Kedai Kopi

144 24 3
                                    

     "Tidak bisa, dia sedang sibuk sekarang. Pergi dari sini! Sebelum rapat dimulai," ucap pria itu padanya.

     "Aku mohon, aku perlu bertemu dengannya."

     "Tidak bisa. Sudah sana pergi sebelum aku menembak habis seluruh isi di dalam kepalamu!"

      Tangan kanannya yang memegang pagar lekas menurun seiring dengan tatapannya yang terarah pada hal lain. Kosong, harapannya seperti dipermainkan. Perlahan kakinya melangkah, membelah jalan dan panasnya udara. Ia menatap langit yang cerah pada hari itu, berbeda dengan di Palestina. Di sini begitu indah, tetapi mereka selalu menyombongkan dirinya.

     "Zehhad!"

     Zehhad menggerakkan kedua bola matanya pada pria yang turun dari angkutan umum. Ia diam, menunggu pria itu datang hingga akhirnya sebuah tangan mendarat dibahunya.

     "Bagaimana? Sudah berhasil?"

      Zehhad tidak menjawab. Ia melanjutkan kembali langkahnya dan melepas tangan pria itu dari bahunya. Ia tidak pernah menyangka ternyata sesulit ini untuk hidup di kota orang. Banyak halauan dan juga tantangan, tetapi sepertinya ada yang aneh dengan Zehhad.

      "Jika kau menyerah, maka artinya kau telah gagal melindungi adikmu!"

      Kalimat yang keluar dari mulut pria itu seakan menyadarkannya. Perlahan wajahnya kembali terangkat dan menatap lurus ke depan. Zehhad tahu siapa dia sebenarnya. Menyerah bukanlah satu kelemahan baginya. Tidak ada kata menyerah dalam hidupnya. Zehhad akan tetap bersemangat, seperti para pemuda-pemudi yang soleh yang sedang membaca cerita ini.

       "Memangnya apa yang bisa paman lakukan?"

      "Aku punya ide." Pria itu mendekat pada Zehhad dan berbisik di telinga kanannya.

      "Bagaimana? Setuju tidak?"

      "Setuju!"

      "Oke, sepakat?" Pria itu melentikan kelingkingnya dan disambut baik oleh Zehhad.

      "Sepakat."

      Senyum dan tawa kecil itu kembali memenuhi wajah keduanya. Perlahan kaki-kaki itu kembali melangkah dan mendekat pada gerbang yang terkunci. Pria itu menghentikan tawanya dan memegang besi gerbang, menjadikannya seperti sedang terpenjara.

      "Ada apa?" tanya penjaga yang menghampirinya.

      "Aku boleh masuk tidak?"

      Pria itu menilik Zehhad yang berdiri di belakang lawan bicaranya, "Bersama dia?"

      "Ya, tepat sekali."

      "Tidak bisa."

      "Kenapa?"

      "Dia pasti hanya ingin meminta-minta, tidak. Kami tidak akan membiarakan kalian masuk. Pergi dari sini! Sebentar lagi rapat akan dimulai."

      "Rapat? Rapat apa?"

      "Itu bukan urusanmu, bahkan aku saja tidak tahu mereka akan membicarakan apa. Sudah sana! Pergi sebelum aku menembak habis seluruh isi kepalamu."

       "Tapi tunggu, mohon berikan aku waktu sebentar saja."

       Penjaga itu menarik napasnya dengan kasar, "Baiklah. Apa?"

       "Kapan rapat itu akan dimulai? Mungkin setelah rapat selesai aku bisa bertemu dengannya. Tolonglah, dia sangat ingin bertemu dengannya. Dia bukan peminta-minta, aku bersumpah."

PALESTINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang