"Aku tidak akan pernah mengkhianati negeriku sendiri." Zehhad tersenyum ketika sinar bintang itu menyorot matanya.
"Jadi, kau akan ikut berperang?"
Zehhad menoleh padanya, "Insyaallah jika Allah meridhoi."
"Tapi bagaimana dengan adikmu?"
"Aku berjanji padanya, untuk tidak meninggalkan dia. Jika aku pergi, maka dia juga akan ikut pergi. Sudahlah paman, aku harus berbicara dengan Shela."
Zehhad kembali menghibur Shela. Pria itu diam sejenak mendengar apa yang diucapkan Zehhad. Pikirannya menerka-nerka apa yang sedang terjadi pada semua penduduk di Palestina. Kebanyakan anak-anak dan pemuda di sana mengucapkan kalimat itu. Tetapi Zehhad berbeda, ia seperti merasakan ada sesuatu yang lebih dari itu.
"Kakak! Kenapa hilang?"
Mendengar Shela mengucapkan itu, ia segera mengerjap berulang-ulang. Kedua matanya tertuju pada Zehhad yang ternyata benar, dia sedang menghibur adiknya. Sejenak, pertunjukan itu menghiasi penglihatannya. Sudah lama sekali tidak ada sulap yang membohongi mata. Semenjak para penggeretak itu datang, keadaan banyak berubah. Menjadi sangat tidak menyenangkan.
"Inu namanya sulap. Perhatikan baik-baik ya dadu ini!" Zehhad melempar dadu itu ke atas kepala Shela dan dengan cepat ia menangkapnya.
"Dadunya tertangkap! Hebat!"
Baru saja Shela tersenyum bahagia, kini hilang menjadi tanda tanya. Saat Zehhad membukakan jari-jarinya dan menunjukan kosongnya tangan, mrmbuat membuat Shela menjadi sangat kebingungan.
"Dadunya hilang?" tanya Shela semakin penasaran.
"Dadunya ada di…." Zehhad mengambil dadu kecil di atas kepala Shela. "Ada di kepalamu!"
Shela tertawa terbahak-bahak melihat trik sulap kakaknya. Zehhad tersenyum manis pada Shela. Sungguh, tawa itu yang dangat ia rindukan. Pertanyaan itu yang ia tunggu-tunggu dan mata Shela yang menyipit ketika tersenyum, itu semua Zehhad rindukan.
"Kakak hebat! Ajarkan aku kak!"
"Caranya seperti ini. Saat kakak melempar dadu ke atas kepalamu, kakak tidak menangkap dadu itu. Tetapi membiarkannya jatuh di atas kepalamu. Lalu_"
"Aku tidak mengerti kakak bicara apa."
Pria itu tersenyum dan hendak tertawa. Tetapi ia menahannya, demi menghormati Zehhad yang tengah menghibur sang adik.
"Zehhad," ucapnya membuat Zehhad sedikit memutar kepala. "Sebelum malam berganti siang, aku mempunyai rencana yang mungkin akan sangat beresiko."
"Rencana apa? Melarikan diri dari Palestina? Tidak paman. Aku akan tetap di sini, berjuang untuk membela tanah air dan agama."
"Sebenarnya aku penduduk asli Israel. Aku datang ke sini berniat membangun perdamaian. Aku sudah bosan melihat televisi di rumahku habis dilahap berita perang ini. Bahkan mulut orang-orang pun tidak pernah berhenti untuk mencibir. Itu berakibat buruk bagi dua negara ini. Aku tidak mau persaudaraan ini hancur begitu saja."
Zehhad diam dalam posisinya. Ternyata orang yang telah membantunya adalah musuhnya sendiri. Memang benar, musuh tidak akan selamanya menjadi musuh. Itu menjadi sebuah kebenaran yang sangat besar. Zehhad tidak dapat berpikir untuk saat ini.
"Hanya kau yang tahu bahwa aku bukan orang Palestina. Aku mohon, jangan mengatakan pada semua orang bahwa aku datang dari Israel. Aku bukan penggeretak, aku di sini hadir untuk membantu mendirikan perdamaian. Maaf aku telah berbohong."
KAMU SEDANG MEMBACA
PALESTINA
Teen FictionKisah yatim piatu yang hidup di tengah konflik dua negara. Zehhad sebagai Kakak hanya bisa memberikan dunia fantasi untuk Shela, adiknya. Ia tidak tahu kapan peperangan itu berakhir, sampai suatu saat. Perjuangan mereka untuk hidup bersama dihalangi...