Bagian 3

1.8K 137 7
                                    

"Berpisah itu takdir, melupakan itu pilihan." - Aminor

--------

Dua hari berlalu, Rai dan Rei semakin dekat walau diantara mereka kerap kali ada pertengkaran kecil. Sebagian besar masalahnya berawal dari Rai yang terlalu banyak bertanya masalah masa lalu dari Reihan. Dan sebanyak itu pula Rei selalu menolak untuk menjelaskannya. Bukan apa-apa, hanya saja ia emang tidak terlalu terbuka dengan orang yang baru ia kenal. Ada saatnya Rai tau semuanya. Yang pasti jika Rai sudah serius untuk menolong dirinya.

"Ayolah, ceritakan semua masa lalu Lo. Katanya Lo pengen dibantuin? Gue gak bisa bantu kalo Lo terus nutupi semua jati diri Lo," paksa Rai sambil menatap ke arah cermin yang memantulkan wujud Rei. Ia lalu melahap biskuit yang berada di atas mejanya itu.

"Udah berapa kali gue bilang jangan paksa gue, plis! Gue bakal cerita kalo Lo udah bener-bener serius mau tolong gue!" Sentak Rei. Lalu Rei duduk di tempat tidur Rai dengan posisi yang agak jauh. Lebih tepatnya di ujung tempat tidur yang menghadap ke jendela. Meskipun Rei sudah tidak lagi jadi manusia, ia tidak tembus jika sedang duduk. Ia juga tidak melayang seperti halnya hantu kebanyakan

"Gue udah serius, Rei. Lo nya doang yang terlalu takut. Sekali-kali positif Lo sama gue! Jangan negatif terus!" Ejek Rai sambil terus melahap biskuitnya. Sekarang ia tidak peduli dengan pikiran Rei. Ia sudah menganggapnya sebagai seorang teman nya yang sudah lama akrab.

"Udah gue katakan, gue tau semuanya. Rai. Raiza!" Bentak Rei, tapi Rai malah cuek dan gak ambil pusing. Lebih baik kan ia gak tau apa-apa tentang makhluk itu. Daripada nanti repot harus tolongin dia?

Mungkin sekarang Rai memilih bodo amat dan tidak ambil pusing. Tapi sesungguhnya ia sangat penasaran. Hati kecilnya juga berkata kalau ia adalah orang baik dan penting dalam hidupnya. Ia telah memberikan jantungnya yang kini merupakan organ yang menentukan hidup atau matinya Rai.

Rai berfikir jika ia mati, mungkin saja ia akan mati seperti Rei. Tidak punya raga tapi masih memiliki perasaan dan kekecewaan yang belum terhapuskan. Jika ia mati, mungkin saja ia mati dalam penasaran akan sosok wanita yang merupakan selingkuhan papanya. Jika ia mati, mungkin ia akan mati dalam rasa penyesalan akan betapa lemah dan bodohnya ia.

Rai mulai sadar akan kehadiran Rei. Ia menghentikan makannya lalu berbalik. Tapi Rei sudah tidak ada. Ia melihat kanan kiri, pandangannya menyisir ke semua arah tapi Rei tidak nampak.

"Rei, Reihan! Lo kemana hey?" Tanya Rai. Tapi tidak ada balasan.

"Rei, gue mau ngomong sesuatu! Lo datang dong!" Teriaknya. Kali ini dia memandang cermin. Berharap Rei bakal datang lewat cermin itu seperti biasanya.

"Rei! Kampr*t Lo!" Decihnya.

"Lo yang kampr*t! Emang gue apaan suka keluar dari cermin? Jin Tomang?" Rei perlahan datang dibelakang Rai. Menyeringai namun tatapannya kesal.

Rai dengan cepat berbalik tapi Rei lebih cepat, ia menghilang kembali dan datang di arah berbeda.

Rei menyeringai tertawa kecil melihat kebodohan Rai.

Tapi kali ini, ia tidak menghilang kembali, toh dia emang tidak bisa pergi jauh dari Rai kok karena jantungnya itu seperti magnet dan ia seperti besi yang terus tertarik oleh medannya.

Rai mendekati Rei dengan cepat yang kali ini berada di depan jendela besar kamarnya menghadap ke arah matahari. Cahaya matahari pagi menembus tubuh Rei dengan mudahnya tanpa halangan seperti hologram tapi nyata. Tubuhnya, pandangannya, bahkan aura hangat tubuhnya sangat nyata. Tidak seperti hantu-hantu di film atau yang diceritakan orang kebanyakan.

"Lo mau ngomong apa?" Tanya Rei tanpa mengalihkan pandangannya dari arah cahaya matahari yang sama sekali tak membuat matanya menyipit.

"Gue baru sadar kalo hidup itu menyenangkan. Dan gue sekarang bersyukur akan itu, gue berterima kasih sama Lo. Tapi, bolehkah Gue minta tolong sama Lo buat nyari tau siapa selingkuhan bokap gue?" Pinta Rai tepat di belakang Rei.

Rei tidak bergerak, matanya semakin lekat menatap matahari seakan menantang matahari yang semakin panas. Dan akhirnya ia menunduk sebentar dan berbalik memandang Rai.

"Lo bakalan tau semuanya jika Lo bantu gue," jawab Rei dengan kalimat sesingkat itu.

Rai tidak menjawabnya. Ia tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Rei. Ia berfikir bahwa Rei sangat memaksa dengan tujuannya padahal ia sudah mati.

"Pakai jaket Lo, kita akan keluar sekarang!" Perintah Rei sambil berjalan dengan cepat menembus pintu.

"Hei, heii! Apa-apaan Lo? Heii!!" Rai mencoba untuk protes tapi Rei sudah keluar dan mungkin tidak ingin mendengar protesnya.

---

Di taman belakang kompleks yang lumayan luas matahari telah naik dan semakin panas, tandanya sekarang telah siang. Rai sudah merutuk dalam hati mengutuk Rei yang tidak ada guna mengajaknya kesini. Ditambah taman tidak rindang hanya di tumbuhi bunga di sisi-sisi jalan yang berada  di tengah. Tepat di titik tengah bulatan itu terdapat beberapa kursi saja.

Rai sudah sangat gerah. Ia ingin membuka jaketnya dan langsung mandi dengan air dingin. Sedangkan Rei hanya melamun. Kadang-kadang menghilang tidak tahu kemana lalu kembali lagi, kadang-kadang berjalan bolak-balik didepan Rai dan tidak menjawab kala ditanya.

"Ayolah, Rei! Kita pulang! Aku ingin mandi!" Sentak Rai pada Rei yang kini sedang membelakangi dirinya. Entah apa yang ada di pikirannya Rai tidak bisa menebaknya dan itu membuat Rai manjadi serba salah. Tidak adil! Kenapa hanya Rei yang mampu membaca dan mengetahui semua isi hati dan pikiran Rai? Kenapa ia tidak bisa?

"Rei!" Kali ini suara Rai lebih tinggi satu oktaf dari sebelumnya. Dan tepat disaat setelah ia memanggil Rei, tiba-tiba ia merasa sedih tanpa sebab. Air mata Rai turun tanpa sengaja, ia sendiri tidak tau apa yang salah tapi kini hatinya malah merasa sangat sedih.

Air mata Rai kini sudah membasahi pipinya yang putih. Ia tidak tau apa yang terjadi dan bagaimana cara menghentikannya. Dan setelah ia melihat ke arah Rei, ia melihat Rei terisak tapi tanpa air mata.

Rai berjalan ke depan Rei. Melihat keadaannya dan sangat ingin menyentuhnya. Tapi tidak bisa. Ia hanya melihat Rei menangis tanpa air mata.

"Hei, Rei! Lo nangis? Lo kenapa nangis? Gue tadi cuma bercanda kok. Lo pura-pura pasti kan?" Tanya Rai perhatian dan air mata Rai semakin deras seiring kencangnya isakan Rei. Dan hal itu membuat Rai kembali sadar bahwa mereka saling terhubung.

"Rei! Ini air mata Lo? Hah? Gue tau. Lo jangan nangis lagi dong!" Ujar Rai berniat untuk menenangkan tapi tidak bisa.

Lingkungan Rai yang lembut karena dekat dengan sang ibu membuat Rai juga menjadi pribadi yang care dan lembut. Ia tidak bisa melihat orang lain menangis, jika ada sekalipun, ia selalu berusaha untuk menghiburnya tapi mereka selalu saja menjauhi Rai. Jadi kali ini adalah kali pertama Rai mencoba menenangkan orang lain tanpa orang itu menjauh.

"Maafin gue, Rai. Gue mesti libatin Lo dalam urusan gue yang sangat rumit. Gue gak tau Lo bakal kuat apa enggak, yang pasti gue minta maaf untuk sekarang," ucap lirih Rei menunduk. Lalu menyeka matanya yang kering.

"Nggak, Rei. Gue rela kok lakuin ini. Gue udah serius mau bantu Lo karena gue kasian sama Lo. Karena gue tau gimana rasanya pergi dengan rasa yang masih belum puas, pasti hati Lo nggak tenang. Dan mungkin itu yang membuat Lo masih berada di dunia meskipun Lo udah mati. Gue serius pengen bikin Lo lupa akan semua masalah Lo," kini Rai emang sudah benar-benar yakin dengan ucapannya.

Rei sudah agak tenang, meski belum lega sepenuhnya. Air mata Rai pun sudah mulai mereda.

"Kita pulang," putus Rei lalu berjalan dan diikuti oleh Rai.

Ditengah perjalanan Rei berkata besok Rai harus kembali kuliah dan Rai mengiyakan karena ia juga telah sangat rindu akan kampusnya ia pasti ketinggalan banyak materi.

------

TERIMAKASIH TELAH IKUTIN CERITA MERPATI PUTIH SAMPAI SEKARANG.
TOLONG TINGGALKAN JEJAK, YA!!

SAMPAI JUMPA!!😁❤️

Salam, Aminor

Merpati Putih [DONE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang