Chapter 36

6.3K 262 5
                                    

Ana berlari diderasnya hujan yang mengguyur Bandung. Tak peduli beberapa orang yang menatapnya aneh atau apa. Dia hanya ingin berteriak, dia ingin dunia tau betapa lelahnya dia. Setidaknya air hujan akan menyembunyikan airmata nya sekarang.

Ana terduduk lemas. Entah sudah berapa jauh dia berlari. Dia tak tau kenapa dunia tak pernah adil padanya. Tak cukup keluarga bahkan sekarang cintanya pun melukainya.

"Aaaaaaaaaaa!!!"

Ana berteriak sengkencang-kencangnya.

"Kenapa Tuhan nggak pernah mau kasih gue kebahagiaan! Kenapa!" Ana menatap langit dengan mata terpejam.

"Ana kangen bunda. Dunia luar terlalu luas buat Ana. Ana butuh bunda, bun.." lirihnya rapuh. Sungguh dia butuh dekapan. Dia lelah. Dia ingin menangis. Dia ingin memutar waktu saat dimana hanya ada kebahagiaan dihidupnya. Ini salahnya. Harusnya dulu dia bisa menjaga rahasia itu dengan baik agar bundanya tak pernah tau dan dia pasti tak akan kehilangan sang bunda.

Ini salahnya.

Ana mendongak saat merasa kini air hujan tak membasahinya. Dia menatap cowok itu datar. "Ngapain lo disini?" Ana bangun dengan sedikit kesulitan.

"Lo ngapain teriak-teriak kayak tadi?!" cowok itu sedikit berteriak karna takut suaranya tak terdengar karna lebat nya air hujan.

Ana mencopot high heelsnya. Menatap sebentar cowok itu kemudian pergi dari sana tak berniat menjawab pertanyaan yang cowok itu ucapkan.

Ana berjalan dipinggiran jalan dengan langkah gontai. Airmata nya tak bisa berhenti untuk tak membasahi pipi gadis cantik itu. Tatapannya kosong.

Semantara cowok itu memutuskan mengikutinya dari belakang dengan membawa payung. Matanya menyerit saat melihat Ana limbung. Dengan cepat dia berlari dan menopang tubuhnya bahkan dia tak sadar jika sudah menjatuhkan payung yang dibawanya. Dia membalikan tubuh Ana agar menghadapnya kembali.

Cowok itu tertegun melihat penampilan Ana yang jauh dari kata sempurna. Mata yang sembab, hidung yang memerah serta tubuhnya yang menggigil. Dia langsung menarik gadis itu kedalam pelukanya. "Sssst, jangan nangis."

"Gue cape, Ar. Gue kangen bunda. Gue kangen kehidupan gue dulu, gue nggak tau harus gimana lagi sekarang. Kenapa Tuhan nggak pernah kasih kebahagiaan buat gue. Kenapa gue selalu disalahin atas apa yang bahkan gue sendiri nggak pernah ngelakuin itu."

Ana terisak hebat. Memukul pelan dada Arka seolah itulah satu-satunya tempatnya melampiaskan amarah. "Gue kangen bunda. Kenapa Tuhan setega itu harus ngambil bunda dari gue..."

"Tuhan lebih sayang sama bunda lo, Na."

"Kenapa Tuhan nggak sayang juga sama gue? Kenapa bukan gue aja yang Tuhan ambil?"

Arka terdiam. Tak mampu mengucap apapun. Dia melepas pelukannya saat merasa bahwa kini suhu tubuh Ana sangat dingin. Bibir cewek itu bahkan bergetar menggigil dan wajah yang pucat pasi.

Dia melepas jaket yang dikenakan nya dan memasang nya pada tubuh Ana. Dia kemudian merangkul Ana menuju mobilnya dan segera meninggalkan tempat tersebut.

Bahkan keduanya tak sadar jika ada dua pasang mata yang melihat gerak-gerik mereka sampai mobil Arka sudah tak terlihat.

"Maafin aku, Na."

***

Saat ini Arka sedang berada disebuah kamar rawat disalah satu rumah sakit. Duduk dikursi dekat dengan ranjang gadis yang sedang tertidur tersebut.

Bahkan dia sama sekali belum tertidur dari semalam hanya karna adiknya memintanya untuk tetap menjaga gadis itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bahkan dia sama sekali belum tertidur dari semalam hanya karna adiknya memintanya untuk tetap menjaga gadis itu. Arka tersentak saat seseorang membuka pintu kamar rawat. Tak lama muncul lah seorang dokter yang sedang tersenyum kearahnya.

"Dia belum siuman?" tanya dokter bername tag Lina tersebut ramah.

Arka menggeleng. "Belum dok."

"Saya sepertinya pernah melihat gadis ini." Dokter Lina berusaha mengingat wajah Ana kembali karna menurutnya dia pernah bertemu dengan gadis itu.

"Dia Ana, kan?"

"Dokter kenal dia?" tanya Arka.

"Gadis ini pernah datang ke saya untuk konsultasi," jelas Dokter Lina.

"Konsultasi? Memangnya dia kenapa dok?"

Dokter Lina menghembuskan nafasnya. Kemudian menyuruh Arka untuk mengikutinya pergi keruang kerjanya. Menyuruh cowok itu duduk di kursi di depannya.

"Sepertinya Ana tidak pernah menceritakan ini kepada siapapun, ya? Kalo boleh tau kamu siapanya?"

"Saya temen nya dok, kebetulan juga dia tetangga saya."

Dokter Lina mengangguk. "Waktu itu dia pernah kesini untuk menanyakan lebih jelas apa yang terjadi sama dia." 

"Tunggu, memangnya Ana kenapa?" tanya Arka heran.

"Ana mengidap self bamle."

"Self  blame?" Arka menautkan kedua alisnya.

"Self blame adalah kondisi emosional saat seseorang menyalahkan dirinya sendiri karna kejadian tertentu. Yang saya tau ibu Ana sudah meninggal dan mungkin itu salah satu yang membuatnya merasa bersalah." Dokter Lina menjelaskan.

"Tapi bukan Ana penyebab nya dok, ibunya meninggal karna serangan jantung."

"Sebenarnya self blame sendiri itu bagian dari stres, jadi mungkin saja lingkungan dia yang membuatnya merasa bersalah atau malah dia memang sengaja disalahkan."

"Ana pernah cerita jika dia memang disalahkan atas meninggal nya ibunya oleh ayahnya, dok."

"Iya mungkin bisa jadi karna itu. Mungkin dia tertekan dan akhirnya berfikir bahwa ibunya benar meninggal karna dirinya."

"Apa itu berbahaya dok?"

"Sebenarnya tidak. Tapi jika terus dibiarkan pengidap self blame bisa saja terkena depresi dan jika sudah masuk pada tahap depresi maka akan lebih sulit menyembuhkannya."

Arka mengusap wajahnya kasar. Gadis itu bahkan tak pernah bercerita pada siapapun tentang ini dan bersikap seolah tak pernah terjadi apapun. Meski Dokter Lina sudah mengatakan jika penyakit itu tidak berbanya. Tetap saja dia harus waspada terlebih belakangan ini gadis itu jadi sering dihadapkan kembali dengan masa lalunya.

"Kapan Ana datang kesini?"

"Kurang lebih sudah 2 minggu yang lalu. Saya sudah mengatakan untuk memberitahukan ini kepada keluarganya dan memintanya untuk kembali kesini lagi
Tapi gadis itu tak pernah lagi datang."

"Tapi bisa disembuhkan kan, dok?"

Dokter Lina mengangguk. "Bisa. Kamu hanya perlu terus berada disampingnya dan tidak membiarkan sesuatu membuatnya ingat kembali akan kejadian yang dulu pernah dirinya alami. Atau mungkin kejadian yang membuatnya merasa bersalah."

"Kenapa semua orang selalu nyalahin gue atas apa yang bahkan gue sendiri nggak ngelakuin itu."

"Gue salah ya, Ar? Gue nggak pernah bilang apapun sama bunda. Kalau pun gue bisa milih, gue lebih baik nggak tau semua ini daripada harus kehilangan bunda."

Arka menutup matanya. Kenapa dia tak tau apa-apa mengenai ini? Gadis itu bahkan menyimpan semuanya sendiri. Menutupinya dengan senyum nya.

"Saya harap kamu bisa membantunya sembuh dari penyakit ini. Membantunya agar tak terus menyalahkan dirinya sendiri atas apapun yang sudah terjadi karna tidak ada satupun manusia yang sempurna. Semua orang pernah melakukan kesalahan bahkan saya sekalipun."

Tbc.

So, jangan terlalu terbelenggu akan masa lalu ya zayeng.. Apalagi masa lalu sama mantan wkwk

[AHS#1] Arka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang