangannya sekarang beralih pada kedua kaki yang berhasil membuat perasaannya tidak menentu. Ibu jarinya ia gerakan, kemudian jari telunjuk, tengah hingga seterusnya sampai kakinya benar-benar bisa digerakan.
"Alhamdulillah ya Allah, terimakasih sudah mengembalikan kakiku," ucapnya sembari tersenyum bahagia.
Kedua tangannya menempel pada tembok dan membantunya untuk berlari. Ia berjalan perlahan ke depan, kemudian mundur hingga akhirnya lompatan bahagia menyertai senyumnya.
Dengan sigap ia berlari ke luar dari tempat persembunyiannya. Suara tembakan itu membuatnya secara refleks menutup telinga. Ia terus berlari, menembus kepulan asap hingga menemukan seorang pria yang sedang membidik.
"Itu tanah paman, bukan tempat tidur."
Pria itu berbalik dengan cepat. Topi yang menutupi pandangannya pun ia paksa unyuk terbuka. Akhirnya kedua matanya dapat merasakan kontak langsung dengan anak kecil. Ia diam sejenak, kemudian mengarahkan senapan itu pada Shela.
"Paman akan melakukan apa?"
"Pergi atau ku tembak mati!"
"Mati? Paman…. Yang memegang kehendak itu Allah, paman tidak akan bisa membuatku mati."
"Pergi!"
"Ya sudah, paman tidak penting."
Shela berlari dengan lompatan yang menggemaskan. Pria itu masih membidik Shela. Satu, dua, dia menghitung dalam hatinya. Perlahan telunjuknya menarik senapan yang terarah pada Shela.
Jdor!
Shela memutar tubuhnya. Ia menatap pria itu yang sekarang sudah terjatuh di atas tanah. Rupanya seseorang lebih cepat menembak dia sebelum menembak Shela. Terbukti, bahwa manusia tidak ada hak untuk mematikan makhluk hidup.
Shela melanjutkan kembali larinya. Ia menoleh ke sana-kemari hingga akhirnya menemukan sosok Zehhad. Kakinya memberikan gaya pegas yang melawan gravitasi. Ia berlari, menghampiri Zehhad yang sedang bersembunyi di bebatuan.
"Kakak!"
Zehhad mengusap keringat yang muncul dari pelipisnya. Ia menatap pada arah suara itu dan serentak berlari menghampiri Shela.
KAMU SEDANG MEMBACA
PALESTINA
Novela JuvenilKisah yatim piatu yang hidup di tengah konflik dua negara. Zehhad sebagai Kakak hanya bisa memberikan dunia fantasi untuk Shela, adiknya. Ia tidak tahu kapan peperangan itu berakhir, sampai suatu saat. Perjuangan mereka untuk hidup bersama dihalangi...