07. Titik Kehilangan

1.8K 137 0
                                    

Seberat apapun takdir yang dihadapi, kita masih punya Allah tempat mencurahkan segala isi hati. Dengan ujian yang paling berat sekalipun, mencoba mendekap takdir dalam lantunan do'a, menghapus sedikit sendu yang menyesakkan dada.

Waktu menunjukkan jam 16.00 WIB, berarti sudah sore. Seperti janji Zahira, dia akan mengantar Zulfa untuk pergi ke makam ibunya. Setelah mandi dan menunaikan ibadah Sholat Ashar, mereka pun berangkat menuju pemakaman. Tempat pemakaman umum berada tidak jauh dari rumah Zahira, mereka bisa menempuhnya dengan berjalan kaki. Hitung-hitung jalan-jalan sore sambil menunggu senja tiba.

Setibanya di pemakaman, Zulfa langsung mencari batu nisan yang bertuliskan nama Astuti yang tidak lain adalah nama ibunya. Masih terekam dengan jelas di ingatan Zulfa, bagaimana kejadian waktu itu, kejadian yang menimpa Ibunya. Sudah dua tahun Ibu Astuti meninggal karena kecelakaan, lebih tepatnya korban tabrak lari. Begitulah yang paman Zulfa katakan. Zulfa yang waktu itu masih duduk dibangku Sekolah kelas 2 SMA dijemput oleh pamannya untuk pulang. Dia nampak kaget dan kebingungan waktu itu. Zahira yang sebagai sahabatnya ikut pulang menemani Zulfa. Setibanya di halaman rumah, Zulfa heran karena banyak orang yang berdatangan kerumahnya. Zulfa terus berjalan hingga memasuki rumah, dia melihat seseorang terbaring diselimuti kain kafan. Sekuat tenaga Zulfa terus memanggil nama Ibunya, memintanya untuk kembali membuka mata, tapi Ibunya tetap tertidur dan tidak memberi respon apa-apa. Air mata tak henti-henti mengalir membasahi pipi Zulfa.

"Zul?" Zahira membuyarkan lamunan Zulfa.

"Kamu yang sabar, yang ikhlas. Mari kita baca tahlil buat ibu kamu ya." Kata Zahira sambil mengelus pundak sahabatnya .

"Iya Zahira." Suara Zulfa sedikit gemetar .

Mereka membaca tahlil dengan khusyu', meski terkadang terjeda karena tangisan Zulfa. Memang tidak akan ada anak yang tidak sedih ketika ditinggal Ibunya, sosok yang selama ini selalu merawat dan juga mengasihi tanpa henti. Selalu mendengarkan segala kelu kesah, baik cerita suka maupun duka beliau tampung semua. Akan kepergiannya siapa yang tidak sedih, terlebih, Zulfa sempat bertengkar dengan Ibunya, belum sempat meminta maaf, tapi Allah sudah lebih dulu memanggilnya. Dan itu menjadi penyesalan terdalam dalam hati Zulfa.
Tahlil hingga do'a telah selesai mereka panjatkan. Tapi Zulfa masih enggan untuk meninggalkan pemakaman. Melihat kesedihan yang sangat mendalam dari sahabatnya, Zahira sangat tidak tega. Tanpa tersadar, Zahira juga turut meneteskan air mata.

"Sudah Zulfa, nanti Ibu kamu bisa sedih kalau melihatmu seperti ini." Kata Zahira mencoba menenangkan .

"Iya Zahira." Jawab Zulfa sambil mengusap air matanya.

Terkadang realita memang tak sejalan dengan angan, langit diatas mendung saat mereka mengharap cerah. Sesaat mendung terlihat tentram dengan semu-semu angin yang menderu, sepertinya akan turun hujan. Mereka mempercepat langkah kakinya, berharap agar segera tiba dirumah. Rintik air mulai membasahi bumi, masih gerimis belum deras, mungkin sebentar lagi.

***
Tiba dirumah dengan pakaian yang sedikit basah .

"Akhirnya, kita sudah sampai di rumah." Kata Zahira kepada Zulfa.

"Iya Zahira, alhamdulillah." Jawab Zulfa .

Mengetahui pakaian mereka yang basah, Ummi Zahidah menyuruhnya untuk mengganti baju. Biar tidak masuk angin, begitu katanya. Atas perintah Ummi, mereka pun bergegas kedalam rumah untuk mengganti baju.

Senja yang dinantikan kali ini tidak terlihat, dia tertutup oleh awan berkabut hitam berwarna kelabu. Padahal kehadirannya amat ditunggu, tapi takdir berkata lain. Senja memang indah, tapi hujan jauh lebih menyenangkan. Dikarenakan, hujan adalah salah satu waktu mustajab terkabulnya do'a.

Imam Hati ✔️ (Part Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang