Hangatnya pelukan membuat mereka berdua merasakan hal yang sama. Yaitu kesetian untuk tetap hidup. Adik dan kakak itu memang sangat saling mengerti dan melindungi. Terkadang apa yang mereka lakukan akan menjadi kesalahan besar. Contohnya sekarang, Zehhad dikucilkan hanya karena hal sepele.
Zehhad melepaskan pelukannya. Dia menopang kedua kakinya untuk menyamakan tinggi badan dengan Shela. Kedua tangannya memegang bahu adiknya. Tangis di matanya pun mereda, karena Shela telah merubah segalanya.
"Maafkan kakak ya," ucapnya sambil tersenyum.
Zehhad terlihat bingung dengan ekspresi yang ditujukan Shela. Tangan kecil yang naik ke udara merubah pandangannya. Tangan itu mengusap perlahan garis merah di wajahnya dan Zehhad mencekal tangan adiknya, bertujuan agar dia tidak kembali merasakan sakit.
"Wajah kakak kenapa?" tanya Shela begitu polos.
Zehhad terdiam sembari menatap perempuan kecil dihadapannya. Tangannya menurun, membiarkan Shela bergerak dengan leluasa.
"Ini tanda yang kakak buat." Zehhad berbenah kemudian berdiri dan menggendong Shela untuk kembali berjalan.
"Kalau begitu aku juga mau!" katanya membuat Zehhad tidak dapat berkata apapun.
Zehhad menarik nafas dan berjalan sembari menggendong adiknya. Wajahnya kadang menengadah untuk melihat posisi matahari. Namun, apa yang dia harapkan nyatanya masih berbatasan dengan jarak. Zehhad menurunkan pandangannya dan terus berjalan. Ia berharap, semoga waktu berjalan cepat. Karena Zehhad ingin segera pulang dan membawa Shela ke tengah-tengah keluarganya.
"Aku mau tanda itu," gumam Shela di atas punggung Zehhad.
Zehhad menurunkan beban pada punggungnya. Dia menatap wajah Shela yang selalu berseri-seri. Dalam kepingan pahit ingin rasanya Zehhad mengungkapkan apa yang terjadi. Dia ingin berteriak sekencang-kencangnya agar semua orang tahu, bahwa Shabir tidak pernah menghargainya. Tetapi tidak untuk sekarang. Zehhad hanya menganggap semua ini ujian. Ujian untuk menentukan apakah dia layak memiliki keluarga atau tidak.
"Tidak bisa, kamu masih kecil. Tanda ini hanya untuk orang yang sudah besar, seperti kakak." Zehhad menunjukan senyum manis pada adiknya.
"Aku sudah besar kak, aku sudah bisa berjalan sendiri."
Zehhad tersenyum simpul. Dia memegang lengan Shela dan kembali menatap sepasang bola mata yang selalu memancarkan cahaya harapan.
"Besar itu bukan soal bisa berjalan ataupun tidak. Maksud kakak, besar itu sudah bisa menetukan pilihan. Seperti kakak, yang memilih untuk menjaga kamu," ucapnya sambil mencubit pipi Shela dan tersenyum.
Shela tertawa sembari menjauhkan tangan Zehhad dari pipinya. Dia menatap kedua bola mata Zehhad penuh bahagia. Shela sangat senang mempunyai kakak seperti Zehhad. Dia merasa terlindungi, namun sisi gelap yang paling menakutkan adalah Shabir.
Zehhad kembali menggendong Shela menuju ladangnya. Tangan kanannya meraih alat pemotong dan dia segera beranjak untuk pergi.
Terik matahari tidak sekalipun membuat tawa mereka berdua hilang. Bahkan angin pun takut jika harus memisahkan kebahagiaan mereka.
Zehhad berjalan menuju pelataran. Dia menurunkan Shela dari punggungnya dan membiarkan adik kecilnya itu meneduh di sana. Senyumnya kembali terlihat saat Shela tertawa. Kebahagiaan tercipta bukan karena keinginan, tetapi dia akan tercipta apabila kita dapat memposisikan diri kapanpun dan dimana pun.
"Duduk di sini! Kakak akan memanen gandumnya." Zehhad bergegas untuk memotong beberapa tangkai gandum.
Tangannya menyabet beberapa tangkai gandum sambil sesekali dia menoleh pada Shela yang sedang duduk di pelataran. Zehhad bekerja, tetapi tetap menjaga adiknya.
"Kakak! Aku ikut," teriak Shela yang kemudian berlari dan menghampiri Zehhad.
Zehhad menghentikan kegiatannya. Alat pemotong itu dia letakan di samping gandum yang sudah terpotong. Senyum di wajahnya kembali terlihat, menunjukan betapa bahagianya dia.
"Kak, sini kak!" ucap Shela sambil menatap kumpulan padi yang belum dipotong.
Zehhad menghampiri Shela yang masih diam di tengah-tengah perjalanan. Dia menatapnya bingung sekaligus penasaran dengan apa yang Shela maksud.
"Itu kak!" sambutnya pada Zehhad dengan jari telunjuk yang mengarah pada seekor binatang melata.
Dengan segera Zehhad memangku Shela dan berlari ke pelataran. Dia tidak menginginkan jika adiknya terluka karena hewan itu. Untuk kesekian kali, hatinya tidak ingin merasakan sakit lagi.
"Tunggu di sini! Jangan berlari ke tengah ladang. Kamu bisa terluka nanti," ujar Zehhad sambil mengontrol nafasnya.
"Memangnya itu apa kak?"
"Itu ular. Jika kamu terkena gigitannya, kamu bisa meninggal."
Seketika Shela menunjukan wajah ketakutan. Dia beralih dan memeluk kakaknya. Seorang anak kecil yang belum mengetahui apa yang ada di bumi telah berhasil menemukan ketakutannya. Zehhad melepas pelukan adiknya dan mengambil beberapa tangkai gandum.
Zehhad mengikat gandum itu menjadi satu. Dia melingkarkan gandum sebagai tali yang sekaligus merekatkan gandum yang lainnya.
"Hormat pada sang Puteri!" ucap Zehhad ketika selesai meletakan gandum itu pada kepala Shela.
Shela menggerakan tangannya dan menyentuh mahkota gandum itu. Dia tersenyum bahagia kemudian berjalan kesana-kemari, betapa senangnya melihat sebuah mahkota terpasang di atas kepala.
"Tunggu ya pengawal," ucap Shela sambil memetik beberapa daun dan memberikannya pada Zehhad. "Ini gajihmu, sekarang kita pulang! Waktunya makan."
Zehhad melipat daun yang diberikan Shela. Dia mengecup kening adiknya dan kembali tersenyum. Keinginan untuk makan bersama keluarga memang ia tunggu-tunggu. Tetapi sesuai dengan perintah Shabir, Zehhad tidak bisa. Ia akan kembali setelah pukul 3 sore.
"Baiklah tuan Puteri." Zehhad kembali menggendong Shela dan berjalan pergi meninggalkan ladang serta alat pemotongnya di sana.
Matahari baru saja tergelincir sekitar 35 menit yang lalu. Kali ini Zehhad sedang berada di perjalanan dan akhirnya berhenti setelah sampai di depan rumah orangtua angkatnya. Ia menurunkan Shela, membiarkan agar tubuh kecil itu dapat segera pergi menghampiri Shabir yang sedang sibuk memilah-milah gandum yang akan dijual.
"Kakak harus kembali ke ladang, kamu harus makan. Jika perutmu yang kecil ini tidak dimasukan makanan, kamu tidak akan tumbuh besar." Zehhad mendorong Shela agar segera berjalan.
"Tapi kakak, aku tidak akan meninggalkan kakak." Shela kembali mendekat sehingga membuat Zehhad kesulitan untuk segera pergi.
"Tidak bisa Shela, kakak harus memotong gandumnya lagi. Kakak akan mengusir ular-ular yang ada di sana. Kamu mau kan ular itu pergi?"
"Jangan biarkan mereka pergi kak! Bunuh saja mereka. Mereka jahat, sama seperti paman."Zehhad tersenyum. Ia mengangguk dan melepas Shela untuk pergi. Kedua matanya masih menatap ke depan, melihat Shela yang hilang di balik pelukan Shabir. Perlahan kakinya kembali melangkah. Zehhad tidak mengerti dengan kehidupannya. Di sisi lain di kecewa, namun harus tetap terlihat bahagia.
Harapannya jatuh kepada Shela. Adiknya yang harus dia lindungi, membuat Zehhad kuat dalam menjalani hidup. Melihat Shabir memeluk Shela, membuat luka di hatinya kembali terbuka. Shabir tidak pernah sekalipun memberikan pelukan pada Zehhad. Shabir malah memberikan apa yang tidak dia harapkan. Siksaan dan perkataan yang menyakitkan selalu mewarnai hidupnya. Apakah pesan yang ingin kalian sampaikan pada Zehhad?
🕊️🕊️🕊️
KAMU SEDANG MEMBACA
PALESTINA
Teen FictionKisah yatim piatu yang hidup di tengah konflik dua negara. Zehhad sebagai Kakak hanya bisa memberikan dunia fantasi untuk Shela, adiknya. Ia tidak tahu kapan peperangan itu berakhir, sampai suatu saat. Perjuangan mereka untuk hidup bersama dihalangi...