Rembulan masih bersinar dan tetap diam pada posisinya. Sesekali perempuan kecil itu mengerjap, berdo'a agar Zehhad berada di dekatnya. Namun usahanya untuk mewujudkan harapan itu rasanya tidak mungkin. Ia menangis, menatap rembulan yang entah sampai kapan akan menemaninya.
"Ha-hallo nona," ucap wanita bernama Majunda itu dengan ragu.
Kedua tangannya bersatu, meremas setiap jari pada tangannya. Jantungnya bertedak tidak normal ketika Shela memutar tubuhnya dan memerhatikan dirinya. Wanita itu selalu gugup dalam keadaan apapun.
"Kau menangis?" ucapnya ketika menyadari beberapa tetes air mata terjatuh dan pecah setelah mengenai lantai.
Shela menyeka air matanya dan berlalu begitu saja tanpa memedulikan Majunda. Ia melangkah melewati seorang nenek yang tersenyum padanya. Kakinya memandu perjalanan hingga akhirnya berhenti di depan pintu masuk.
"Apakah itu putrimu?" tanya Shabul sembari memakan kacang yang disimpan di dalam sebuah toples kaca.
Shabir memutar kepalanya dan mendapati Shela sedang memainkan kenop pintu. Ia pun beranjak dari duduknya dan memangku Shela untuk menjauh dari obyek yang sedang dimainkannya.
"Jangan keluar, di luar banyak orang jahat," ucapnya sembari membenarkan kerudung Shela.
Shela tertunduk lesu. Ia ingin segera bertemu Zehhad, tetapi Shabir selalu menghalanginya. Akhirnya sebuah sofa menyambut kedatangan mereka dan Shabir mendudukan Shela di tengah-tengah, terhimpit oleh tubuhnya dan Shabul.
"Cantik sekali," ucap Shabul sembari memegang kerudung yang dipakai Shela.
Shela menghempaskan tangan Shabul dengan kasar. Ia menatap ke depan dan menonton televisi yang menyala. Shabul menatap Shabir dengan gerakan matanya. Ia tersenyum dan menganggap semua itu adalah hal yang biasa.
"Kacang?" tawarnya pada Shela namun tidak mendapat jawaban.
Shabul menarik kembali tangannya dan memakan kacang di dalam toples itu. Ia memerhatikan tangan Shela yang bergerak meraih remote namun tidak tergapai. Senyumnya kembali merekah, ia menggerakkan tangannya dan meraih remote yang diletakan di atas meja.
"Kau mau ini?" katanya dan membuat Shela mengangguk. "Tapi kau harus janji padaku, kau harus tersenyum dan berbicara denganku."
Shela mengangguk dan merebut remote yang dipegang Shabul namun Shabul tidak memberikannya. Ia mengerucutkan bibirnya dan menunduk malas. Ia tidak suka dipermainkan dalam keadaan seperti itu.
"Berikan itu padanya, jangan buat dia menangis," ujar Shabir sembari menarik Shela untuk duduk dipangkuannya.
Shabul tersenyum kemudian memberikan remote yang dipegangnya pada Shela. Shela tersenyum senang kemudian menekan beberapa tombol yang memindahkan satu acara ke acara lainnya, begitu seterusnya sampai dia berhenti setelah melihat berita tentang perang di Palestina.
"Paman! Kakak ada di sana!" teriaknya yang sontak membuat Shabul berhenti memakan kacang.
"Itu bukan kakakmu, itu berita," ucap Shabul seraya menyimpan toples yang dipegangnya ke atas meja.
"Paman, ayo kita pulang! Kita harus membawa kakak!" seru Shela sembari menarik baju yang Shabir kenakan.
Shabir mengerjap menahan kesal. Ia kemudian merebut remote yang dipegang Shela dan memindahkan chanel televisi yang sedang ditonton. Ia tidak mau Shela terus-menerus mengingat Zehhad. Baginya Zehhad itu tidak penting, tidak ada gunanya sama sekali.
"Apa yang terjadi di sini? Kenapa berisik sekali." Nenek itu berjalan bersama dengan Majunda menghampiri mereka.
"Putrimu ini berisik sekali, dia tidak pernah bertingkah dengan baik, dia sangat menyusahkan sekali. Lebih baik ka_"
"Diam Majunda!" bentak nenek itu. "Dia seorang anak kecil, jadi wajar saja jika bertingkah seperti itu."
Majunda melilit sari miliknya. Ia menghentakkan kaki kanannya bersamaan dengan tangannya yang melepas ke udara. Ia menurunkan senyum di bibirnya dan berjalan meninggalkan mereka dengan tangis yang tidak mengeluarkan air mata.
"Jangan dengarkan dia Shabir, mulut wanita itu memang tidak bisa berhenti ketika berbicara," cerca nenek itu yang ternyata di dengar Majunda.
Majunda yang sebelumnya bersembunyi di balik pilar, akhirnya benar-benar pergi menjauhi mereka. Shabul tertawa kecil melihat tingkah Majunda yang tidak pernah berubah.
"Berikan dia padaku, aku akan mengajaknya bermain," pintanya yang akhirnya mendapatkan tubuh kecil Shela yang Shabir alihkan.
Ia tersenyum pada Shela dan pergi menjauhi kedua putranya. Ia melangkahkan kedua kaki keluar dari dalam rumah dan membuat Shela senang. Sebuah kursi kayu yang sengaja disimpan di luar menjadi tempatnya untuk beristirahat. Tangannya bergerak menarik sari dan duduk menatap keadaan di luar. Pandangannya terhenti pada wajah yang muncul dari balik tembok.
"Hei Majunda! Kau sedang apa di sana?" tanyanya ketika melihat Majunda sedang mengintip dari balik tembok.
Majunda kembali menghentakkan kaki kanannya dan berbalik. Tangannya menggantung pada sisi pinggang dan bergerak seiring dengan kakinya yang terus melangkah.
"Hei Majunda! Kau mau pergi ke mana?"
"Aku akan pergi ke tempat yang sangat menyenangkan."
"Wanita itu semakin tidak waras saja," ucap nenek itu sambil menggerakan tangan kirinya yang bergerak bersamaan dengan kepalanya.
Shela berontak dan turun menyusul Majunda. Berulang kali nenek itu berteriak agar Shela berhenti dan kembali menghampirinya, tetapi Shela seperti tidak mendengar apa yang dia katakan dan berlari dengan cepat menyusul Majunda.
"Bibi!" teriaknya membuat Majunda berhenti dan berbalik.
"Ya ampun anak itu mengikutiku," gumamnya pelan.
Majunda berbalik dan menunggu Shela datang. Ia mengulurkan tangannya ke depan namun Shela mengabaikannya dan menarik kain sari yang ia kenakan.
"Bawa aku ke tempat yang menyenangkan itu!" pintanya sembari terus-menerus menarik kain sari yang dikenakan Majunda.
"Oke-oke, tapi lepaskan dulu tanganmu dari pakaianku."
Ia memangku Shela dan berjalan lurus ke depan kemudian berbelok ke kiri, memasuki area pemakaman yang sangat menakutkan. Perlahan ia melangkahkan kakinya memasuki pemakaman itu dan ia menurunkan Shela di atas makam yang sudah lama tidak terurus.
"Kau tunggu di sini ya, aku akan mencarikan sesuatu untukmu," ucapnya sembari menarik kain sari dan pergi meninggalkan Shela di dalam kegelapan.
"Bibi, aku takut...."
"Sudahlah, kau tunggu saja di sana! Jangan khawatir, aku akan segera kembali."
Majunda terseyum sinis kemudian berjalan menjauhi area pemakaman. Ia kembali pada jalan yang telah dilewatinya dan melangkah dengan tenang tanpa sedikitpun memikirkan Shela.
Shela duduk di samping tembok makan yang sudah tua. Ia memeluk tubuhnya sendiri, merasakan dinginnya udara malam. Perlahan ia menengadah, menatap indahnya langit yang penuh dengan cahaya remang. Tatapannya kembali ke depan, melihat beberapa nisan yang membuatnya takut.
Awan terdorong angin dan menjadikan sebuah kumpulan hitam. Hujan mulai turun membasahi Punjabi. Shela masih dalam posisinya. Kedua tangannya memeluk erat tubuhnya sendiri dengan nyaman. Tubuhnya menggigil, merasakan satu-persatu air hujan menetes pada kulitnya.
"Kakak.... Aku kedinginan kak," gumamnya dengan gigi yang menggeretak.
Hujan yang turun semakin lebat. Mulutnya perlahan terbuka karena kantuk. Ia tertidur di samping makam dengan tubuh yang menggigil. Perlahan matanya menutup, tertidur di antara dempetan makam dan dinginnya udara pada malam hari.
🕊️🕊️🕊️
KAMU SEDANG MEMBACA
PALESTINA
Roman pour AdolescentsKisah yatim piatu yang hidup di tengah konflik dua negara. Zehhad sebagai Kakak hanya bisa memberikan dunia fantasi untuk Shela, adiknya. Ia tidak tahu kapan peperangan itu berakhir, sampai suatu saat. Perjuangan mereka untuk hidup bersama dihalangi...