Bagian 45

628 52 4
                                    

Tk

Sebuah cangkir kopi diletakkan didepan seorang lelaki yang tengah menunduk sambil memeluk kaki kurusnya. Terlihat sekali bahwa orang itu tengah berfikir keras. Masalah nya benar-benar rumit!

"Minum dulu nih, biar tenang!" Ujar seorang yang membuatkan kopi lalu duduk diatas kasur tanpa ranjang itu. Ia sendiri tidak tahu apa masalah yang tengah dihadapi lelaki ini. Main datang aja dikala ada masalah. Udah tahu indekos nya sempit ia malah minta menginap beberapa malam disini.

Ran bukan enggan berbagi masalahnya dengan lelaki yang tengah menyesap kopi hitam itu. Ia hanya merasa tidak tahu harus dari mana ia bercerita.

"Ayolah, Ran! Gue gak akan tahu masalahnya kalo lo gak ngomong. Gue kan sahabat lo!" Gertak Alde lalu menyimpan cangkirnya dilantai. Kakinya lalu ia selonjor kan karena pegal.

"Gue-- Akh! Gue gak tahu harus ngomong dari mana dulu. Gue sendiri masih gak percaya!"

Ran mengerang pasrah. Dirinya begitu lelah. Hatinya bimbang, mendesah mengingat nasibnya yang malang. Air mata Ran mengalir di mata kanannya. Ia lalu menyeka nya. Jangan sampai dia menangis. Munafik sekali dia. Menyuruh Rai untuk tidak menangis, tapi dia sendiri malah menangis.

Akh! Lagi-lagi dia ingat sama Rai. Ia belum sempat berterimakasih kepadanya. Meskipun Rai kadang-kadang menyebalkan, tapi dia sangat penyayang. Ia belum bisa membalas apa yang Rai lakukan ketika ia sakit.

Mama Nika pasti sangat kecewa dan tidak ingin mendengar Ran memanggilnya mama. Begitupun dengan papa Andre.

Sekarang Ran benar-benar telah sendiri didunia ini. Masih untung dia punya Alde yang mengijinkan nya menumpang disini beberapa malam, karena besok-besok ia harus pergi ke tempat lain. Tentu saja, karena kost ini sangat sempit. Hanya terdiri dari satu kamar dan dapur yang berdempetan dengan kamar mandi yang hanya muat satu orang, satu bak kecil dan satu toilet jongkok.

Ran harus mencari pekerjaan lain. Sambil mencari keberadaan ibunya, tentu saja. Ia ingin mendengar keberadaan ini dari mulutnya langsung. Uang Ran telah tipis. Bukan karena foya-foya. Tapi semua uang pemberian dari mama Nika ia kembalikan lagi padanya. Ia transfer semua uang kecuali gajinya yang telah mereka sepakati diawal.

Ran benar-benar malu. Lalu untuk menghargai Alde, ia membuka suaranya.

"Orangtua gue bukan orangtua kandung gue."

Alde terkejut dibuatnya. "Beneran? Siapa yang bilang?"

"Ini! Ini yang bikin gue susah jelasinnya. Gue gak yakin lo bakalan percaya," jawab Ran.

"Lah? Kenapa gue nggak bakalan percaya?"

"Karena..."

Sebelah alis Alde terangkat, menyakinkan Ran sekaligus meminta penjelasan Ran.

Ran menghembuskan nafasnya berat. "Karena ini menyangkut urusan kakak gue yang udah meninggal."

Alde tersenyum aneh ke arah Ran. Menganggap Ran lupa akan dirinya, sahabat Ran yang selalu mendengarkan masalahnya.

"Kak Reihan? Bukannya kita semua udah tau permasalahan dia sama lo, sama Reska, sama Kris. Apa lagi? Lo lupa sama gue? Apa coba yang gue gak ngerti?" Jawab Alde lalu menyesap kopinya kembali.

"Lebih rumit dari masalah itu. Ini gak ada hubungannya sama Reska, sama Kris, gak ada."

Alde mendongak. Mendekati Ran lalu duduk di pinggir nya yang hanya beralaskan tikar lusuh.

"Apa? Gimana? Masalah baru?"

Ran mengangguk lalu menatap kopi nya yang masih mengeluarkan asap tipis.

Merpati Putih [DONE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang