Dalam Harapan

151 29 0
                                    

     "Satu tiket tujuan Yerussalem," ucapnya pada seorang perempuan berkerudung di balik kaca penghalang.

      Perempuan itu mengutak-atik keyboard komputer dan merobek sebuah kertas di depannya. Shabir menyodorkan uang dan menukarnya dengan tiket pesawat. Ia tersenyum senang karena dengan mudah mendapatkan apa yang ia inginkan.

     "Pesawat Anda akan berangkat 12 menit lagi," ucap perempuan itu sebelum Shabir benar-benar pergi.

     Shanir berlari dengan cepat menghampiri beberapa penjaga dan memberikan tiket yang dipegangnya. Ia lantas berlari melewati beberapa pesawat yang sedang diam dengan posisi menyerong. Kakinya terus melangkah hingga akhirnya menemukan pesawat yang sesuai tujuan. Ia naik ke atas tangga dan duduk di dekat jendela pesawat.

      Tatapannya terarah pada luar dan melihat jarak yang begitu tinggi. Ia kembali pada posisi duduknya yang nyaman. Sekejap datang seorang pria yang bicara tanpa henti bersama temannya yang duduk di kursi belakang. Ia duduk di atas kursi dan menatap ke belakang, berbicang dengan temannya.

     Shabir mengambil ponsel miliknya. Ia melihat jam yang menunjukan pukul 10 siang, tepat sesuai jadwal keberangkatan. Tetapi pesawat itu tidak lepas landas dan diam tanpa menimbulkan guncangan.

     "Maaf, penerbangan ke Yerusalem telah dibatalkan mengingat sedang terjadi perang di sana. Kami harap, anda dapat menerima keputusan ini dengan baik. Terimakasih, silahkan kembali pada saat peperangan di sana sudah usai," ucap co-pilot yang mengumumkan itu melalui speaker di dalam pesawat.

      Terdengar keluh-kesah para penumpang yang tidak terima dengan keputusan itu. Sebagian berdiri dari kursi yang didudukinya dan mengoceh tidak jelas. Shabir pun ikut melakukan itu tetapi tidak mengeluarkan ocehan. Ia hanya menonton semua itu dengan tenang. Berharap sesuatu yang diinginkannya cepat terjadi.

      "Kau," ucap pria di sampingnya pada Shabir. "Tidak mengoceh, tidak asyik!"

       Shabir mendelik kesal tetapi tetap bersabar. Tatapannya teralih pada beberapa orang yang berjalan ke depan dan memukul pintu berulang-ulang.

       "Hargailah kami. Kami semua mempunyai tujuan yang sama, yaitu pulang ke dalam rumah dan bernaung bersama keluarga. Cepat terbangkan pesawat ini!"

      "Ya, terbangkan! Jika tidak aku akan meletakan bom di sini," ucapnya membuat keadaan hening seketika. "Em, maksudku aku akan meletakan bom untuk pengendali pesawat ini."

       Para penumpang kembali mengoceh dan mereka yang berdiri di balik pintu kembali memukul. Beberapa saat pun berlalu dan mereka masih mengoceh tidak jelas.
 
      "Kau membawa bom?" tanya Shabir pada pria di sampingnya yang sedang berteriak-teriak.

     Pria itu berhenti berteriak kemudian tertawa. Kedua matanya terarah pada Shabir dan tersenyum lebar, menunjukan gigi-giginya yang berderet rapi.

      "Tidak. Itu hanya ancaman bohong agar pesawat ini cepat diterbangkan." Pria itu kembali pada keadaanya dan kembali berteriak.

      "Baiklah, silahkan kembali duduk dan pasang sabuk pengaman. Pesawat akan lepas landas 3 menit lagi," ucap co-pilot melalui speakernya.

      Semua orang berteriak penuh kegirangan dan kembali duduk. Mereka yang berdiri di depan pintu kembali pada tempat duduknya. Pesawat itu perlahan lepas landas dan membuat hati semua orang cukup tenang. Shabir menoleh pada sisi kirinya, mendapati beberapa rumah dan gedung sedang dilintasi. Ia kembali menyandar pada kursi dan duduk dengan nyaman.

       Shabir melirik pria di sampingnya yang menoleh ke belakang dan terus berbicara. Ia merasa terganggu kemudian menatap pada jendela kecil pesawat. Beberapa awan menjadi pemandangan tersendiri saat naik pesawat, indah dan begitu lembut.

      Dugh!

      Shabir lekas duduk dan mendapati beberapa green mask turun dari atap pesawat. Ia memakai itu dan mendengar suara riuh. Sesekali matanya melirik pada pria di sampingnya. Sangat berisik sekali. Bahkan dalam keadaan seperti itu dia masih mengoceh.

     "Pesawat mengalami sebuah benturan keras. Tetap tenang dan berdoa."

      Seketika pesawat itu hilang kendali karena bagian ekornya habis terbakar. Pilot dan co-pilot yang bertanggung jawab atas kendali pesawat sangat panik dan pada akhirnya pesawat itu terjatuh.

      Bumph!

      Suara dentumannya sangat keras seperti letusan gunung berapi. Sebuah rudal yang dilepaskan telah membuat pesawat itu hangus terbakar api. Bisa dilihat seorang pria berjalan merangkak menjauhi api dan terbatuk di samping pohon.

      Dia Shabir. Kedua matanya menatap ke depan melihat kobaran api yang begitu ganas. Sesekali tangan kanannya mengepal untuk meredam batuknya. Ia menggerakan tangan kiri dan mengambil ponselnya. Lalu menekan beberapa nomor yang bisa dihubungi.

"Hallo!"

"Ya, ada masalah apa di sana? Tunggu, kenapa suaramu sedikit sumbang?"

"Aku akan menjelaskannya nanti. Sekarang tolong jemput aku di..." Ia menatap sekitar hingga menemukan sebuah plang nama di samping jalanan yang sepi. "Aku ada di jalan Yerussalem."

"Baiklah, aku akan segera sampai di sana."

     Ia menutup sambungan teleponnya. Ponselnya menurun dan tergenggam di atas paha. Wajahnya penuh dengan noda hitam. Ia kembali batuk dan meredamnya dengan kepalan.

      Bumph!

      Pesawat itu kembali meledak dan membuat api semakin berkobar tinggi. Shabir menggenggam erat ponselnya dan berjalan menyusuri jalanan yang sepi. Sebuah mobil Fortuner berwarna merah terlihat terarah padanya. Shabir diam di samping plang nama dan menunggu mobil itu datanh. Akhirnya orang di balik kemudi menghentikan mobilnya dan menatap Shabir dengan terkejut.

      "Apa yang terjadi denganmu?" tanya pria yang waktu itu menolongnya untuk kabur dari cengkeraman perang.

      "Lihat di sana!" tunjuk Shabir pada pesawat yang masih terbakar. "Cepat bawa aku ke Gaza!"

       "Ya tuhan.... untung saja kau selamat. Naiklah!"

       Shabir menyimpan ponselnya ke dalam saku celana dan naik ke atas mobil itu. Ia duduk di samping pria itu dan merasakan angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya ketika mobil sudah mulai berjalan.

       Pria itu adalah teman dekatnya Shabir. Mereka berdua sering beribadah bersama hingga pria itu dapat mengenal keluarga Shabir dengan baik. Ia berasal dari India, tetapi karena pernikahan jadinya ia menetap di Palestina. Tepatnya Yerussalem.

     Mobil Fortuner berwarna merah itu melaju dengan cepat hingga akhirnya sebuah peluru yang dilepaskan membuat ban belakang bocor dan hilang kendali. Pria itu memutar-mutar kemudi dan menginjak rem perkahan hingga akhirnya mobil itu berhenti.

      Shabir dengan sigap berdiri dan mengakat kedua tangannya ke udara. Senapan yang bersembunyi di balik bebatuan itu akhirnya tidak lagi membidiknya. Sizan yang memunculkan wajahnya di sana membuat Shabir terkejut. Dengan segera ia turun dari atas mobil itu diikuti oleh temannya. Ia mendekat pada Sizan dan menatapnya penuh perhatian.

      "Paman? Kenapa kau bisa ada di sini?" tanya Sizan sambil memegang senapannya, bersiaga jika ada Zionis yang mendekat.

     "Di mana Shela? Kau pasti melihatnya kan?" ucap Shabir membuat Sizan sedikit canggung karena pertanyaannya tidak dijawab.

      "Dia sedang bersembunyi. Paman cari saja di dekat bangungan runtuh ini, dia ada di sini."

🕊️🕊️🕊️

PALESTINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang