Bagian 38

964 88 7
                                    

Vote...!!
___________

Papi Anthony langsung mengemas barang-barangnya. Ia lantas membawa tas kerjanya dan melesat menuju mobilnya. Sahabatnya itu seringkali menghubunginya jika ada masalah atau peristiwa tidak mengenakkan. Seperti sekarang ini, putranya sakit dan ia mungkin sendirian di rumah sakit.

Papi Anthony menyalakan mobilnya sendiri karena supirnya sedang mengantarkan istri dan anaknya ke rumah mertuanya.

Jarak antara kantornya dan rumah sakit tidak jauh. Menjulangnya gedung rumah sakit bahkan terlihat di atas gedung kantornya yang tidak kalah tinggi.

Lima menit berlalu, papi Anthony sudah tiba di parkiran rumah sakit. Ia langsung keluar dari mobilnya yang mewah itu.

Ia masih ingat jika sahabatnya itu bilang dia sedang berada di taman belakang. Ia lantas menuju kesana lewat jalan IGD yang lebih dekat.

"Ish!"

"Ma--maaf pak!" Ujar seorang pemuda yang menabraknya secara tidak sengaja dengan wajah tertunduk dan tangan yang memegang bahunya yang mungkin saja sakit karena benturan antara dirinya dan pemuda itu cukup keras. Setelah mengucapkan maafnya, si pemuda langsung kabur tanpa berniat mendengarkan papi Anthony menjawabnya.

"Hei! Hati-hati kalo jalan!" Teriak papi Anthony yang langsung berlari kembali tanpa peduli dengan sekitarnya.

Papa Andre termenung sendirian, tatapannya kosong ke arah kolam buatan yang mempunyai air terjun kecil itu. Pikirannya melayang pada kondisi anaknya yang menurutnya jauh dari kata baik-baik saja. Hatinya mencelos mengingat perkataan orang lain yang terus mengganggunya.

Tanpa disadari, sebuah aliran terbentuk ke arah pipinya. Lama-kelamaan air mata itu kian deras. Papa Andre menunduk dengan pakaian kantornya yang bahkan belum diganti dan begitu kusut. Kemeja yang dikeluarkan, kancing yang dimasukkan dengan asal. Wajahnya dan telinganya kian memerah menahan tangis. Sekuat-kuatnya lelaki menahan tangis pasti akan pecah juga pertahanannya jika menyangkut orang yang dia cintai.

Tiba-tiba sebuah tangan hangat menyentuh pundaknya yang bergetar. Ia tahu aroma parfum ini.

"Jangan ditahan. Bilang sama gue semuanya," ucap Papi Anthony sambil terus mengusap bahu sahabatnya.

Papa Andre mengusap air matanya. Ia berusaha buat jelasin semuanya sama sahabatnya itu. Ia bangkit dari tundukannya, menatap dalam-dalam wajah sahabatnya.

"Waktu gue pulang dari kantor, Rai tiba-tiba hipotermia. Pagi-pagi dia biasa aja, dia juga gak bilang kalo dia sakit." Ucap Papa Andre lalu memberikan jeda untuk dirinya bernafas.

"Gue yakin bukan itu yang buat Lo nangis kayak gini." Jelas, papi Anthony pasti tau ada yang lebih besar dari ini.

"Gue dapet info, cerita dari klien gue kalo saudaranya meninggal gara-gara penyakit jantung padahal setahun lalu dia transplantasi jantung. Dia bilang kalo penerima donor jantung itu cuma bisa bertahan sebentar. Gue bener-bener takut, kak!" Papa Andre kembali menunduk. Bagaimanapun, orang yang disampingnya ini adalah orang terdekat keluarganya dan ia harus tau semuanya. Meskipun tidak ada hubungan darah antara mereka tetapi persahabatan itu tidak pernah longgar.

Papi Anthony merangkul lebih erat Papa Andre yang tengah menangis, mendiamkannya sebentar hingga tangisnya reda.
________

"Dokter! Hentikan! Itu hanya akan menyakiti dirinya!" Teriak dokter Pito yang berusaha menghentikan dokter Jo yang terus menerus menekan dada Rai yang berdetak tidak karuan. Aritmia.

"Dia harus selamat! Dia anakku!" Balas dokter Jo sambil terus berusaha mengembalikan detak jantung Rai kembali normal.

"Dokter--"

Merpati Putih [DONE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang