An Unexpected Turn of Events

1.3K 261 49
                                    

Hal yang paling sering orang lain bilang ke gue setiap kali gue meraih sesuatu bukanlah "Hebat banget lo, Na!" atau "Gilaaa, pasti lo mati-matian banget usahanya," bukan pula sekadar ucapan "Good job, Na."

Setelah ucapan "Selamat, ya," yang mengikuti kata itu kemudian adalah,

"Lo beruntung banget!"

"Hidup lo gampang gitu ya, Na."

juga,

"Gue mau dong jadi lo."

People think I had it easy. People think I got lucky.

Mereka bilang gue cantik. Gue supel, banyak disukain orang. Prestasi gue juga gak bisa dibilang sedikit.

Tapi orang-orang terlena, berpikir kalau semua itu gue dapet karena gue beruntung. Hidup gue gampang karena gue beruntung. Dan gue beruntung karena gue cantik.

Awalnya gue gak pernah menggubris persepsi-persepi orang yang semacam itu. Karena gue gampang kepikiran, ujung-ujungnya cuma bakal insecure gak jelas. Jadi, gue selalu menghindari hal-hal yang mengganggu. 

Tetapi sebuah obrolan yang gak sengaja gue curi dengar mendadak mengubah pandangan gue.

"Kalo yang bimbingannya Pak Herman tuh emang cepet ya, Kak?" gak tau suara siapa, tapi gue tebak sih adik tingkat.

Posisi gue saat itu ada di balik dinding ruang belajar yang mereka gunakan untuk merumpi sekarang. Gue sedang sibuk membenahi isi tas sebelum berniat masuk ke dalam buat ngambil bulu referensi yang ketinggalan.

"Pak Herman tuh susah, tau. Taemin aja belom sempro sampe sekarang."

"Ih tapi kok Kak Yoona kemaren cepet sih? Januari udah sempro."

Mendengar nama gue disebut, gerakan gue pun terhenti. Kaki gue yang cuma berjarak sejengkal dari ambang pintu mendadak memilih mundur.

"Hedeh, lo ngasih contoh kok Yoona. Dia mah gak perlu pusing, senyum dikit juga pasti dosen-dosen langsung ngasih ACC."

Jantung gue seperti berhenti tiba-tiba. Gue gak bisa napas. Tubuh gue benar-benar membeku di depan pintu.

"Hahahaha," terdengar suara tawa dari dalam. "Iya juga ya? Gak heran sih gue. Kalo senyum aja di-ACC, lebih dari senyum dia besok langsung wisuda kali ya?"

Gue gak mau lagi denger kelanjutannya. Gue langsung mengambil langkah, setengah berlari menuju parkiran. Semua agenda kampus yang masih harus gue jalankan hari ini terlupakan seketika.

Tangan gue gemeteran dan gue baru sadar waktu gue mau buka pintu mobil.

Gak gini, Na.

Gue gak boleh ngerasa begini lagi.

Tapi kata-kata tadi berdengung-dengung terus di telinga gue sampe kepala gue sakit.

Kadang gue benci sama diri gue yang gampang banget kepikiran. Dan obrolan tadi bukan jenis obrolan yang bisa gue abaikan begitu saja.

Nadanya yang melecehkan, seolah-olah gue selama ini cuma mengandalkan muka gue. Pilihan kata-katanya yang sama sekali gak enak didengar, justru terus bercokol di kepala gue.

Gue pengen bisa dobrak pintu itu dan teriak ke orang-orang di dalem tadi kalo gue gak seperti yang mereka pikir. Kalo perlu ke semua orang yang juga mikir begitu rendahnya tentang gue.

Tapi gue gak bisa. Gue cuma bisa kepikiran. Gue cuma bisa sakit hati.

Bibir gue sampai sakit karena gue gigit keras untuk menahan tangis. Buku-buku jari gue memutih setelah gue mencengkeram setir begitu eratnya.

Day by DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang