Mutiara Harapan

139 23 0
                                    

     "Ayo makan dulu, paman membawakan sup untuk kalian," ucap Shabir sembari tersenyum di antara panasnya mangkuk yang ia pegang.
  
     Zehhad berdiri kemudian mengambil mangkuk yang dibawakan Shabir. Ia membalas senyuman itu, tidak ragu dan tidak terpaksa. Zehhad melakukan itu tulus, yang ia inginkan hanya satu. Yaitu kembali hidup bersama pamannya.

     "Terimakasih paman." Zehhad menyimpan mangkuk yang dipegangnya ke depan Shela.

     "Satu lagi, untukmu." Shabir mendekatkan mangkuk itu ke depan Zehhad.

     "Tidak paman, aku tidak lapar. Lebih baik paman saja yang memakannya."

     "Zehhad, jangan menyiksa dirimu. Paman tahu kau lapar, kau belum mendapatkan makanan. Maka dari itu, jangan sia-siakan makanan ini."

     "Perutku sudah penuh paman. Tadi siang orang-orang di sini memberiku sebuah bakvala. Jadi paman tidak usah khawatir."

     Shabir mengangguk, "Ya sudah, kau jaga Shela. Paman akan kembali membantu orang-orang di sini."

     Satu langkah, pria itu meninggalkan luka di hati Zehhad. Zehhad masih menatap ke depan, menyaksikan kebohongannya yang sangat memuakkan. Ia berbohong. Ia tidak mendapatkan bakvala. Itu hanya imajinasi yang entah kapan akan terkabulkan.

     "Kak, duduk kak!"

      Zehhad lekas membuang semua rasa laparnya. Ia duduk di depan Shela dan menatap wajah adiknya yang bercahaya. Tidak pernah ia mengira Allah akan mempertemukan mereka berdua. Di tempat seperti itu, dalam keadaan yang penuh dengan konflik yang semu.

      "Kakak makan ini ya, aku tidak bisa memakannya sendirian."

      "Hem, kamu lebih pantas untuk memakannya. Kamu masih memerlukan banyak nutrisi agar tetap sehat. Kamu mau sehat kan?"

      "Tapi, tapi kakak juga harus memakannya."

     "Em… bagaimana ya? Baiklah. Kakak akan memakannya. Tapi ada syaratnya."

     "Kamu harus hafalkan surah Al-Kahfi. Bagaimana?"

     "Tidak mau kak, aku tidak bisa menghafalnya."

     "Ya sudah kalau begitu, kakak tidak ikut makan."

     Shela diam sejenak, "Baik kak. Aku akan menghafalnya."

     Zehhad tersenyum bahagia. Ia mengelus kepala Shela dengan penuh kasih sayang. Di sana, di antara ledakan bom, lemparan rudal, suara tembakan dan takbir mujahid mereka bertukar kasih sayang. Begitu miris kehidupannya.

      "Buka mukutmu!" titah Zehhad sembari menerbangkan sendok plastik yang menampung sayur dan kuahnya. "Pesawat akan mendarat. Buka mulutnya lebih lebar!"

       Saat itu mereka berdua tertawa. Shela menutup mulutnya yang sudah penuh dengan sup. Zehhad tersenyum, ia melihat bola mata Shela yang selalu berbinar. Terkadang, kebosanan untuk tetap hidup selalu membayanginya. Tetapi Zehhad menepis semua itu. Ia hanya akan tetap menjadi pelindung Shela, apapun resiko dia siap menerimanya. Tidak peduli besar ataupun kecil, semua akan ia hadapi demi membuat sang adik tetap tertawa.

     "Sekarang aku kak, siap-siap ya!" Shela meraih sendok yang diberikan Zehhad dan mengambil sesendok sup dari mangkuk. "Sendok terbang siap untuk membuat kakak kenyang."

      Sebuah kejadian pilu menimpa mereka berdua. Shela tidak dapat menggapai mulut Zehhad hingga akhirnya membuat sendok sup itu jatuh. Shela diam sejenak, menatap bingubgnya Zehhad ketika baju yang dipakainya basah. Zehhad menarik kaosnya agar air sup itu tidak menempel pada badanya. Ia menatap Shela, diam sejenak hingga akhirnya tertawa.

PALESTINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang