41. Pengakuan Cinta

1.6K 142 2
                                    

Bahwa Nabi Muhammad yang seorang Rasul saja pernah patah hati, apalagi aku yang hanya seorang manusia biasa.

Hari ini, hari yang ditunggu oleh keduanya. Sebuah kisah yang yang akan terungkap semuanya. Kisah yang ingin ditutup rapat-rapat oleh Zidan, kini harus dibuka terang-terangan. Kisah yang ia jaga agar tidak banyak orang yang tahu terkhususnya Zahira kini dia sendiri yang akan menceritakan semuanya kepada Zahira.

Di meja makan villa, mereka sarapan pagi bersama. Memakan makanan yang telah disiapkan Zahira sejak pagi-pagi sekali.
Setelah selesai sarapan, Zahira menuntut apa yang menjadi haknya, yaitu pengakuan atas apa yang telah Zidan sembunyikan selama ini. Toh, Zidan sudah berjanji akan bercerita hari ini.

"Mas Zidan tidak lupa kan?" Tanya Zahira yang sedang mencuci piring dan dibantu oleh Zidan.
"Selesaikan ini dulu, baru kita bicara." Pinta Zidan yang sibuk menata piring yang selesai dibilas kedalam rak piring.

"Iya, baiklah." Jawab Zahira.
Kini mereka sedang berada di pekarangan belakang villa, tempatnya cukup luas, tertanam banyak pohon, banyak bunga beraneka ragam menimbulkan kesan warna-warni, indah sekali.

Mereka duduk di bangku panjang berwarna putih, bangku yang disediakan oleh pihak villa sejak awal.

"Pada kisah ini, kisah yang awalnya ingin kurahasiakan, biar aku saja yang menggenggam rasa suka sedih sendirian. Tapi, jika kamu ingin tahu maka akan ku bagi denganmu." Zidan mengawali perbincangan kali ini.

"Berceritalah, akan Zahira dengarkan."

"Ceritanya sangat panjang, aku takut kamu bosan."

"Jangan membuat asumsi seperti itu, berceritalah terlebih dahulu."

"Baiklah." Zidan berdiam sejenak, sedang berfikir darimana dia akan bercerita.

"Bicara tentang cinta, aku tidak tahu itu apa. Hingga akhirnya aku menemukannya, ada cinta di dalam sana, dalam sorot mata itu, sorot matamu. Melihatmu untuk pertama kali saat kamu membaca puisi, saat itu melodi dunia bersuara, berirama indah, dan untuk sejenak aku kehilangan kesadaran diri."

"Saat Zahira membaca puisi di perpustakaan kota?"

"Iya, tapi tidak hanya di waktu itu, di waktu lain juga, beberapa kali aku melihatmu membaca puisi di event manapun. Dan sorot mata itu tetap sama, ada cinta didalam sana." Tutur Zidan.
Zahira terdiam, Zidan kembali melanjutkan .

"Dulu aku sangat berusaha untuk bisa percaya diri, karena untuk bisa mendekati perempuan seperti kamu, harus punya tingkat kepercayaan diri dan keberanian yang tinggi, maka dari itu semua usaha ku lakukan, aku bersikap jahil kepadamu, sering mengganggumu lewat chat, telepon, sering datang kerumahmu hanya untuk sekedar melihat foto-fotomu yang terpajang di ruang tamu, berjumpa dengan Ummimu dan lain sebagainya. Di kesempatan yang lain, pada waktu itu aku mulai berfikir bagaimana caranya agar tetap bisa mengintaimu meskipun aku sedang jauh darimu, dan waktu itu aku baru sadar bahwa Zain satu kampus denganmu. Hingga tiba dimana aku meminta tolong kepada Zain untuk mencari tahu semua hal tentangmu, mengawasi gerak-gerik perilakumu, siapa saja temanmu, kegiatan sehari-harimu di kampus, dan lain sebagainya. Karena aku tidak sekampus denganmu, aku tidak bisa melakukan apa yang ingin aku lakukan selama kamu dikampus. Sedangkan apapun yang menyangkut tentangmu aku ingin tahu. Itulah sebabnya kenapa aku meminta bantuan saudaraku Zain." Zidan berhenti berbicara, ia mengambil nafas sejenak sebelum melanjutkannya lagi.

"Mulai dari menyapamu di lorong kampus kemudian mengantarmu ke mading kampus, mengajakmu bergabung di komunitas Sahabat Masjid, memarkirkan sepeda motormu disaat kamu tidak dapat tempat parkir karena berangkatmu kesiangan, menemani dan mengajakmu ngobrol waktu kamu belum dijemput oleh Abimu saat acara baksos. Mengajakmu ke panti Nurul Hikmah bertemu dengan anak-anak kecil. Menyebar selebaran di mading-mading kampus saat kamu sedang berulang tahun waktu itu, meminta Pak. Dosen untuk membawakan bunga sebagai hadiah di hari ulang tahunmu. Selebihnya aku lupa. Dan, itu semua Zain lakukan atas permintaanku."

"Kak Zidan, Zahira bingung apakah harus marah atau sedih, Zahira sangat bingung." Zahira tidak tahu harus menanggapi cerita Zidan seperti apa, di dalam hatinya sedang hampa.

"Tapi tidak kusangka ternyata lambat laun Zain juga menaruh rasa suka kepadamu, jelas itu semua diluar rencanaku, dan dengan keberaniannya Zain melamarmu. Di waktu yang sama saat itu aku juga ingin melamarmu. Tapi aku sadar Zain jauh lebih baik dari aku, dan kamu berhak mendapatkan yang terbaik. Jika dibandingkan antara aku dengan Zain, sudah pasti Zain jauh labih baik dariku dalam semua hal dalam semua bidang. Itu sebabnya kenapa aku memutuskan untuk membiarkan Zain melamarmu dan mencoba mengikhlaskanmu."

Zahira kembali terdiam.

"Aku selalu berusaha keras untuk mengikhlaskanmu setiap harinya, tapi tidak bisa, entah kenapa sangat berat. Akhirnya Ummi mengirimku ke pesantren agar aku tidak bisa keluar untuk menemuimu, agar aku bisa dekat dengan Tuhan dan agar hatiku bisa menerima semua takdir yang telah Tuhan gariskan.
Tapi sekali lagi, aku tidak bisa. Berkali-kali aku keluar dari pesantren hanya untuk melihatmu dari jauh, menjadi kurir bunga agar bisa melihat senyummu di setiap pagi. Tapi setiap kali aku keluar pesantren saat itu juga Ummi marah dan memasukkanku kembali kedalam pesantren. Kamu tahu, seberapa keras aku harus melupakanmu atas apa-apa yang telah ku usahakan agar aku bisa menjadi pendampingmu. Aku paham dan aku mengerti, aku terlalu jauh melewati batas. Mencintai seseorang yang sudah memiliki calon imam." Zidan kembali meneruskan ceritanya, matanya berkaca-kaca, ada banyak sekali kesedihan yang harus di tanggung Zidan selama ini.

"Kak Zidan." Zahira tidak dapat lagi membendung air matanya.

"Teringat kisah Nabi Muhammad, bahwa beliau juga pernah patah hati. Ketika beliau kalah cepat dalam melamar Ummu Hani putri Abu Thalib, lantas apakah beliau selalu sedih sepertiku? Aku rasa tidak, apakah beliau kehilangan patah semangat dalam hidup? Aku rasa juga tidak. Dari kisah tersebut aku belajar, bahwa Nabi Muhammad yang seorang Rasul saja pernah patah hati, apalagi aku yang hanya seorang manusia biasa. Sejak saat itu, semangat hidupku kembali muncul."
Zahira terdiam.

"Perasaan itu hampir saja menghilang ketika aku benar-benar mengikuti kegiatan yang ada di pesantren. Aku berusaha menjadi seseorang yang paham akan arti hidup. Yang paham bahwa takdir yang dituliskan Tuhan tidak akan pernah salah. Bahwa Tuhan tidaka akan pernah jahat kepada hambaNya."

"Dan ketika kamu memutuskan untuk membatalkan pernikahanmu dengan Zain, sejak saat itu perasaan itu kembali hadir, aku kembali berfikir, rumahku sudah kosong, tidak ada lagi yang menetap disana, saatnya aku harus kembali ke rumahku." Kata Zidan lagi.

"Aku? Rumah?"

"Iya, rumah. Rumahku."

Sedalam itu perasaan Zidan terhadap Zahira, menganggap Zahira rumah, tempat ia akan selalu kembali, tempat pertama paling nyaman untuk singgah.
Zahira yang sedari tadi hanya duduk terdiam dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipi, tidak sanggup untuk berkata-kata lagi, seakan bibirnya terkunci. Selama ini Zahira merasa bahwa dirinyalah yang paling tersiksa dalam perkara sebuah hubungan. Mengikhlaskan calon suami untuk wanita lain. Tapi apakah Zahira tidak menyadari bahwa ada yang jauh lebih terluka selama ini selain dirinya, orang tersebut adalah Zidan. Seseorang yang sangat mencintai Zahira dengan sangat dalam. Dengan segala usaha dan pengorbanan yang sangat besar, tersembunyi dan tidak terlihat.

_________

Alhamdulillah bisa update, ada yg masih nungguin Imam Hati ? Semoga masih ada, hehehe..

Oh iya, Gimana part kali ini ? 😁

sudah tahu kan siapa yang sebenarnya jatuh cinta terlebih dulu antara Zain dan Zidan? Ternyata Zidan gesss.

Jadikan Allah Qur'an bacaan number one.

Salam Hangat,

Vivin

Imam Hati ✔️ (Part Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang