"Terimakasih sudah berkunjung," ucap polisi itu sebelum membiarkan Shabir benar-benar pergi.
Shabir memutar tubuhnya dan menatap pria berseragam lengkap di depannya. Ia bergerak sedikit agar Shela tidak terasa semakin menjadi beban.
"Ya, mungkin ini adalah kunjungan terakhirku. Tolong katakan pada mereka berdua, aku tidak akan pernah kembali."
Polisi itu mengangguk dan membiarkan Shabir pergi menggunakan taxi yang masih setia menunggu. Mentari mulai tenggelam dalam larutnya cahaya. Sore haripun tiba, bersamaan dengan Shabir yang turun di dekat bandara. Ia mengambil kursi roda dan mendudukan Shela di atasnya. Kakinya kembali melangkah, meninggalkan sopir yang telah diberi uang bayaran.
"Sepertinya kita akan sedikit terlambat," gumam Shabir ketika harus mengantri panjang sekali.
Berderet manusia itu kini berbaris pada tempat yang sama. Ia masih memegang Shela yang sepertinya sudah tidak dapat terjaga. Kakinya pun mulai terasa pegal. Ia ingin sekali segera pergi dari tempat itu dan bertemu Zehhad secepat mungkin. Tetapi antrian yang panjang itu seperti tidak sedikitpun bergerak. Mereka hanya diam pada posisinya.
"Kau menunggu untuk membeli tiket?" tanya seorang pria berkumis tipis padanya.
Shabir menoleh dan menyelidik pria itu, "I-iya, aku sedang menunggu untuk mendapatkan tiket. Kau sedang apa di sini?"
"Ah sudahlah, tiket itu tidak penting. Percuma saja kau membeli tiket karena sebentar lagi mereka akan menutupnya."
"Apa yang kau bicarakan?"
"Ah sudahlah, jika aku menjelaskan secara detail itu akan sangat menyita waktu. Lebih baik kau ikuti saja aku!"
"Tapi bagaimana dengan tiketnya?"
"Itu tidak penting. Ayo ikut saja denganku!"
Shabir menggerakan kursi roda itu dan membuat Shela kembali terjaga. Ia melangkah, mengekor pada pria di depannya. Sebuah pesawat yang penuh dengan penumpang menjadi tempat ia berhenti melangkah. Pria itu berbalik, kemudian menggerakkan tangannya seperti menyuruh pada Shabir untuk masuk ke dalam pesawat itu.
"Tidak, aku akan pergi ke Palestina," tolak Shabir ketika meliha tulisan Uni Emirate Arab pada badan pesawat yang sudah penuh dengan penumpang itu.
Pria itu mengangguk kemudian berjalan menghampiri sebuah pesawat yang tampak renggang dengan penumpang. Ia melambaikan tangannya, membuat Shabir mengangguk dan segera mengangkat tubuh Shela. Pria berkumis tipis melipat kursi roda Shela dan menyerahkan pada petugas. Merrka berdua masuk hanya dengan sebuah tiket dan ancaman keras dari pria itu.
Shabir mendudukan Shela di sebelahnya, tepatnya di dekat jendela. Ia memijat kakinya yang terasa pegal sambil menghirup udara yang bercampur dengan wewangian. Pria itu nampak duduk di sebrang Shabir dan tersenyum padanya.
Shabir hanya menatapnya sekilas kemudian membelai Shela. Ia menarik bahu Shela dan membuat perempuan kecil itu tertidur pada bahunya. Ia tersenyum penuh kasih sayang.
Guncangan kecil mulai membuatnya terjaga. Ia menyeret pandangannya dan menatap sekitar dan terkejut ketika pria yang menolongnya itu sudah menghilang dari tempat duduknya. Shabir menatap ke depan, sedikit mendongkakkan kepala tetapi tetap menjaga Shela agar tidak terbangun.
Dilihatnya pria itu tengah menodongkan pistol padanya. Dia berteriak-teriak, terdengar seperti mengancam. Shabir menatap semua itu dengan jelas. Ia sedikit menggeser tubuh hingga membuat Shela terbangun.
"Ada apa paman?"
"Tidak ada apa-apa, kau tidur saja ya."
Shabir mendorong badan Shela agar tersandar pada kursinya. Ia berdiri, kemudian mengangkat kedua tangan saat pistol yang dipegang pria itu terarah padanya.
"Duduk atau aku akan menembak kepalamu!"
Shabir kembali pada posisi duduknya. Ia memalingkan wajah, menatal Shela yang masih lelap dalam tidurnya. Perasaannya kini terombang-ambing. Antara harus benar-benar pergi ke Palestina atau mengikuti pria itu. Entahlah, Shabir tidak bisa menentukan pilihannya untuk saat ini.
"Aku akan membawa kalian ke Palestina, tetapi hanya sebatas fatamorgana," ucap pria itu diakhiri tawa yang menggema. "Kalian akan menjadi kembang api di langit Palestina!!"
Shabir menatap pria itu dengan tidak percaya. Ia tidak menyangka, ternyata pria yang terlihat baik itu aslinya busuk. Ia hanya memamfaatkan dia sebagai umpan. Apakah di dunia ini ada orang yang seperti pria itu?
Suara co-pilot yang mengatakan akan mendaratkan pesawatnya di bandara Yerussalem membuat degup jantung semua penumpang menjadi tidak normal, termasuk Shabir. Dengan berani Shabir berdiri dan mengangkat kedua tangannya. Ia perlahan berjalan mendekat pada pria itu, membuat perhatian semua orang terarah padanya.
Saat co-pilot kembali mengatakan akan mengalami sedikit goncangan ia memanfaatkan itu. Goncangan kecil pun terjadi dan dengan sigap Shabir menendang lutut pria itu dan merebut pistolnya. Pesawat itu akhirnya mendarat dengan selamat. Beberapa orang pria berlari dan membantu Shabir menangkap pria itu.
Ucapan syukur terdengar memenuhi pesawat. Shabir melangkah, meninggalkan pria yang telah tertangkap itu dan menghampiri Shela yang sudah terjaga.
"Sudah sampai ya paman?" tanya Shela sembari mengucek-ngucek kedua mata dengan tangannya yang mungil.
Shabir tersenyum lalu mengangkat tubuh Shela. Ia berjalan keluar dari dalam pesawat dan menunggu kursi roda milik Shela dikembalikan. Cukup lama ia menunggu hingga akhirya kursi roda itu kembali pada tangannya. Shabir segera membawanya dan berjalan meninggalkan bandara.
Ia merai ponsel dari dalam sakunya dan menelpon teman yang selalu ia butuhkan. Sembari mengurangi waktu, ia berjalan menempuh beberapa meter untuk menunggu temannya datang. Sebuah mobil Fortuner berwarna merah melaju cepat ke arahnya. Shabir tersenyum kemudian memberhentikannya. Ia menaikan Shela terlebih dahulu kemudian disusuk dengannya yang tidak pernah melepaskan kursi rodanya.
Mereka berdua pergi dari sana, menuju Zehhad yang sedang mati-matian membela tanah air dan agamanya bersama para mujahid lainnya. Shabir mendekap Shela sambil sesekali mengusap kepala dan menutup pendengaran putrinya. Ia tidak mau Shela terus-menerus mendengar suara ledakan dan senapan yang entah sampai kapan akan berhenti.
Mobil Fortuner merah itu berhenti di sebuah keramaian. Sepertinya itu tempat peristirahatan. Shabir melompat turun dan menarik Shela. Kursi roda itu sekarang dipegang temannya dan mereka berjalan menghampiri api yang sedang menyala.
"Tolong buka kursi rodanya!"
Kursi roda itu dibuka perlahan oleh temannya. Shabir mengangkat Shela dan mendudukannya di sana. Ia mendorongnya, menyeret debu yang begitu banyak. Beberapa pasang mata terarah padanya. Tetapi Shabir tidak memedulikan itu dan akhinya duduk di samping pria dewasa.
"Permisi, apakah kau melihat Zehhad? Putraku?" tanyanya namun hanya mendapatkan gelengan kepala.
Shabir memutar bagian atas tubuhnya dan menatap Shela.
"Tenang, Zehhad akan segera kita temukan."
Baru saja ia mengatakan itu, beberapa orang datang membopong seorang pemuda. Dengan cepat Shabir berlari ke arahnya, memastikan bahwa itu bukannlah Zehhad. Jarak antara ia dan obyek yang dilihatnya lumayan jauh. Tetapi setidaknya Shabir dapat bernafas dengan lega ketika menyadari bahwa itu bukanlah Zehhad.
🕊️🕊️🕊️
KAMU SEDANG MEMBACA
PALESTINA
Teen FictionKisah yatim piatu yang hidup di tengah konflik dua negara. Zehhad sebagai Kakak hanya bisa memberikan dunia fantasi untuk Shela, adiknya. Ia tidak tahu kapan peperangan itu berakhir, sampai suatu saat. Perjuangan mereka untuk hidup bersama dihalangi...