Bagian 23

773 70 4
                                    

"Ran!" Rai langsung aja neloyor masuk ke ruang rawatnya Ran. Ran yang lagi baca-baca majalah tentu saja merasa terganggu dengan teriakan Rai yang semena-mena itu. Udah tau ini rumah sakit, masih aja ngerasa rumah sendiri. Mantan budak rumah sakit emang gitu kali ya!

"Apaan teriak-teriak?!" Suara Ran tidak kalah tinggi, balasan setimpal buat orang yang suka teriak tuh!

"Lo suka olahraga? Suka dong, masa enggak!" Cerocos Rai tidak menghiraukan protesan dari Ran tadi.

"Sejak kapan Lo suka olahraga? Jangan mau cari penyakit deh Lo!"

Rai tidak terima. Ia mendekati ranjang Ran sambil mengerutkan keningnya dalam. Well?

"Dimana-mana orang olahraga itu cari sehat, bukan cari penyakit, bego!" Rai menjitak kepala Ran yang kini memberontak itu. Ia lalu menutup majalah yang dibacanya lalu mendongak menatap Rai. Ran menatap dari atas sampai bawah Rai.

"Tapi, ini Lo gak kuat, bodoh!" Ran puas menyentil dada Rai yang tertutup kemeja itu. Lalu membuang muka.

"Ish! Lo sih, kagak paham! Gue juga gak bakalan olahraga yang berat-berat, Ran!" Rengek Rai seolah Ran itu emaknya.

"Gue yakin kalo Lo ngomong sama emak Lo, pasti gak bakalan di ijinin dah! Lo mesti sadar, gue ini cuma asisten Lo. Bukan bokap atau nyokap Lo! Berhenti ngerengek hal-hal yang buat gue dipecat!"

Jika kalian anggap Rai itu sejenis manusia yang diem-diem gitu, kalian salah deh! Jangan liat buku dari cover nya! Justru Rai itu adalah orang terbanyak keinginan yang pernah Ran temui! Emang dasarnya dia anak manja, jadi dia suka minta sesuatu yang muluk-muluk tanpa mikirin keadaan dirinya. Sebenarnya Ran kasihan juga sih sama Rai yang gak bisa rasain apa yang orang lain biasa rasain. Contohnya aja bakso, dokter dan orang tuanya melarang keras dia memakan makanan kayak gitu. Apalagi makanan cepat saji kayak gitu!

Rai terlihat memelas. Gerak-geriknya terlihat seperti berfikir keras. Beberapa kali ia menghembuskan nafas lalu menggigit bibir bawahnya. Terkesan bimbang atas apa yang sedang ia rasakan dan pikirkan sekarang.

"Om Jo bilang, gue harus olahraga. Gue juga pengen dong keluar lari-larian kayak orang lain. Gue sebenernya tuh punya bakat jadi atlet lari tau!"

Jelas sekali ia sedang menyembunyikan kesedihannya.

"Kan Lo suka di rumah," ucap Ran mencoba membujuk dengan lembut. "Lagipula, udara kota sekarang udah gak sehat. Banyak polusi," tambahnya.

"Ya, itu kan keinginan gue yang lain. Tapi bukan lari di luar yang pengen gue minta ke Lo sama mama," balas Rai.

"Terus apa?"

"Gue pengen ikutan beladiri," ucap Rai lalu menyeringai.
_____

"Ara udah. Terimakasih atas sarapannya. Duluan Bang, bye! Jangan main game terus!" Ara langsung mengambil tasnya ia lalu menyalami kedua orangtuanya dan berlalu menjauhi ruang makan itu.

"Tunggu, Ra!" Teriak Ax yang di mulutnya masih tersimpan makanan.

"Hati-hati Ax, nanti tersedak!" Mami angkat bicara.

Ara berhenti dari aktivitas berjalannya. Ia memandangi kakaknya dengan tatapan penasaran. Seakan menyiratkan isyarat kata, "apaan?"

Dengan cepat Ax mengunyah rotinya lalu meminum susunya.

"Bareng Abang aja, Abang juga mau ke kantor," ucapnya.

"Tumbenan kau ke kantor, Ax! Papi kira kerjaan kau cuma main PS terus," celetuk papi dengan enaknya yang langsung disetujui oleh Ara.

"Iya, tumben. Pasti ada apa-apa nih! Ada mau nya pasti, Pi!" Sorak Ara.

Mami sih hanya menonton saja. Ia lalu membereskan bekas makanan keluarganya itu dibantu oleh bibi Mar kedalam dapur untuk dibersihkan.

Merpati Putih [DONE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang