32. Ujian Kesabaran

1.4K 116 1
                                    

Kamu adalah kamu dirimu sendiri. Aku adalah aku diriku sendiri. Tidak boleh ada sandiwara diantara aku juga kamu.

Pagi-pagi sekali Ummi membangunkan Zahira tapi Zahira tidak merespon, dia tertidur dengan sangat nyenyak. Mungkin kelelahan akibat acara pernikahan Zain dan Zakia kemarin.

"Nak, ayo bangun. Kita sholat subuh." Ini panggilan dari Umminya yang ketiga kali, Zahira tetap tidak menjawab. Melihat putrinya yang hanya diam saja, timbullah rasa khawatir dalam hati Ummi Zahidah. Dipeganglah dahi anaknya.

"Ya Allah nak, kamu demam? Kamu sakit? Kita ke dokter sekarang." Mendengar suara Ummi dengan nanda yang lumayan tinggi dari yang sebelumnya membuat Zahira terbangun.

"Ummi, Zahira istirahat dirumah saja." Jawab Zahira dengan nada sangat pelan.

"Pokoknya kita ke dokter, Ummi panggil Abi dulu. Biar Abi menyiapkan mobil, kita siap-siap. Tapi kita sholat subuh sebentar, jama'ah dikamar Zahira saja. Zahira tayammum saja, sholatnya sambil duduk." Kata Ummi dengan kekhawatiran yang sangat jelas terpancar diwajahnya.

"Iya Mi." Zahira menurut, kepalanya pusing badannya juga lemas, tidak bisa dipaksakan jika sholat dengan berdiri.

Setelah selesai berjama'ah subuh. Ummi memapah tubuh putrinya, berjalan pelan menyeimbangkan langkah kaki Zahira menuju mobil. Ketika semua telah berada dalam mobil, Pak Ridwan melajukan mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata, karena masih sangat pagi, jalanan juga masih sepi hanya ada beberapa kendaraan yang melintas.
Setibanya dirumah sakit terdekat, buru-buru Pak Ridwan memarkirkan mobilnya. Dengan sigap membantu istrinya memapah Zahira menemui dokter.

"Putri bapak harus dirawat inap selama beberapa hari." Kata Bu Dokter setelah melakukan pemeriksaan.

"Sakit apa anak saya dokter?" Tanya Pak Ridwan dan Ummi secara bersamaan.

"Anak bapak mengalam tifus, demamnya juga lumayan tinggi, jadi untuk memulihkan kondisinya dia harus rawat inap untuk beberapa hari." Kata Bu Dokter.

"Baik dok."

"Untuk obatnya bisa ditebus di administrasi Pak, Bu."

"Baik dok."

Pak Ridwan menebus obat sesuai yang dikatakan dokter, sedangkan Ummi menemani Zahira dikamar inap. Zahira terlihat sangat lemah, tubuhnya lemas, tidak dapat berbicara.

"Nak, kamu kok bisa seperti ini?" Ummi berusaha mengajaknya bicara, meskipun Ummi tahu Zahira tidak akan merespon. Tangan Ummi mengusap lembut dahi anaknya, memastikan apa Zahira masih demam atau tidak.

"Untunglah demamnya turun." Lega melihat kondisi anaknya yang mulai membaik.

Matahari telah terbit, Pak Ridwan harus meninggalkan Zahira dan istrinya untuk berkerja, meski niat hati ingin menemani dan menjaga putrinya, tapi apa yang hendak dikata, jika kewajiban memang harus dikerjakan.

"Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (proffesional atau ahli). Barangsiapa bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla." (HR.Ahmad).

"Selama dalam koridor pekerjaan halal dan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, hal ini termasuk jihad dijalan Allah." Pak Ridwan mengingat nasehat salah seorang Ustadz, hal ini membangkitkan kembali semangat Pak Ridwan untuk bekerja.

"Nak, sarapan dulu ya? Setelah itu minum obat." Kata Ummi mencoba membangunkan Zahira.

Perlahan Zahira membuka mata, Ummi menyuapi dengan hati-hati penuh ketelatenan.

"Kamu sudah mendingan nak?" Tanya Ummi disela-sela menyiapkan obat yang harus diminum oleh Zahira.

"Alhamdulillah Ummi, maafkan Zahira karena telah merepotkan Ummi dan Abi."

Imam Hati ✔️ (Part Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang