Untuk Mereka

137 22 2
                                    

     Shabir kini kembali mendekat pada Shabul dan Shela. Ia memberikan sebuah cek pada Shabul kemudian berbegas untuk pergi. Kursi roda itu masih setia di duduki Shela dan ia mendorongnya. Sedangkan Shabul hanya sibuk memakan kacang yang dibawanya. Pria itu memang tidak bisa hidup tanpa kacang.

      Shabir menghentikan sebuah taxi yang melintas kemudian mengangkat Shela untuk duduk di dalam. Setelah itu ia kembali berdiri di luar dan melipat kursi roda yang akan ia simpan di dalam bagasi.

       Shabul masih diam di posisinya. Ia menatap Shabir yang sibuk membuka badan mobil. Hingga pada akhirnya ia terdiam kemudian masuk ke dalam taxi dan duduk di samping Shabir. Taxi itu kembali berjalan perlahan meninggalkan rumah sakit. Shabir menoleh pada Shela. Wajahnya yang imut seperti itu tidak layak untuk mendapatkan kecaman. Setelah mimpi buruk itu datang, ia merasakan sesuatu harus diselesaikan dengan cepat

     Udara dan debu bercampur di sana. Tidak terlihat gunung Himalaya atau awan yang bergerak sesuai arah angin. Itu semua hilang, tergeser kepadatan kota Punjabi.

      Akhirnya taxi itu berhenti di depan rumah mereka. Shabul turun terlebih dahulu kemudian disusul oleh Shabir yang membawa Shela. Mereka melangkah, meninggalkan taxi yang telah mengantarnya. Pagar itu didorong pelan, kursi roda kembali menjadi tempat duduk Shela. Mereka masuk ke dalam rumah itu. Membuka kesepian yang besar tanpa Majunda dan nenek tua.

     "Tolong jaga dia, aku harus mengganti pakaianku." Shabir melepas pegangnnya dan beralih untuk masuk ke dalam kamar.

      Shabul tersenyum pada Shela namun tidak mendapatkan balasan yang sama. Shela hanya teguh pada prinsipnya. Ia ingin segera bertemu Zehhad, bermain layang-layang hingga shalat bersama ia rindukan.

     "Ayo, ikut denganku!" Shabul mendorong kursi roda Shela kemudian berkeliling di dalam rumah besar itu.

      Shabir memunculkan dirinya dari balik pintu dengan pakaian yang sudah rapi. Tangan kanannya menenteng sebuah kantong kresek yang berisikan baju passien rumah sakit. Udara di sekitarnya terhirup dengan seksama. Ia memantapkan langkah, siap menerima semua hal buruk yang akan dialaminya.

     "Terimakasih sudah menjaganya dengan baik." Shabir menggerakkan tangannya dan menarik kursi roda yang di duduki Shela.

      Ia membawanya keluar dari dalam rumahnya dan meninggalkan Shabul di sana. Namun, suara yang tidak kalah cerewet dari Majunda itu membuat langkahnya terhenti. Ia memutar pandangannya, menatap Shabul yang berlari dengan toples kacang di dadanya.

     "Kakak akan pergi ke mana?" tanyanya begitu antusias.

     "Ke Palestina."

     "Apa? Tidak kak. Jangan pergi ke sana, dia sana a_"

      "Aku tahu itu. Aku akan tetap pergi karena ini adalah tujuan hidupku."

      "Jadi tujuan kakak hidup adalah untuk mati? Tidak kak, jangan meninggalkan aku sebelum ibu dan Majunda datang."

      "Memangnya ke mana mereka berdua?"

     "Ditangkap polisi."

     Shabir terkekeh kecil. Ia menengadah, melihat betapa kotornya udara. Ia tersenyum simpul kemudian menurunkan pandangannya untuk kembali menatap Shabul.

      "Memang pantas mereka semua mendapatkannya." Shabir melepas senyumnya dan pergi dari hadapan Shabul yang berteriak-teriak memintanya untuk kembali.

     Shabir sangat tidak peduli dengan mereka berdua, terlebih kepada nenek itu. Sudah lama ia mempercayai nenek yang sering dipanggil ibu itu. Namun pada akhirnya kepercayaannya telah ternodai saat melihat mereka ada dan menyaksikan pernikahan Shela dengan Catjuhko. Bukankah itu sangat tidak masuk akal?

      Ia kembali menaiki sebuah taxi dan menyimpan kursi roda di dalam bagasi. Rumit memang, tetapi ia harus melakukannya agar Shela tetap merasakan kehidupan.

      "Paman, kenapa Majunda dan Nenek ditangkap polisi?" tanya Shela membuat Shabir berulang kali mendelikkan bola matanya.

      "Mereka telah berbuat kesalahan besar."

      "Kesalah apa paman? Setahuku mereka berdua baik dan mengajakku untuk pergi ke pesta. Tetapi saar paman datang, aku tidak bisa menikmati pestanya."

      Shabir membelai pelan rambut Shela, "Maafkan paman. Lain kali pestamu pasti akan lebih meriah dibandingkan dengan pesta itu."

      Mobil yang telah terpanaskan mesin dan berulang kali memutarkan rodanya itu kini berhenti di depan sebuah toko baju.

       "Kau tunggu di sini ya, paman akan membeli sesuatu untukmu."

      Shabir keluar dari dalam mobil kemudian membeli sebuah pakaian muslimah lengkap. Dengan segera ia melakukan transaksi dan kembali masuk ke dalam taxi. Taxi itu kembali berjalan hingga akhirnya berhenti di depan rumah sakit. Shabir dan Shela turun dengan kursi roda yang selalu menemani mereka.

       Shabir mendorong perlahan Shela dan masuk ke dalam. Ia lekas mencari tempat yang tertutup kemudian menyerahkan pakaian muslimah itu untuk dipakai Shela. Setelah itu, ia memasukan pakaian yang telah dipakai Shela untuk dikembalikan pada rumah sakit. Tangannya kembali bergerak dan mendorong kursi roda itu mendekat pada tempat pengambilan barang. Diterimanya dua buah pakaian yang terlipat rapi dan sudah dicuci. Shabir meraba saku celana pakaian itu dan untung saja dompet masih berada di tempatnya.

      Ia kembali mendorong kursi roda Shela dan pergi dari sana. Beberapa taxi sedang terparkir di sana. Itu adalah pemandangan yang tidak biasa. Shabir tersenyum lega, kemudian memasuki salah-satu taxi di sana.

      Taxi itu berjalan mulai berjalan ketika Shabir mulai menyamankan duduknya. Ia memalingkan wajah pada sebelah kiri, menatap keramaian kota Punjabi. Seketika wajah nenek itu membuatnya terkejut. Nenek itu memelaskan wajahnya hingga membuat Shabir sedikit iba. Ia menatap kepada Shela dan akhirnya menetap pada posisi nyamannya.

      "Kantor polisi Punjab!"

      Pengemudi itu mempercepat kecepatan kendaraan roda empat-nya. Ia memutar stir hingga akhirnya berhenti di tempat tujuan yang Shabir katakan.

      "Tunggu di sini, kami akan segera kembali!"

      Shabir memangku Shela dan dengan cepat memasuki kantor polisi itu. Ia mengabaikan para petugas yang menyapanya dan menemui seorang polisi yang duduk dengan santai.

      "Aku hanya akan melihat mereka, tidak ingin berbicara."

       Polisi itu menggangguk kemudian mengarahkan Shabir untuk berjalan. Shabir mendekap Shela kuat-kuat, takut jika putrinya itu terkena tangan-tangan nakal para narapidana. Hingga akhirnya polisi itu berhenti dan menujunkan dua orang wanita yang sedang memijat tahanan lainnya.

      "Ibu," ucapnya membuat Majunda dan nenek itu lekas berdiri dan menghampiri Shabir. Kedua tangannya memegang erat jeruji besi. Mereka terpenjara, dengan siksa bantin yang menyakitkan.

      "Kakak ipar, tolong bebaskan aku dari tempat kotor ini! Aku tidak mau mendengarkan ocehan ibu setiap hari," ucap Majunda membuat nenek itu sedikit kesal.

      "Tidak, dia yang selalu mengoceh padaku. Tolong keluarkan ibu dari sini, di sini menakutkan," bela nenek itu. Terlihat sekali mereka berdua saling menguatkan argumen.

      Shabir hanya tersenyum kecil kemudian membungkuk dan menyentuh kaki nenek itu dan kembali berdiri dengan tegap, "Aku akan pergi ke Palestina, semoga dewa selalu melindungi kalian berdua."

      Shabir memutar tubuhnya dan pergi meninggalkan teriakan yang meminta dilepaskan. Untuk saat ini ia tidak bisa melupakan kejadian kemarin. Kejadian yang hampir merusak masa depan putrinya.

🕊️🕊️🕊️

PALESTINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang