Janji Dalam Mimpi

131 20 0
                                    

     Matanya terbuka dan menatap sekitar. Begitu sepi di sana, hanya terdapat alat-alat medis yang menemaninya. Ia pun bagun namun sakit di dahinya membuat pergerakan itu harus terpatah-patah.

     Ia duduk dengan posisi kaki terlentang. Tangan kanannya memegang erat dahi yang telah diperban. Perlahan tatapannya kembali menyusuri ruangan.

     "Shela!" Sesuatu mengingatkannya. Ia bangkit dari duduknya dan menuruni kasur dengan terburu-buru.

     Perlahan ia menggerakkan tangan kanannya dan melepas kabel impusan yang mencubit kulitnya. Ringisan kecil terlihat di wajahnya saat impusan itu berhasil lepas. Ia menyegerakan diri untuk segera mencari Shela.

      Kakinya melangkah dengan cepat keluar dari dalam tempat perawatan. Tangan yang kekar itu berpegangan pada dinding lorong. Begitu seterusnya sampai sesuatu menghalanginya.

      "Ayo kembali ke dalam pak!" ucap seorang wanita berpakaian perawat yang menahan tubuhnya.

      "Lepaskan! Aku harus bertemu putriku selarang." Shabir berusaha melepaskan dirinya dari perawat itu namun malah membuat kepalanya semakin sakit.

       Shabir akhirnya diam dengan tangan kanan yang memegangi kepala. Perlahan ia kembali masuk ke dalam tempat perawatan dengan dipapah seorang wanita di sampingnya.

       Kasur putih itu siap untuk Shabir tiduri. Pria itu akhirnya tidur terlentang dengan posisi yang tidak nyaman.

      "Kau tahu di mana putriku?" tanya Shabir pada perawat yang menarik tiang impusan.

     Perawat itu mengangguk kemudian menarik tangan kiri Shabir hendak memasangkan kabel impusan kembali, "Tenang saja pak, dia akan segera sembuh."

      Akhirnya kabel impusan itu menempel pada punggung tangan kirinya. Shabir menatap perawat itu yang tengah sibuk memasangkan alat medis padanya. Ia menutup mata sebentar, berdoa pada tuhan-Nya agar Shela selamat dan kembali dalam pelukan.

      "Bisa tolong antar aku untuk bertemu dengannya?"

      Perawat itu menoleh kemudian mendekat pada Shabir. Ia menarik selimut dan menutupi tubuh Shabir. Ia menatap kedua bola mata pria itu. Seperti ada sesuatu yang belum terkabulkan.

     "Tidak bisa, kau masih harus di sini."

     "Tolong aku! Aku harus memastikan keadaannya."

     "Biarkan kami semua yang melakukan itu_"

     "Aku ingin bertemu putriku!"

     Perawat itu diam sejenak. Ia menutup matanya sembari menarik napas panjang kemudian membuangnya perlahan dengan mata yang terbuka.

      "Baiklah."

     Shabir kembali bangun dari tidurnya dibantu perawat itu. Kakinya perlahan turun dari atas kasur dan berjalan dengan dipapah perawat di sampingnya. Tiang impusan itu ditenteng perawat hingga akhirnya mereka berdua berhenti di depan sebuah pintu.

      Perawat itu membuka pintu dan kembali memapah Shabir untuk masuk ke dalam. Baru saja beberapa langkah Shabir lekas terdiam. Ia tidak bisa melihat pemandangan menyedihkan di depan.

      Sebuah green mask dan detektor detak jantung membuat hatinya terasa sakit. Perlahan kakinya kembali melangkah dan akhirnya berdiri di samping Shela. Tangan kirinya bergerak membentang kabel impusan dan akhirnya menempel pada kepala Shela yang terlindungi perban.

     Ia menutup mata, merasakan sesuatu keluar dari sana. Tubuhnya membungkuk dan mencium Shela. Hatinya seperti teriris oleh keadaan. Air mata itu kembali menetes membuatnya risih beberapa saat.

PALESTINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang