"Kenapa denganmu? Ceria sekali," ucap Shabir setelah selesai berpelukan.
Shela tersenyum senang. Kakinya bergerak kesana-kemari dan dia menari sambil sesekali memegang mahkota gandum yang diletakan di atas kepalanya. Dia berteriak, menyanyi dan membuat Shabir kesal.
"Pengawal!" tunjuknya pada Shabir. Shela berhenti menari kemudian mendekatkan wajah pada pamannya. "Bawakan kakak makanan yang sehat!"
Shabir mengecap penuh kesal. Tangannya yang kekar memangku Shela dan seketika mahkota itu beralih tangan, Shabir melemparnya dengan kasar ke atas tanah. Mahkota itu tidak lagi menjadi bentuk sempurna. Hanya berwujud beberapa tangkai gandum.
"Paman!" Shela berontak kemudian turun dari atas pangkuan pamannya dan mengambil gandum itu. "Mahkotannya rusak, kakak akan marah padaku...."
Shela duduk di atas tanah. Tangannya yang mungil berulang kali mencoba merangkai tangkai gandum itu menjadi mahkota kembali. Tetapi dia tidak berhasil, gandum itu terlalu keras.
"Zehhad tidak akan memarahimu."
Shabir mengerjap pelan. Perlahan ia memangku tubuh Shela dan menginjak gandum itu hingga hancur. Telapak tangannya menutupi penglihatan Shela dan membawanya masuk ke dalam rumah.
Gandum itu hancur tanpa kembali pada posisi awal. Seperti Zehhad yang tidak pernah dianggap ada. Seperti Shela yang dijadikan benalu ratu. Itulah Shabir, pria dengan berjuta kekerasan. Caranya dalam mengurus sebuah keluarga sangatlah buruk. Tidak baik dan mengecewakan.
Shela duduk di atas kursi kayu. Kedua matanya menatap Sadiah yang datang dengan membawa beberapa piring yang sudah terisi makanan. Semua itu ia letakan di atas meja namun Shela tidak langsung memakannya. Kedua matanya sering menatap keluar untuk melihat gandum yang sudah tidak berbentuk mahkota.
Shabir yang menyadari itu segera bergegas dan menutup pintu. Shela tertunduk lesu, malas untuk tetap hidup bersama pamannya. Sepiring parata disodorkan padanya. Tetapi Shela bergeming, tidak sekalipun menatap parata yang Sadiah berikan.
"Kenapa tidak kamu makan?" tanya Sadiah sembari duduk dan mengambil parata yang baru saja dia panggang.
Shela masih diam. Ia memikirkan Zehhad yang sedang berada di ladang. Ia menginginkan Zehhad untuk makan bersama. Mencoba parata dan berbagai makanan khas India lainnya. Tidak hanya memakan gandum yang entah sampai kapan Zehhad akan berhenti memakannya.
"Makan itu Shela!" bentak Shabir membuat Shela terpaksa menggerakkan kedua tangannya untuk merobek parata.
Mulutnya yang kecil mengunyah makanan khas India itu. Sesekali pandangannya terarah pada pintu yang tertutup. Shela merindukan Zehhad sekaligus mahkota gandumnya.
"Apa yang terjadi denganmu nak? Kenapa selalu melihat kebelakang?" Sadiah menghentikan makannya dan mengambil gelas untuk diisi air.
Shabir berdehem. Shela kembali pada posisi makannya. Beberapa parata sudah ia habiskan dengan penuh paksaan. Ketika Shabir berdiri untuk mencuci tangannya, dengan sigap Shela memasukan beberapa parata kedalam saku celanannya. Hingga akhirnya Shabir datang kembali dan dia tersenyum.
"Kamu habiskan semua?" Bibir Shabir mengangkat ke atas sebagai tanda bahwa sesuatu yang buruk telah meracuni pikirannya.
Shela mengangguk kemudian pergi ke dalam kamar mandi. Tangannya yang kecil mulai tersiram dengan air. Shela menatap cermin dihadapannya. Wajah Zehhad kembali muncul dalam benaknya dan membuatnya rindu untuk bertemu sang kakak. Perlahan kakinya melangkah dan menghampiri Sadiah yang sedang sibuk membereskan hidangan yang disajikan.
"Bi," ucapnya membuat Sadiah menoleh dan berjongkok menyesuaikan tinggi badan dengan Shela.
"Bolehkah aku meminta sepiring nasi dan lauknya?" Suaranya begitu lembut hingga membuat Sadiah tersenyum.
"Tunggu," balas Sadiah kemudian berdiri dan mengambil beberapa lauk pauk dan diletakan bersama nasi di atas piring.
Sadiah memberikannya pada Shela dan membuat perempuan kecil itu pergi keluar. Sadiah pikir Shela akan bermain bersama teman-temannya dan membagikan makanan itu. Atau bisa juga dia membaginya untuk Zehhad. Sadiah sangat senang mempunyai anak angkat seperti Shela.
"Di mana putri kita?" Shabir keluar dari dalam kamarnya dengan melipat lengan kemeja yang terlalu panjang.
"Dia sedang pergi keluar." Sadiah mendekat pada Shabir dan membantu merapihkan pakaiannya.
Shabir melangkah keluar meninggalkan Sadiah. Hari ini dia akan pergi ke Yerusalem Timur untuk membeli beberapa kebutuhan keluarganya kecuali Zehhad. Sejak dulu dia sudah menekankan untuk tidak mengakui Zehhad sebagai anaknya. Tetapi Zehhad terlalu berambisi untuk menjadi bintang yang terbaik dalam keluarga. Hingga dia sering menjadi bahan luapan emosi pamannya.
Kakinya melangkah, menyusul Shela yang sedang berlari di ujung jalan. Ia melihat Shela berbelok dan masuk ke sebuah pelataran. Di sana terdapat Zehhad yang sedang duduk memandangi gandum.
"Kakak!" sapa Shela sembari duduk di samping Zehhad. "Makan ini kak! Aku membawanya dari rumah."
"Terimakasih." Zehhad terseyum kemudian meraih piring yang Shela berikan.
Ia memakan apa yang diletakan di atasnya dan mengangguk merasakan begitu lezat makanan itu. Ia menoleh pada Shela dan tersenyum. Kerongkongannya menelan makanan itu dan Zehhad menatap Shela dengan penuh tanda terimakasih.
Prang!
Baru saja Zehhad akan menyuapkan nasi, tiba-tiba sebuah tangan kekar merebut piring yang dipegangnya dan dilemparkan begitu saja ke atas tanah. Zehhad dan Shela menatap Shabir yang datang dengan penuh amarah. Tangannya yang kekar menarik tubuh Shela dan menggendongnya.
"Kamu tidak layak untuk memakan makanan kami. Kamu hanya boleh memakan gandum yang belum dimasak!" Shabir mendorong dada Zehhad hingga terjatuh dari atas pelataran.
Kakinya kembali melangkah meninggalkan Zehhad dengan makanan yang sudah tidak berbentuk. Zehhad tersenyum pada Shela yang kini hilang dibalik dedaunan. Ia menutup mata sebentar kemudian membukanya. Hatinya merasa sakit dan perlahan bibirnya menghilangkan senyum yang sudah terlukis.
Shabir menghancurkan semuanya. Dia memberikan Zehhad kesan pahit dalam kehidupannya. Bahkan, untuk makan pun harus berbeda dengan mereka. Hatinya menangis, merasakan betapa pahitnya hidup dengan paman yang tidak kunjung menghargai dirinya.
Pandangannya jatuh pada piring yang sudah pecah. Zehhad menggerakan jari jemarinya untuk mengambil makanan itu dan dia memakannya. Memprihatinkan sekali, tetapi memang itu yang bisa dia lakukan. Jika dia tidak memakan makanan itu, mungkin selama satu hari itu tidak ada makanan untuknya. Karena Shabir sudah menetapkan aturan pada Zehhad. Jika dia makan sebelum pukul 3 sore, maka tidak ada makanan lagi untuknya.
Rasa makanan yang begitu lezat kini pahit setelah bercampur dengan tanah. Zehhad berhenti untuk memakan nasi yang berhamburan. Matanya menatap pada pohon gandum yang bergoyang terkena angin.
Perlahan burung-burung turun dan memakan sebagian gandum yang akan dipanen. Dengan terburu-buru Zehhad berdiri dan seketika ia meringis menahan perih akibat kakinya menginjak pecahan piring. Ia tidak memedulikan kakinya yang terluka. Zehhad segera berlari mengusir dan membuat burung-burung itu pergi membawa sebagian gandum.
Zehhad duduk di atas tanah. Ia memegang kakinya yang terkena pecahan piring. Sakit dan perih menjalar ke seluruh telapak kakinya. Tangannya bergetar untuk membuat luka itu menghilang. Di tengah-tengah pohon gandum Zehhad menahan perih. Mereka menjadi saksi dari kekejaman paman pada putra angkatnya.
🕊️🕊️🕊️
KAMU SEDANG MEMBACA
PALESTINA
Teen FictionKisah yatim piatu yang hidup di tengah konflik dua negara. Zehhad sebagai Kakak hanya bisa memberikan dunia fantasi untuk Shela, adiknya. Ia tidak tahu kapan peperangan itu berakhir, sampai suatu saat. Perjuangan mereka untuk hidup bersama dihalangi...