Antara malam yang gelap dengan asap, Zehhad membuka matanya dan tersadar di tengah-tengah mayat yang bergelimpangan. Ia menatap ke segala penujuru dan hanya sepi yang di dapatnya.
Ia mencoba untuk bangun namun masih lemas. Perlahan tangannya bergerak hingga tidak sengaja menyentuh kaki pria pemilik apel. Zehhad mendekat padanya dan membangunkan dia. Hatinya merasa lega ketika melihat kedua kelopak mata pria itu bekedut.
"Ayo paman, kita pergi." Zehhad membantu pria itu berdiri namun ia mendapat penolakan.
"Pergilah, biarkan aku di sini untuk beberapa saat," ucapnya sebelum akhirnya batuk karena terlalu lama menghisap udara yang tidak segar.
"Aku tidak akan meninggalkanmu, ayo kita pergi." Zehhad menggerakan kedua kakinya yang akhirnya dapat bekerja seperti biasa.
Zehhad mengangkat tubuh pria itu dan berjalan memapah pria itu. Kedua kakinya menapak pada pasir yang terasa hangat di malam hari. Partikel debu berterbangan seiring dengan kakinya yang terus melangkah.
"Ohok!" Pria itu jatuh dan tersungkur di atas pasir.
Zehhad membungkuk dan membantunya untuk berdiri tetapi pria itu kembali menolak. Zehhad diam sembari menatap wajahnya yang kotor sebagian. Pria pemilik apel itu tersenyum sambil sesekali batuk tersedak asap yang begitu banyak.
"Di depan terdapat beberapa tentara yang menjaga perbatasan. Kau boleh ke sana, tetapi tidak boleh tertangkap atau terlihat." Pria pemilik apel itu kembali batuk dan akhirnya menutup mata.
"Paman! Tidak paman, kau harus ikut denganku!"
Berulang kali Zehhad menggoyangkan tubuh pria itu namun hanya mendapatkan rasa lelah. Ia mencoba meletakan telinganya di atas dada pria itu dan mendengarkan detak jantungnya yang kian melemah dan pada akhirnya tidak ada detak apapun.
"Inalillahi wa inailahii rojiun," gumamnya pelan.
Zehhad menarik satu-persatu lengan pria itu dan menumpuknya di depan dada. Ia menutup mata, sekedar berdo'a dan berfikir semua itu hanyalah fatamorgana. Tetapi untuk kedua kalinya hatinya merasakan sakit ketika melihat orang yang selalu membantunya telah meninggal.
Zehhad memutar kepala dan menatap ke depan. Di sana gelap, ia tidak tahu bahaya apa yang akan memburunya. Zehhad merasa takut untuk pergi. Tetapi Shela kembali membuat hatinya kuat untuk tetap menjalani hidup.
"Selamat tidur paman," ucapnya kemudian beranjak pergi dan melangkah meninggalkan pria pemilik apel itu di atas pasir.
Kakinya kembali membuat partikel debu berterbangan. Ia menatap ke sekitar, memastikan bahwa tidak ada sesuatu yang mengancamnya. Sesekali ia menengadah, menatap langit yang tidak pernah kehilangan asapnya.
Langkahnya terhenti ketika melihat sebatang kayu besar yang tergeletak di tengah padang pasir. Ia berjalan mendekat, berharap bisa menciptakan api unggun di tengah-tengah kegelapan. Namun ia menghentikan kakinya yang terus melangkah setelah melihat ternyata itu bukanlah kayu.
Perlahan ia mendekat, kemudian membalik tubuh itu. Air mata itu kembali menetes membasahi tubuh wanita yang ternyata Sadiah. Zehhad duduk di dekatnya dan memeluk tubuh Sadiah. Ia menangis melihat bibinya hanya meninggalkan jiwa tanpa raga.
Sesekali ia menatap Sadiah dan mengusap darah yang keluar dari pelipisnya. Zehhad kembali memeluk tubuh Sadiah dan menangis. Hatinya kembali mengelupas, membuka rasa sakit yang baru atas kepergian Sadiah.
"Laki-laki tidak boleh menangis."
Suara itu membuat Zehhad memutar tatapan dan melihat Sizan sedang berdiri di belakangnya. Zehhad menidurkan Sadiah kembali di atas pasir dan berdiri menghadapi Sizan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PALESTINA
Teen FictionKisah yatim piatu yang hidup di tengah konflik dua negara. Zehhad sebagai Kakak hanya bisa memberikan dunia fantasi untuk Shela, adiknya. Ia tidak tahu kapan peperangan itu berakhir, sampai suatu saat. Perjuangan mereka untuk hidup bersama dihalangi...