🕊Saatnya Untuk Ber-Drama

675 98 12
                                    

     Dalam duduk dengan kaki melurus, Zehhad masih menangis. Kedua bola matanya sering menutup untuk membuat air matanya tidak terkandung dalam kelopak. Sesal di hatinya kadang membuat dia lupa, bahwa Shela telah membantunya untuk kabur. Tetapi maksud Zehhad membukakan pintu untuk Shabir, agar pamannya itu dapat menghargai dia. Tetapi apa yang terjadi? Ternyata dia telah melakukan kesalahan.

     Shabir akan tetap seperti itu. Dia tidak akan pernah menyayangi Zehad, sama seperti dahulu. Tidak pernah sekalipun Zehhad merasakan kebahagiaan. Bahkan, memberikan senyum pun rasanya sulit bagi Shabir.

     Shabir yang telah keluar tiba-tiba datang kembali. Dia menarik kerah baju Zehhad dan menggusurnya ke luar, membiarkan tanah yang tandus menahan tubuhnya.

     "Di mana Shela paman?" tanyanya berusaha menyembunyikan ketakutan dan sesekali menyeka air mata.
    
     Shabir hanya diam. Dia menatap Zehhad tidak berubah. Kedua matanya masih memerah. Perlahan Zehhad berlajan ke arahnya dan Shabir menjauh. Dia tahu Zehhad akan memelas meminta tolong. Diapun segera masuk ke dalam rumah dan mengambil beberapa pakaian Zehhad dan membungkusnya dalam kain putih yang cukup tebal.

     "Paman, kenapa pakaianku dikeluarkan?" Zehhad kembali masuk dan menghampiri Shabir.

     Shabir melempar pakaian yang sudah ia bungkus dengan rapi ke arah putra angkatnya. Di sana Zehhad terjatuh karena beratnya menahan pakaian itu. Zehhad menatap bingung, dia tidak mengerti kenapa Shabir melakukan itu padanya.

     "Pergi dari sini!" ucap Shabir ketus tanpa merubah tatapannya.

     Zehhad hanya diam tanpa gerakkan.

     "Pergi dari sini!" Shabir mendorong tubuh Zehhad hingga ke luar dari dalam rumah. Dia segera menutup pintu dan membiarkan Zehhad di luar bersama pakaiannya.

     Sadiah yang muncul dari arah barat segera mempecepat langkah kakinya agar roda dapat berputar dengan leluasa. Melihat Zehhad seperti itu membuatnya sangat cemas. Ia tidak menginginkan sesuatu yang buruk terjadi pada Zehhad.

     "Apa yang terjadi padamu Zehhad?" tanya Sadiah sembari berlari meninggalkan gerobaknya.

     Wanita itu mendekati Zehhad dan memeluknya. Dia merasakan tangis yang berat pada Zehhad. Putranya menderita siksaan batin yang sangat besar dan Sadiah dapat merasakan itu.

     "Apa yang terjadi?" tanyanya tetap tidak mendapat jawaban.

     Saat itu pintu terbuka. Shabir menghampiri dengan senyuman dan memegang tangan Zehhad. Zehhad melepas pelukannya dan menatap Shabir. Dia menangis kemudian bersujud di bawah kaki pamannya.

     "Maafkan aku paman, aku sangat menyesal telah membiarkan Shela tenggelam."

     "Jangan seperti itu." Shabir membantu Zehhad berdiri kemudian menyeka air matanya. "Paman tidak marah padamu, bahkan paman selalu memaafkanmu."

     Zehhad menatap Sadiah yang sedang duduk di atas tanah. Hatinya terasa sedikit tenang ketika bertemu Sadiah. Tetapi Shabir, dia sangat pandai bersandiwara.

     "Sini, paman bantu kamu membawanya." Shabir mengambil pakaian yang tadi dia lemparkan dan membawanya masuk bersama Zehhad.

     Kini tangis itu sudah menghilang, berganti dengan berjuta kepahitan. Zehhad hanya diam memerhatikan pamannya yang memasukkan baju ke dalam lemari. Shabir meraih alat pemotong yang diletakan tidak jauh darinya. Kakinya kembali melangkah, membawa dia berhadapan dengan Zehhad.

     "Ambilah ini!" Shabir memberikan alat pemotong pada Zehhad. "Pergi ke ladang, dan jangan pulang sebelum pukul 3 sore."

     Zehhad menunduk. Saat ini baru jam 7 pagi, sedangkan acara makan keluarga dilakukan pada waktu pertengahan. Kedua matanya menyurutkan air mata. Zehhad berbalik dan berjalan ke luar menggampiri Sadiah.

     Kakinya terus melangkah tanpa memedulikan Sadiah yang sedang sibuk mengambil gandum dari gerobaknya. Sadiah yang menyadari Zehhad sedang bersamanya lekas membalikan tubuh dan melihat wajah putranya yang memerah segaris.

     "Kamu kenapa?" Sadiah menggerakkan kedua tangannya dan menyentuh Zehhad.

     "Aku tidak apa-apa, Bi." Zehhad melepas tangan Sadiah yang memberikan rasa sakit di wajahnya.

     Zehhad berjalan menjauhi Sadiah. Sesekali dia meringis menahan perih di sebagian wajahnya.

     Shabir yang berjalan ke luar mengalihkan pandangan Sadiah. Dia menatap suaminya dengan penuh curiga. Shabir mendekatinya dan mengambil beberapa batang gandum untuk dibungkus dan dimasukan ke dalam karung.

     "Zehhad kenapa?" Sadiah ikut mengambil gandum dari dalam gerobak.

     "Oh dia, Zehhad terjatuh dari atas truk. Dia memang sangat nakal, saat kita bekerja dia malah bermain-main dengan truk pengangkut gandum. Tapi aku tetap menyanginya, meskipun dia bukan anakku." Shabir memangku beberapa tangkai gandum dan memasukkannya ke dakam karung.

     "Wajahnya terluka," lanjut Sadiah

     "Aku tahu."

     "Lukanya seperti terkena cambuk. Apa yang kau lakukan padanya?"

     Shabir berdiri dan memandang Sadiah dengan kaku. Kedua tangannya bergerak ke segala arah membuat Sadiah bingung. Shabir tidak pernah melakukan itu jika sedang tidak panik. Sadiah semakin curiga dengan suaminya.

     "Saat terjatuh, mungkin wajahnya terkena sesuatu. Sudahlah, jangan terus bertanya. Bantu aku memasukkan gandum ini ke dalam karung."

     Sadiah berjongkok dan memasukkan gandum hasil panennya ke dalam karung. Sesekali dia menatap ke belakang untuk melihat Zehhad. Namun tidak ada bayangan Zehhad sedang berjalan atau diam di sana.

     "Zehhad pergi kemana?" tanya Sadiah saat Shabir berdiri.

     "Ke ladang. Padahal aku sudah melarangnya untuk melakukan itu, tapi dia bersikukuh untuk pergi." Shabir mengikat ujung karung setelah semua gandum dimasukkan. Ia menarik karung itu dan mulai menaikannya ke atas punggung untuk disimpan di dalam gudang.

     "Tolong bantu aku!" titahnya pada Sadiah.

     Shabir melangkah dengan berat meninggalkan Sadiah. Wanita itu segera mendorong gerobak dan menyimpannya di samping tembok rumah. Kedua matanya menatap langit yang begitu cerah. Terik mentari membuat keringatnya berulang kali muncul meskipun Sadiah sering membersihkan keringat itu dengan tanganya.

     Sikap yang Shabir tunjukan membuat Sadiah percaya begitu saja. Padahal selama ini, saat ia tidak ada di rumah, Shabir sering melakukan siksaan yang kadang membuat Zehhad harus tetap tersenyum, seperti sekarang.

     Shabir pikir Shela sedang bermain bersama teman-temannya. Dia tidak akan mengizinkan Zehhad bermain dengan adiknya. Bisa-bisa Shela kembali terluka, bahkan bisa lebih parah. Tetapi perkiraannya hanyalah partikel debu yang terbawa udara. Nyatanya Shela sedari tadi memerhatikan Shabir, dan ketika pamannya itu sudah masuk ke dalam rumah, ia segera melangkah pergi menyusul Zehhad.

     "Kakak!" teriaknya pada Zehhad yang sedang berjalan di antara rimbunnya bayangan daun pohon zaitun.

     Zehhad memutar tubuhnya dan menatap adiknya yang sedang berlari ke arahnya. Zehhad melempar alat pemotong yang dipegangnya dan memeluk Shela. Mereka saling menukar kasih sayang. Bagi Zehhad, pelukan adiknya sudah cukup membuat dia bahagia. Meskipun berulang kali ia disakiti oleh Shabir, tapi Zehhad akan tetap berbakti padanya. Sebagai rasa hormat karena telah memasulkan ia dalam sebuah keluarga.

🕊️🕊️🕊️

PALESTINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang