Ran termenung di ruangannya. Ia melihat gerak-gerik ibunya Rai yang sedang bersih-bersih disana. Sontak saja otaknya kembali menampilkan rekaman wajah sang ibu yang sudah lama tidak ia temui. Dimana dia? Ayah? Orang-orang biadab itu sudah membunuh ayahnya sampe ibunya harus pergi dengan alasan kerja.
"Udah, ma. Capek beres-beres mulu. Bukannya mama baru pulang dari luar kota ya, mending istirahat," ucap Ran yang terduduk di sofa. Tubuhnya mulai bisa diajak kompromi, luka di punggungnya pun sudah mengering. Nanti sore atau besok mungkin ia sudah dibolehkan pulang oleh dokter.
Tak lama kemudian pintu putih itu terbuka dan menampilkan seorang dokter dengan asistennya.
"Pagi, Ran!" Sapa dokter Pito hangat.
"Pagi.." ucap Ran dan Mama Nika berbarengan.
"Hari ini cek dulu ya, Ran," ucap sang asisten dokter itu.
"Ayo, sini rebahan," lanjutnya."Disini aja. Aku udah gapapa kok," bantah Ran.
Asisten itu menatap dokter Pito. Dokter Pito pun mengangguk tanda setuju. Asisten itu mendekat dan langsung memasukkan ujung termometer digital ke dalam telinga Ran sampai bersuara."Suhunya normal, dok," terangnya lagi lalu mencatatnya.
Dokter Pito lalu mengeluarkan stetoskopnya. "Kalo ini rebahan ya. Disini aja gapapa kalo gak mau," ucapnya.
Ran lalu mengangguk dan langsung mencari posisi yang nyaman untuk berbaring disana.
Dokter Pito langsung menempelkan alat itu ke dada Ran setelah kemeja biru muda itu dibuka."Semuanya normal. Bagus, Ran! Coba lihat punggungmu," pintanya. Ran lalu mendudukkan tubuhnya dibantu oleh dokter Pito. Mama Nika sih cuma liatin sambil memotretnya. Buat distatusin, maybe. Ibu-ibu jaman sekarang mah pada gaul-gaul, bahkan melebihi anak mudanya sekalian.
Dokter Pito menyingkapkan kemeja Ran dan melihat luka-luka Ran dengan seksama. "Hari ini juga bisa dibuka perbannya. Asisten Rill, tolong ambilkan alat-alat steril untuk membuka luka nya Ran. Jangan lupakan, NaCl 0,9%."
Asisten Rill langsung melesat. Tak lama kemudian dia membawa sebuah meja beroda yang diatasnya terdapat alat-alat yang dibutuhkan oleh dokter Pito.
Perlahan-lahan dokter Pito membuka perban yang menutupi luka Ran lalu membersihkannya dengan cairan bening itu dengan telaten. Ran sama sekali tidak kesakitan. Lukanya sudah benar-benar sembuh.
"Bilang sama aku, Dok. Aku akan pulang hari ini," ucap Ran memunggungi dokter.
"Boleh, lagipula semuanya sudah stabil. Hanya saja kau harus selalu berhati-hati dengan bahumu itu," jawab dokter sambil menggerakkan perlahan bahu kiri Ran. Tapi Ran tidak meringis kesakitan sama sekali.
"Tapi ini tidak sakit sama sekali," elak Ran.
Dokter Pito menatap Ran lalu memencet sedikit bahu Ran. Barulah dia merasakan sakit.
"Aww, ternyata sakit. Aku akan berhati-hati dokter, asal aku diijinkan untuk pulang." Maksa bener sih ini anak!
"Jangan memaksa, Ran," sergah mama Nika.
"Tidak apa-apa, Bu. Lagipula Ran sudah baik-baik saja. Hanya saja bahunya harus benar-benar dijaga. Jangan mengangkat benda yang berat-berat saja," terang dokter. "Saya akan urus surat kepulangan Ran," lanjutnya lalu tersenyum dan pamit untuk keluar.
Ran lalu berjalan dengan menyeret tiang infusnya menuju dispenser. Ia lalu menuangkannya dan meminumnya.
"Rai dijemput sama siapa, ma?" Tanyanya. Kali ini Nika sedang asik dengan ponselnya. Nika lalu menoleh asisten anaknya itu sejenak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merpati Putih [DONE]
JugendliteraturRaiza, seorang mahasiswa penyakitan yang berusaha mendapatkan ketenangan tiba-tiba harus terlibat dalam pertikaian orang yang tidak dikenalinya. Bermula dari pertemuannya dengan hantu yang tiba-tiba bisa ia lihat setelah operasi jantung. Reihan, han...