Awan Pengganggu

169 19 4
                                        


      Senyilir angin yang masuk melalui celah udara membuat rongga hidung tidak terlalu sesak untuk terus menghisap CO2. Sesekali pria itu menatap pada Zehhad. Ia sedikit ragu dengan Zehhad, Zehhad tidak pernah mengungkapkan masalah apa yang dihadapinya. Dia juga tidak pernah mengungkapkan keinginan apa yang belum terpenuhi.

       Pria itu mendelikan matanya, menatap beberapa penjaga yang sedang bersamanya. Perlahan ia menarik napas kemudian membuangnya. Perasaan tidak menentu menyerang pikiran. Ia tidak dapat berpikir untuk menjadi yang terbaik saat ini. Ia hanya berharap perdamaian benar-benar terjadi dan bukan omong kosong.

       Perlahan pesawat jet itu mendesing dan turun. Tanah yang tandus menjadi tempat ia meletakan kaki-kakinya. Zehhad tersenyum pada pria di sampingnya. Perlahan ia berdiri, kemudian melihat ke segala penjuru arah.

       "Ayo paman, aku sudah tidak sabar untuk bertemu Shela!"

       Pria itu tersenyum simpul. Ia berdiri dan membiarkan Zehhad keluar terlebih dahulu. Asap yang menutupi langit masih tidak menghilang. Di sana seperti hendak hujan, mendung dan tidak ada harapan. Zehhad mengedarkan pandangannya, tidak ada orang-orang yag menyambut dengan senyuman, tidak ada suara dentuman, tidak ada tangisan, tidak ada hentakan. Semua itu seperti hilang sekejap.

       "Ayo Zehhad!" ucap pria itu menyuruh Zehhad untuk segera pergi dengan kalimatnya yang memiliki makna tersirat.

      Zehhad memalingkan wajahnya pada para penjaga yang berdiri di belakang. Perlahan tubuhnya terdorong dan mengikuti pria itu pergi. Ia kembali menatap ke depan. Beberapa orang terlihat bersiap siaga. Para wanita siap dengan katapel yang dibuatkan suaminya. Mereka mengarahkan alat itu pada siapapun yang datang, sebagai tanda pertahanan meskipun seadanya.

       "Kenapa mereka semua mencurigai kita?" tanya Zehhad tidak mengerti.

        Pria itu mengambil sesuatu yang ia sembunyikan. Bendera kecil Palestina itu ia angkat dan ditunjukan pada semua orang. Mereka diam sejenak kemudian menurunkan apa yang mereka jadikan sebagai senjata. Zehhad terseyum karenanya, ditambah dengan sikap baik penduduk di Palestina.

        "Cepat kemari!" teriak seorang pria yang diam di balik tumpukan ban sembari melambaikan tangannya.

        Zehhad dan pria itu mempercepat langkah kakinya. Mereka menjauh dari para penjaga yang hilang dengan kapal jet itu.

        "Kenapa kalian bisa di bawa Israel?" tanyanya sembari menodongkan senapan ke arah Zehhad dan pria di depannya secara bergantian.

        "Tunggu," ucap pria di samping Zehhad tanpa menurunkan bendera yang dipegangnya. "Jangan mencurigai dia, dia telah berhasil membuat kita selamat."

        Pria itu menurukan senapannya, "Selamat apa?"

        "Israel akan berdamai dengan Palestina."

        Keadaan yang hening tanpa suara ledakan membuat mereka larut dalam pemikirannya sendiri. Asap-asap itu masih bertebaran dan menyebabkan udara yang sedikit menyiksa pernapasan.

        "Tidak. Mereka tidak akan percaya pada kita begitu saja."

        "Aku melihatnya dengan kepalaku sendiri! Dia yang melakukan itu. Jika kau tidak percaya, silahkan tanya saja padanya."

       Pria itu menoleh pada Zehhad, "Benarkah itu?"

       Zehhad mengangguk, "Ini semua tidak akan berhasil tanpa bantuannya."

        Pria itu menggeleng dengan cepat. Ia meninggalkan Zehhad dan penolongnya di sana. Sekelumat rasa curiga pun membekas dalam hatinya. Ia tidak akan percaya bahwa semua itu akan berubah dengan cepat. Mereka, terlebih para Zionis, akan tetap sama seperti itu. Tidak memiliki hati dan tidak memiliki jiwa persaudaraan.

PALESTINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang