Air Tak Seindah Namanya

197 37 5
                                    

Air matanya terus mengalir tidak pernah berhenti. Kedua tangannya melayang ke segala arah, tidak menentu dan sangat membingungkan. Bibirnya bergetar hendak mengatakan sesuatu, tetapi hingga sekarang ia tidak mengucapkannya.

"Apa yang terjadi padamu?" tanya pria itu sedikit gugup.

"Badhinadi! Dia mengusirku dari dalam rumah," ucap Amrita berusaha menenangkan dirinya.

"Kenapa bisa seperti itu?"

"Dia menuduh yang tidak baik antara kau dan aku." Amrita mendongkakkan tubuhnya sedikit mendekat pada pria itu. "Dia pasti mengira bahwa anak itu adalah anak kita."

Pria itu termohok dengan apa yang diucapkan Amrita. Ia menatap wajah Amrita dan diam sementara. Sesekali rahangnya bertolak belakang dengan apa yang akan keluar dari mulutnya sehingga tidak dapat berbicara apapun.

Shela hanya diam tanpa sekalipun berbicara. Ia hanya menyimak obrolan itu baik-baik meskipun tidak mengerti apa yang mereka ucapkan.

"Padahal kita tidak mempunyai hubungan apapun, tetapi kenapa dia selalu seperti itu...." keluh Amrita dengan nada yang merendah. "Tolong bantu aku mengatakan itu padanya.... Kau mau kan?"

Amrita memegang lengan kanan Pria itu dan menggoyangkannya. Dengan wajah penuh permintaan membuat pria itu merasa iba. Karena memang tidak ada hubungan apapun di antara keduanya selain teman.

"Tunggu Amrita," ucapnya sembari melepas tangan Amrita dari lengannya.

"Kau tidak mau mrlakukannya?"

"Tidak Amrita, aku mau-mau saja melakukannya. Tapi aku takut jika apa yang aku lakukan membuatmu semakin kecewa."

"Aku tidak akan kecewa. Sudah ku pastikan bahwa aku akan menerima semua kenyataan."

"Kenyataan? Lantas kenapa kau menangis dan menyesal jika kau mampu menerima keadaan?"

Amrita diam pada posisinya. Tatapannya teralih pada karpet coklat yang menampung sebuah meja. Ia tertegun mendengar apa yang pria itu katakan. Memang benar, dia tidak bisa menerima kenyataan. Jika dia mampu menerima kenyataan tidak seharusnya menangis dan menyesal telah jauh dari suaminya bukan?

"Ta-tapi ini sangat penting. Aku tidak mau melihat orangtuaku kecewa karena Badhinadi mengusirku dari dalam rumahnya. Tolong bantu aku, aku harus kembali padanya."

Pria itu menarik napas dalam kemudian membuangnya kasar. Ia menatap kedua bola mata Amrita yang berkaca-kaca. Rasanya ia ingin membuat Amrita tidak menangis, tetapi tidak mungkin karena Amrita sudah berkeluarga.

"Baiklah," ucapnya sembari berdiri dari sofa yang di dudukinya.

Terlihat wajah Amrita berubah seketika menjadi sangat ceria. Ia menarik kembali tubuh Shela dan memangkunya. Senyuman yang dibentuk bibir itu terlihat begitu sempurna. Ia berjalan mengambil kopernya dan mendekat pada pria itu.

"Nanti kau yang membicarakan itu padanya, aku meragukan dia. Dia tidak akan pernah percaya padaku."

Pria itu mengangguk kemudian berjalan menuju pintu. Mereka keluar dan masuk mobil bersama. Kali ini Shela duduk di kursi tengah dan pria itu yang duduk di samping pengemudi. Mobil itu berjalan, meninggalkan semburat merah muda di hatinya. Hati siapa? Kalian pasti tahu itu.

"Amrita," ucap pria itu dengan gugup.

"Iya, aku mengerti. Sudahlah, Badhinadi tidak seperti yang kau pikirkan. Dia baik pada setiap orang, tetapi jangan membuatnya marah. Jika kau membuatnya marah, maka kau akan habis."

Pria itu mengerjap mendengar Amrita mengucapkan kata yang tidak sangat diharapkan. Ia menatap pada jalanan yang ramai, tidak pernah sepi dari kendaraan dan penduduk. Sesekali pandangannya terarah menatap Amrita yang mudah panik.

Mobil itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang menjulang tinggi. Gerbang yang terkunci menjadi pemandangan tersendiri bagi para kaum konglomerat. Amrita memutar kuncinya dan membuat semua mesin beristirahat untuk sebentar. Mereka turun, kemudian berdiri di depan pagar itu.

"Damini!" panggilnya namun tidak ada seorangpun yang datang.

"Damini!" ucapnya sekali lagi namun tidak mendapatkan jawaban.

Hingga pada akhirnya Badhinadi datang dengan berpangku tangan. Ia berdiri di hadapan mereka dengan batas pagar. Ia memerhatikan Amrita yang terseyum sumringah. Ia terkekeh, membanyangkan betapa buruknya nasib istrinya.

"Kalian datang untuk meminta restu dariku kan?" ucapnya dengan senyum menyeringgai.

"Badhinadi, kau salah paham. Kami berdua tidak mempunyai hubungan apa-apa," ucap Amrita sembari menggerakkan tangan kanan dan mencubit pria di sampingnya.

"Em, i-iya. Maaf jika aku telah menganggu keluargamu. Tapi sebenarnya aku dan istrimu tidak mempunyai hubungan apa-apa," jelas pria itu dan Badhinadi hanya mengangguk.

"Masuk," ucap Badhinadi begitu lembut.

Amrita tersenyum sumringah. Perlahan Badhinadi membuka gerbang dan mengundang Amrita untuk masuk. Pria itu hanya diam, tidak sanggup untuk memasuki dunia orang lain.

"Bibi, aku harus bertemu kakak," ucap Shela memohon.

"Bibi akan memasang poto kakakmu di kota ini, jadi tenang saja."

"Tidak bi, aku harus bertemu kakak sekarang."

Mendengar itu Badhinadi lekas diam. Ia menyelidik pada Shela, semakin percaya bahwa Amrita tidak selingkuh. Perlahan tangannya bergerak dan mengambil Shela dari pangkuan Amrita.

"Kakakmu? Siapa dia? Bukankah Amrita adalah ibumu?" tanyanya membuat Shela diam tidak sekalipun berbicara.

Amrita terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh suaminya. Mereka saling tatap untuk mendapatkan jawaban.

"Tidak paman, bibi wanita yang sudah menolongku. Dia baik sekali, jangan kau marahi dia paman," ucap Shela membuat keadaan semakin terasa aneh.

"Jadi kalian berdua?" Badhinadi menatap pada pria di samping Amrita dan melihat mereka mengangguk.

"Kalau begitu kau antarkan anak ini pada kakanya. Sepertinya dia tidak bisa dipisahkan dari kakaknya," ucap Badhinadi dan memberikan Shela pada pria di depannya.

"Dan kau Amrita," tunjuknya pada sang istri. "Kau telah menculik anak orang lain."

Badhinadi berjalan memasuki rumahnya dengan di susul Amrita yang terus mengoceh. Pria itu menatap wajah Shela yang membuat rasa ibanya bergejolak. Perlahan tangannya menyetuh pipi Shela, tidak sabar untuk mempunyai seorang anak.

"Jadi kau ingin bertemu kakakmu?" tanyanya yang mendapat jawaban berupa anggukan. "Di mana dia?"

"Palestina, kakak masih di Gaza."

"Baiklah, aku akan mengantarmu."

Pria itu berjalan keluar dari area halaman rumah, menaiki taxi dan berhenti di bandara. Ia tersenyum menatap Shela yang masih berharap. Kakinya melangkah maju hingga akhirnya berhenti di sebuah toko penjual mainan.

"Kau mau membeli mainan?"

Shela menggeleng, "Aku mau tasbih untuk kakak," ucapnya membuat pria itu melamun sebentar.

"Baiklah." Pria itu masuk ke dalam toko dan mengambil sebuah tasbih plastik yang cukup bagus.

"Berapa harganya?" tanyanya pada seorang pria yang berdiri di balik lemari kaca.

"10 rupe."

Pria itu mengeluarkan uang dari dalam dompetnya dan melakukan transaksi di sana. Setelah itu ia kembali ke bandara dan menuju tempat pembelian tiket.

"Semoga saja tiketnya bisa dibeli mendadak ya," ucapnya pada Shela.

ia tersenyum dan menatap wajah Shela. Shela membalikan pandagannya dan menatap apa yang telah ia lewati. Ia menutup mata, tidak sabar untuk kembali bertemu Zehhad.

🕊️🕊️🕊️

PALESTINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang