"Lepasin gue!"
Dua orang berbadan kekar itu tersenyum sinis. Salah satu dari mereka berucap, "Lu pikir semudah itu kita ngelepasin lo?!"
"Lepasin gue! Gue nggak akan mau balik ke bos lu itu lagi kalo kalian belum ngerti!"
Air matanya lolos begitu saja tanpa bisa dicegah. Ketakutan yang sama terulang untuk kesekian kalinya. Percuma saja jika dia berteriak, Ana tau betul bahwa pengawal ayah nya adalah orang yang licik. Menangkapnya di gang sempit seperti sekarang.
Ana menutup matanya sebentar, menekan rasa takutnya. Membiarkan otaknya berfikir untuk mencari jalan keluar dari masalahnya.
"Pak! Tolongin saya pak!" teriak Ana membuat dua orang laki-laki tadi sontak menoleh kearah yang Ana ucapkan.
Ana sendiri tak menyia-nyiakan kesempatan itu begitu saja. Dia langsung menggigit salah satu tangan diantara mereka kemudian menendang sekuat tenaga pria yang satunya.
Jika kalian belum tau, Ana adalah juara taekwondo dulu.
Setelah melihat dua orang itu memekik kesakitan Ana langsung berbalik dan berlari dengan langkah cepat dan sekencang mungkin. Dia juga sengaja berbelok kearah gang yang dia sendiri tak tau arahnya. Ana tak bodoh dengan membiarkan mereka tau rumahnya dengan mudah.
Ana menyeka air matanya. Ini memang pernah terjadi padanya, tapi dia selalu dilanda ketakutan yang sama. Ini persis seperti de javu. Berlari dan terus berlari tanpa tau arah dengan nafas yang ngos-ngosan. Sekarang yang ada hanya rasa panik dan takut sehingga membuat otak nya blank dan tak bisa berfikir.
Dia terus menahan rasa sakit akibat luka nya kemarin. Ana menghentikan langkah nya perlahan, menatap kesekeliling tempat itu. Sekarang dirinya berada di sebuah pasar malam, banyak orang berlalu lalang dan berjualan baik yang muda sampai tua.
Ana menghembuskan nafas lega, bersyukur karna bertemu dengan keramaian. Setidaknya pengawal ayah nya akan sulit menangkap dia.
Ide konyol tiba-tiba terlintas dibenak nya setelah melihat biang lala.
"Pak! Tolongin saya pak! Saya dikejar dua orang penjahat pak!" Ana berteriak sambil menunjuk dua orang pria yang seperti nya sedang mencari sesuatu.
"Tolongin apa neng? Kalo si neng teh siapa?"
"Ceritanya panjang pak! Saya mohon tolongin saya! Ini darurat! Izinin saya naik biang lala ya?"
Bapak-bapak tadi mengangguk kemudian membuka salah satu pintu biang lala. Ana tersenyum lega saat biang lala mulai berjalan.
Dia kemudian mengambil hp di tas nya. Mengumpat saat hp nya mati. Dia juga tak berani menatap kebawah, takut jika orang tadi akan bisa mengenali dia.
Cukup lama biang lala itu berputar dan Ana masih saja terisak. Ana juga bersyukur karna dirinya tak menemukan pengawal ayah nya lagi.
"Makasih ya pak sekali lagi, tapi maaf saya nggak bisa bayar.." Ana menatap bapak tadi, berharap dia akan diizin kan pergi walau tak membayar. Karna uang nya sudah habis dan tante nya juga belum mengirimkan uang padanya.
Sebenarnya jika juga cemas dengan keadaan tante nya karna beberapa hari ini susah dihubungi.
"Nggak papa kok neng! Saya juga tau tadi teh orang mau jahat sama neng. Saya ikhlas kok."
Ana mengangguk, bersyukur karna masih banyak orang baik di Bandung. "Saya permisi dulu ya pak?" pamitnya.
"Iya neng, hati-hati."
Ana menatap kesekeliling bingung, kemudian memutuskan berjalan kembali ke gang tadi. Sekarang suasana menjadi sepi, hanya ada beberapa orang yang sedang duduk-duduk diteras rumahnya.
Tanpa sadar air matanya menetes lagi.
"Bunda.." gumamnya lirih.
Ia pun berjalan menuju orang-orang disana. Berharap ada yang mau menolong nya.
"Bu, permisi numpang tanya, ini dimana ya? Kalo dari sini, kejalan Cendana kira-kira jauh nggak?" tanya Ana pada mereka.
"Kalo ke jalan Cendana mah lumayan neng! Kenapa emangnya?"
"Saya kesasar bu, kira-kira ada ojek nggak ya kalo disini?"
"Wah, kalo mau pangkalan ojek mah dijalan raya neng, disini mah jarang."
Ana mengangguk, "Jauh nggak ya bu?"
"Neng teh harus jalan keluar dari gang ini dulu neng, baru ketemu jalan raya! Atau gini aja, neng nebeng anak saya aja, anak saya juga mau kejalan Cendana."
"Tapi saya nggak punya uang."
"Nggak papa neng, gratis!"
Ana tersenyum senang kemudian mengangguk antusias. Tak lama sebuah motor melintas didepannya.
"Bu, pamit ya?" ucap cewek dimotor.
"Si neng ini nebeng kamu ya, Din? Dia kesasar, kebetulan rumahnya dijalan Cendana."
Cewek itu mengangguk, "Hayu atuh!"
Ana tersenyum kemudian menaiki motor tersebut, "Makasih ya bu.."
***
Cukup jauh memang jarak rumahnya dan jalan tadi. Buktinya ia belum juga sampai padahal hari sudah semakin larut sejak tadi badannya juga sudah sangat lelah dan lemas. Ana lupa jika dia hanya makan bakso saat dikantin tadi siang.
Ana juga dari tadi berbincang dengan perempuan didepannya. Menanyakan tentang sekolah mereka dan yang lainya. Walaupun jujur Ana sendiri masih dilanda rasa cemas.
"Saya turunin disini aja nggak papa kan?" tanya perempuan itu.
"Iya nggak papa, makasih sekali lagi."
Setelah perempuan yang menolong nya itu pergi, Ana kemudian berjalan menuju rumahnya.
Sementara Adel sejak tadi tak henti-henti nya berbolak-balik seperti orang cemas. Ana belum juga pulang, tentu saja dia cemas. Ia juga heran dengan abang nya, bisa-bisanya cowok itu bersikap biasa saja.
"Nanti juga dia pulang Del, nggak usah lebay."
"Abang nggak ngerti ish!"
Tiba-tiba matanya menangkap Ana yang sedang berjalan memasuki rumahnya. Tapi, kenapa cewek itu terlihat berjalan dengan gontai?
"Kak Ana!" teriak Adel membuat Ana menoleh. Cewek itu tersenyum kearah Adel sampai tiba-tiba..
Brugh!
"Bang! Kak Ana jatuh bang!" Adel menepuk bahu Arka sementara cowok itu langsung menoleh dan membulatkan matanya terkejut.
Tbc.
kalo ada typo, jangan pelit buat ingetin ya! Vote & komen juga biar tambah rame:)
KAMU SEDANG MEMBACA
[AHS#1] Arka
Teen FictionArka Revano Abraham, cowok tampan yang tak mempunyai sifat prikemanusiaan. Cowok dengan sifat sedingin es, dan sekeras batu. Kecelakaan yang terjadi kepada kedua orang tuanya membuat sebagian hidup Arka hancur. Satu-satunya alasan Arka bertahan hidu...