Lantas adakah puncak bahagia tertinggi bagi seorang manusia selain bisa sangat dekat dengan Tuhannya.
Pagi ini didepan taman perpustakaan kota, Zahira bertemu dengan Zain seperti yang Zain mau. Keduanya tampak canggung untuk memulai pembicaraan. Sementara, Izmi sahabat Zahira yang diajak oleh Zahira untuk menemaninya lebih memilih duduk di bangku yang agak berjauhan dengan mereka, karena takut mengganggu.
"Assalamu'alaikum Zahira. Silahkan duduk."
Zahira duduk membuat mereka saling berhadapan.
"Apa kabar?" Kata Zain memulai pembicaraan.
"Wa'alaikumsalam. Alhamdulillah seperti yang Kak Zain lihat, Zahira baik." Sebisa mungkin menetralkan raut wajahnya agar terlihat biasa saja.
"Alhamdulillah. Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan."
"Tentang?" Rasa penasaran menyelinap dalam hati Zahira.
"Zakia."
Zahira terdiam. Dia tidak ingin mengingat nama itu kembali, bukan karena benci, tidak. Hanya saja berurusan dengan perempuan lain yang sekarang sudah mengisi kehidupan Zain adalah hal yang ingin Zahira hindari, menjaga hati agar selalu bahagia salah satu cara dengan tidak mengingat kejadian yang bisa membuat Zahira kembali berduka.
"Alhamdulillah, Zakia sudah sembuh total, dia sudah bisa berjalan."
"Alhamdulillah, Zahira senang mendengar kabar baik ini."
"Karena dia sudah sembuh, saya ingin menceraikan Zakia dan akan menikah denganmnu. Saya yakin, kamu masih mencintai saya begitupun sebaliknya."
"Apa Kak Zain sudah tidak waras ? Keputusan Kak Zain tidak masuk akal. Kalau Kak Zain mengajak Zahira bertemu hanya untuk membicarakan hal yang tidak penting seperti ini, mending Zahira pulang saja. Permisi Kak, assalamu'alaikum." Zahira berdiri dari duduknya meninggalkan Zain sendirian. Jika di izinkan jujur, Zahira memang masih mencintai Zain, tapi Zahira bukan perempuan yang tidak memperdulikan hati perempuan lain. Bagaimana jadinya kalau Zahira di posisi Zakia. Sungguh, pernikahan bukan bahan lelucon yang dengan seenaknya pisah cerai.
Didalam kondisi yang dilema seperti ini, tempat pengaduan ternyaman setelah Tuhan adalah Ummi. Zahira tahu harus kemana dia pergi. Pemakaman. Zahira pergi menuju pemakaman Umminya setelah mengantar Izmi pulang.
"Ummi, maafkan Zahira yang baru bisa menengok Ummi. Maafkan Zahira yang tidak bisa menjadi apa yang Ummi inginkan, menjadi anak yang bisa menerima apapun takdir Tuhan, yang tidak mengeluh atas ujian-ujian, menjadi wanita tangguh, kuat dan sabar. Maaf, Zahira belum bisa.
Ummi, kalau boleh jujur Zahira lelah dengan semua ini. Zahira ingin memegang tangan Ummi, tangan yang membelai kepala Zahra dengan lembut, tangan yang memeluk Zahira dengan hangat, tangan yang mengusap air mata dikala Zahira menangis duka maupun bahagia, tangan yang menggenggam tangan Zahira sebagai dukungan juga kekuatan, tangan yang dengan senang hati memasak makanan kesukaan Zahira sekalipun tanpa diminta. Zahira rindu tangan Ummi, rindu sekali. Bolehkah Zahira pinjam tanga itu sekarang, Zahira sedang lemah saat ini. Meminta Tuhan untuk mengembalikan Ummi kembali adalah kemustahilan yang mutlak, Zahira tahu sangat tahu.
Zahira tak kuasa menahan tangisnya, air matanya menggenang di pelupuk matanya. Zahira meraba batu nisan yang bertuliskan nama Umminya. Tangannya gemetar, air matanya kembali luruh lebih deras dari sebelumnya.
Tapi Zahira yakin, di alam sana Ummi pasti memeluk Zahira dan memberi semangat pada Zaihra, hanya saja Zahira tidak bisa merasakan. Terimakasih Ummi, akan Zahira usahakan untuk menerima semuanya.
Zahira ingat kata-kata Abi bahwa orang baik akan mendapat tempat terbaik disisi Tuhan. Ummi orang baik, terbaik dimata Zahira. Jadi Zahra tidak perlu khawatir lagi, karena disana Ummi pasti bahagia, Zahira yakin itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Hati ✔️ (Part Lengkap)
RomanceDihadapanmu aku lebih suka diam dan tidak banyak berkutik. Hanya saja dihadapan Tuhan, pada sujud terakhir di sepertiga malam, aku terus menceritakan nama yang entah hatinya untuk siapa, Berbisik hingga berisik mungkin membuat Tuhan terusik. Sebaga...