Kembali, Seperti dahulu

161 19 1
                                    

     Langkahnya berat, menggusur beberapa beban yang terlalu melebihi apa yang dia bisa. Jika tanpa bantuan pria itu Zehhad tidak akan bisa melakukan semuanya. Jarak mereka dari tempat itu sudah lumayan cukup jauh. Tetapi peluh dan kepercayaan yang telah dikhianati itu tidak akan pernah hilang. Selamanya, akan sulit untuk dilupakan.

     Pria itu berhenti memapah Zehhad. Ia menatap betapa hampanya ruang dan waktu.

     "Kenapa berhenti paman?" tanya Zehhad begitu mendapat sebuah hentakan pada otot kakinya.

     "Sekarang sudah waktunya untuk menjemput putriku."

     Zehhad tersenyum simpul, "Jadi sekarang kau akan pergi?"

     "Seharusnya seperti itu. Tapi aku tidak bisa mengingkari apa yang telah aku catat dalam hatiku. Aku harus melihat perdaimaian ini dengan mata kepalaku sendiri."

     Mereka kembali berjalan, mengatur waktu yang berpapasan dengan jarak. Saat itu mentari sudah naik, pertanda hari semakin terik. Zehhad duduk di antara teduh pohon Zaitun. Ia menatap wajah Shela yang cenderung penuh dengan rasa khawatir.

     "Jangan takut, kakak akan tetap bersamamu," ucapnya sambil tersenyum.

     Shela menatap ke arah lain. Senyumnya hilang bersamaan dengan hilangnya Nur dari kehidupannya. Ia menatap sekumpulan tanaman gandum yang bergoyang terkena angin.

     "Kak! Paman kak!" ucapnya dengan teriakan kecil.

     Zehhad menoleh pada apa yang ditunjuk Shela. Sekali lagi ia tersenyum simpul, "Paman sudah tidak di sini, sama seperti Nur."

     Perlahan matanya memejam, merasakan begitu perihnya hidup di Negara yang penug dengan konflik. "Paman, aku akan pergi sebentar. Tolong jaga Shela ya…." Zehhad menggangkat tubuh Shela dan mengalihkannya pada pria itu.

     "Kakak akan membuatkan sesuatu untukmu." Zehhad mencubit pipi Shela dan beralih pada hal lain.

     Ia kembali membebani kaki kirinya. Perlahan langkahnya menggusur kakaki kanan itu ia lakukan. Beberapa tangkai gandum yang senang menari menyambut Zehhad dengan baik. Di sana Zehhad mengambil beberapa tangkai gandum dan kembali kepada Shela.

     Tangan kanannya merangkai tangkai gandum itu menjadi satu. Mula-mula kotak hingga akhirnya mejadi sebuah lingkaran. Ia tersenyum pada Shela, sesekali meringis karena kaki kanannya mulai berkontraksi kembali.

     "Pakai ini," ujarnya sembari memberikan tangkai gandum yang sudah dirangkai menjadi mahkota.

     Shela meraihnya, "Aku tidam suka ini!" Ia lantas melempar mahkota itu dan kembali menatap Zehhad.

     "Kenapa kamu membuangnya Shela? Kakak tahu itu hanya tanaman gandum, tapi tidak seharusnya kamu membuangnya."

     "Aku tidak menyukai gandum. Gandum selalu membuat aku takut."

     "Takut kenapa?"

     "Paman."

      Zehhad tersenyun dengan mata yang menutup. Ia tahu kenapa Shela bertingkah seperti itu. Perlahan ia kembali membuka matanya, menatap raut wajah Shela yang berubah.

     "Shela, benci tidak akan menyelesaikan masalah. Gandum itu tanaman, tidak punya salah apa-apa. Kamu bisa saja tidak menyukai paman, tetapi caranya tidak seperti itu. Secara tidak langsung kamu telah membenci ciptaan Allah. Termasuk membenci paman."

      "Aku tidak membenci ciptaan Allah. Aku mensyukurinya."

      Zehhad mengangguk tanpa melupakan senyumnya. Ia kembali berdiri, menghampriri gandum yang sudah tidak berbentuk mahkota. Ia membawakannya kembali pada Shela, bibirnya mengecap. Ia menatap Shela penuh perhatian.

PALESTINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang