Bagian 17

823 64 1
                                    

Ax membuka kelopak matanya. Ia akhirnya tertidur juga, padahal niatnya ia mau mainin game online terbaru. Orang tuanya yang over protektif itu kadang membuat Ax justru menjadi tidak disiplin, mandiri dan tidak dewasa. Ia juga nyadar kalo dirinya yang sudah lulus S2 malah berfikir bahwa ia sebenarnya tidak dewasa-dewasa. Mana ada manager kantor dan pengusaha muda yang sukses umur 22 tahun masih dimanja sama orangtuanya? Ya kayak gini, sakit dikit aja diurusin sama ortu. Kadang-kadang makan pun ia masih disuapin sama maminya.

Ax juga suka banget main game. Rasanya ia seperti masih anak kecil suka main PS heboh kalo menang. Sedangkan urusan kantor dengan jeniusnya bisa selesai hanya dalam beberapa jam. Malah para karyawannya suka senewen dengan omongan Ax yang kadang-kadang ceplas-ceplos namun bener. Tapi Ax juga punya kepribadian lain, ia bisa saja berbicara layaknya orang dewasa. Kalo seperti itu, gaya bicaranya santai tapi penuh dengan ilmu. Ya mungkin sikap dewasanya 40% daripada sikap kekanak-kanakan nya yang 60%. Masih butuh 10% untuk seimbang dan itu sangatlah sulit.

Ax bangun dan duduk menyender di kepala ranjangnya. Matanya sedikit memejam lalu..

"Kak!"

Ax langsung menggelengkan kepalanya keras. Bayangan apa itu? Seperti seorang anak lelaki berbaju lusuh dan berlubang-lubang menyapa riang Ax yang berdiri sendirian.

Ax membenarkan rambutnya yang jatuh menutupi matanya. Dan bayangan itu kembali. Kali ini si anak itu tersenyum lalu berbalik badan. Senyumnya yang manis dan terasa ringan itu di lontarkannya pada Ax yang terpaku seakan tidak mampu untuk berbuat apa-apa.

Punggungnya yang kurus itu terlihat jelas dibalik pakaiannya yang tipis dan berlubang-lubang. Tepat di punggungnya yang kurus itu ada sebuah tanda hitam. Pandangan Ax terpaku pada tanda itu dan bayangannya hilang dengan sendirinya.

Air mata Ax meleleh tanpa disadari. Buat apa ia harus menangis? Itu hanyalah mimpi!

Ax segera menyeka air matanya.

Klik!

Arani yang telah menyadari bahwa abangnya itu menangis segera mendekatinya.

"Abang nangis? Kenapa? Abang masih sakit?" Tanya Arani lalu megap-megap tubuh abangnya.

Ax lalu mengambil tangan Arani yang berada di lehernya.

"Gapapa, Abang cuma mimpi doang. Baper nih,," jawab Ax mengusap punggung tangan adiknya itu.

Arani antusias. Pasti Abangnya ini habis mimpi di putusin sama pacarnya!

"Abang mimpi diputusin sama cewek ya??!! Sama kak Yel?" Tanya Arani kepo banget. Yel itu adalah mantan pacar Ax sewaktu SMA. Hubungan mereka hanya bertahan selama 10 hari, dan sejak saat itu pula Ax tidak pernah berpacaran. Ax berharap semoga Yel bukan wanita pertama dan terakhir, karena setelah enam tahun tidak bertemu ia mendapat informasi jika perempuan itu berencana untuk segera menikah.

"Sotoy kamu dek! Abang gak gitu juga kali!" Elak Ax tidak suka.

"Hahaha! Ya udah deh, tuh sama mami papi dipanggil," putus Arani lalu neloyor keluar kamar.

Ax lalu bangkit dan membuntuti Arani. Arani malah pergi ke kamarnya lalu membawa tas gendongnya.

"Mana mami sama papi nya?" Tanya Ax keheranan tidak melihat kedua orangtuanya.

"Loh? Kok nuturin kesini? Tuh, mami sama papi di atas!" Seru Arani sambil nunjuk ke atas.

"Kamu mau kemana?"

"Kerja kelompok dirumah temen. Dianterin kok sama supirnya papi," jawab Arani kegirangan. Ada apa?

Ax tidak memperdulikannya, ada suatu hal yang penting dan harus ia tau dari orangtuanya.

"Yaudah, sana! Hati-hati ya! Jangan pulang sendirian. Bilang papi atau telpon Abang!" Seru Ax menatap kepergian Arani yang ternyata berbalik kembali.

"Jangan kayak orang susah, bang! Supir barunya papi mau nungguin kok!" Ucap Arani seenaknya.

Terserah! Ax langsung berbalik dan pergi ke arah tangga untuk menemui kedua orang tuanya.

Ax masuk ke ruangan yang sudah tidak asing lagi di matanya. Ruang kerja papi yang sangat luas. Ruangan pertama setelah lulus kuliah yang ia benci. Bagaimana ia tidak benci, setiap hari ia bergelut di ruangan itu sebelum akhirnya kantor papi yang megah itu menjadi tempat nya bergelut dengan uang dan uang. Ya begitulah, Ax benci uang tapi ia tidak pernah kehabisan uang. Ia benci bekerja, tapi ia tak pernah berniat untuk berhenti bekerja.

Terlihat kedua orang tua itu sedang duduk dengan raut wajah cemas, tidak tenang. Ax berjalan mendekati papinya.

"Ada apa, Pi? Mi?" Tanyanya kebingungan.

Lalu dengan cepat mereka meraih tubuh tinggi yang berdiri kebingungan itu. Kedua orangtua Ax memeluk tubuhnya sedangkan ia tidak tau apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang mereka lakukan?

-------

Rai masih memikirkan perkataan Ran tentang masalahnya. Tumbenan itu anak bisa langsung terbuka dan nyerocos ceritain jalan hidupnya yang rumit. Efek obat kali ya, tapi gak tau juga sih karena selama ini Ran gak pernah terbuka tentang hidupnya. Apalagi sejauh ini. Awal permasalahannya dan tidak lupa ia ceritakan tentang kakaknya yang Rai udah tau duluan pastinya. Tapi tentang orangtuanya, ia tidak pernah bisa menjawab.

"Gue jadi penasaran yang namanya Kris itu gimana orang nya," ucap Rai pada dirinya sendiri. Masih berada di kamar Ran, hening. Dirinya tidak merasa terganggu dengan suara EKG yang sudah ia kenali sedari kecil.

"Reska, sebegitu berharganya cewek itu? Sampe Rei rela mati demi pertahanin cewek kayak gitu? Dan kini adiknya, ikut-ikutan dalam masalah mereka. Adik kakak yang aneh, pada gak takut mati!" Gerutu Rai yang tiba-tiba kesal dengan keadaan menyedihkan Ran. Tapi bukan berarti dia menyalahkan Ran.

Rai tercenung. Dia melihat keluar jendela. Jalan raya kota dengan transportasi yang begitu membludaknya. Ibu kota tercinta ini sudah panas terpapar polusi setiap harinya. Bagaimana masa kecil Ran yang sengsara bisa bertahan di antara panasnya ibu kota dan kerasnya orang-orang berdasi yang tak kalah kerasnya terhadap orang kecil seperti Ran dan Rei.

Tanpa disadari pikiran Rai melayang pada kisah orang yang diam-diam menyusup dalam hidupnya itu.

"Hei! Gak jelas Lo Rai mikirin orang gak jelas kayak dia! Pikirin diri Lo sendiri!!" Sentaknya pada diri sendiri yang ia rasa kacau.

Tapi apa yang harus Rai pikirkan dalam hidupnya? Rai rasa, hidupnya tidak banyak liku, tidak banyak masalah juga. Flate. Apa yang harus dipikirkan? Pernah ia iri dengan orang lain yang hidupnya terasa banyak beban. Ia ingin sekali punya beban yang sama dengan teman-teman kampusnya. Pulang malam, ngopi sambil ngerjain tugas, ikut organisasi, seminar, berwirausaha di kampus, dan seterusnya. Disisi lain ada seorang ibu yang begitu memanjakannya dengan alibi sayang. Meski sebenarnya, bukan sayang yang Rai rasakan. Tapi, terkekang. Terdengar tidak tahu diri emang, tapi itulah remaja. Jiwanya bebas.

Mungkin dengan memikirkan masalah Ran, Rai bisa mempunyai beban yang sama dengan orang lain. Pikirnya. Rai pun melanjutkan pemikirannya yang kian merumit.

--------
HAIIII!!!

TERIMAKASIH TELAH IKUTIN CERITA MERPATI PUTIH SAMPAI SEKARANG!!

Kritik dan sarannya ya!!

Jangan lupa tinggalkan jejak!!

Mau tau kelanjutannya???

Ikuti terus cerita ini ya...

Semoga betah!!😁😁🎉

SAMPAI JUMPA!!👋👋😍😍😁❤️

Merpati Putih [DONE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang