MOLI

957 105 5
                                    

Mira. Gadis dengan surai merah gelap dan mata kuning emas itu memiliki fitur yang anggun dan mewah. Gadis itu lupa apa yang terjadi padanya dua tahun lalu ketika ia dilelang di pasar gelap dengan harga paling tinggi. Berasal dari negara lawan yang kalah, ia merupakan anak dari salah satu pimpinan terkenal yang mati dalam peperangan. Ia dilelang sebagai budak, tapi karena kebaikan keluarga George, ia dibeli dan dibesarkan sebagai anak. 

Sekali lagi, ia kembali hidup dalam kemewahan. 

"Nona Mira, apa Anda kesulitan?" Mira meluruskan jari dari kepalan tangannya satu persatu, sementara gurunya mengajar dan mengawasinya.  

Sebagaimana halnya pendidikan adalah hal utama di Emeria, Mira tidak bisa bermanja-manja dengan pendidikannya. "Sekarang tulis dan urutkan angka yang sudah kau hapal." 

Ekspresinya agak masam ketika tangannya mengambil pena dan mulai menggoreskannya ke atas kertas. "Sembilan.. sepuluh.." Fokusnya buyar ketika sudut matanya menangkap bayangan Eli, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. "Eli!" 

Ia berlari mendekat, kemudian senyumnya perlahan hilang dan sorot matanya berubah marah. "Eli, kenapa kau selalu menggendong anak itu?!" Mira mendorong kaki Eli marah, sementara kakak laki-lakinya itu mengelus kepalanya pelan dan memberikan senyuman ramah ke arah guru yang ikut berjalan ke arahnya. 

"Mira, kau sedang bersama gurumu." Eli mengingatkan perilaku Mira, tubuhnya agak tertarik ke bawah ketika Mira justru menarik pergelangan kaki Moca. 

"Selamat siang Ms. Long, maaf, saya mengganggu pelajaran Mira." Ia menundukkan badannya. 

"Ah, tidak apa. Kau pemuda yang baik.. Siapa anak itu?" Ms. Long menanggapi dengan ramah, jarang-jarang ia bisa berkomunikasi langsung dengan anak sulung keluarga George yang terkenal akan prestasinya di medan perang. 

"Dia juga adik saya, seumuran dengan Mira." Ucapnya sembari menekan pipi Moca dengan ujung jari telunjuknya dan tersenyum tipis. 

"Ah..em, dia memang imut.." Ms. Long kurang mengerti dengan maksud pemuda didepannya itu. Adik yang mana? Anak siapa? Tapi, ia tidak sempat memikirkannya lebih lanjut ketika Mira mengamuk.

Mira dengan kesal mengatakan: "Mira jauh lebih cantik!!" 

"Kalian berdua cantik.." gurunya menengahi. Ia memperhatikan Moca dengan seksama. Selama satu tahun ia mengajar ia tidak pernah melihat gadis itu. Namun warna mata, rambut, dan titik di bawah matanya, jelas sekali ia keturunan Tuan dan Nyonya George. 

"Apa ia akan mengikuti pelajaran bersama Mira?" Pertanyaan basa-basi yang ia lontarkan hanyalah satu dari sekian banyak yang ia pilih untuk menjaga martabatnya sebagai guru yang profesional. 

"Tidak, ia memiliki keterlambatan belajar, tidak seperti anak seusianya pada umumnya, ia bahkan tidak bisa berbicara dengan lancar.." Bahkan saat ini, gadis itu hanya terus memeluk Eli. Matanya melihat ke arah Mira tanpa cahaya, kosong. Mengucapkan kata tanpa makna: "Ri." 

Guru itu menaruh simpati pada gadis itu. Ia mulai menduga-duga alasan mengapa tidak pernah melihat anak itu sebelumnya. Keluarga George turun-temurun merupakan orang penting yang bermartabat, tentu masuk akal jika mereka tidak mengakui memiliki keturunan yang cacat. 

"Jangan hiraukan kami, saya kemari untuk mencarikannya buku bacaan.." Eli melihat ke arah rak-rak yang berjajar penuh buku. "Ah, silakan.."

"Kalau begitu, permisi Ms. Long." Eli kemudian mengalihkan perhatiannya ke Mira. "Belajar dengan baik, Mira." Ia menghantarkan adiknya ke tangan gurunya barulah mengunjungi rak yang penuh dengan buku dongeng. 

"Bagaimana dengan buku ini?" Ia menunjukkan buku yang diambilnya pada Moca. "Ri!" Eli tidak mengerti, "Belakangan ini, kau sering mengucapkannya, apa itu sesuatu?" 

"Ah, sepertinya buku ini menarik" Eli mengambil buku yang cukup tebal dari rentetan rak sejarah. Dari sampulnya yang kuno jelas itu bukan buku dongeng anak-anak. "Kau pasti akan menyukai ini, ceritanya menarik." Eli menyerahkan buku itu kepada Moca dan berjalan keluar dari perpustakaan. 

Moca memperhatikan buku yang kini berada di tangannya, ia tidak mengerti mengapa buku dengan sampul tua itu terlihat sangat menarik di mata kakaknya. 

"Moca, kita membaca di taman saja. Sinar matahari akan sangat bagus untukmu." Terik matahari begitu menyengat, baru sebentar keluar saja mereka berdua sudah mulai berkeringat.

Mereka duduk berteduh dibawah pohon, Eli bersandar pada batang pohon sementara Moca duduk di pangkuannya.  

"... dengan rencana milik Kapten Yi, akhirnya wilayah berhasil dipertahankan. Dengan begitu lahirlah sebuah kerajaan bernama Emeria dan Kapten Yo Yi diangkat menjadi raja. Setiap orang bersorak, 'Hidup Yang Mulia Yi!'"

Eli menceritakannya penuh semangat sampai akhir, "Berapa kali aku membaca, ini tetap keren!"

"Keren!" ulangnya sekali lagi. 

Moca menatap wajah kakaknya kemudian menirukan, "Ke_ren"

"Benarkan? Ceritanya asik, kan?" Eli menutup bukunya. "Akan kusambung besok.." 

Vanilla yang sedari tadi mengamati mereka terus terusan tersenyum kadang terkekeh geli. Buku itu adalah buku sejarah Emeria yang isinya masih berat bagi anak-anak seusia Monica. Ia hanya bisa memaklumi karena Eli tidak pernah bermain dengan anak kecil sebelumnya jadi ia tidak tahu. 

Vanilla terhibur dengan seberapa semangat Eli membacakan buku itu sementara Moca sebentar-sebentar mengalihkan wajahnya dari buku dan mendongak untuk melihat wajah kakaknya. 

"Tuan Muda Eli, sudah saatnya Anda berlatih pedang" Vanilla berjalan mendekati Eli dan Moca yang baru saja bersiap menjelajahi taman lebih jauh. 

"Va_ baiklah, tolong jaga Moca untukku." Eli mengacak rambut Moca kemudian berlari ke lapangan belakang. 

"Ri." 

Vanilla menggandeng tangan Moca dan berjalan masuk ke dalam rumah. "Tch, aku kira kau akan segera pergi bersama dengan kakakmu itu" Vanilla berpapasan dengan adik ipar dari Tuan George --Bibi Eli. 

"Dalam sehari kau membuat hubungan Eli dengan keluarganya rusak, dasar pembawa sial!" Riasannya tebal, dagunya naik ke atas, kipas bambu di tangannya bergerak pelan di depan dadanya. Anggun, elegan, dan angkuh. Ia merupakan wanita bangsawan sejati. 

Vanilla hanya bisa diam. Ia meneruskan jalannya ditemani oleh tatapan orang-orang. 

Ia duduk memangku Moca sambil membacakan buku bacaan pelan-pelan dan menudingnya dengan ujung jarinya. "Bagaimana kalau sekarang kau yang membacanya?" Vanilla bertanya tapi sama sekali tidak digubris oleh Moca. "Moca.." Vanilla tidak berputus asa dan mengajak gadis itu ke meja belajar dan menuliskan 10 angka dan 26 abjad. Ia mengajarkannya cara mengejanya karena pikirnya buku bacaan juga masih terlalu tinggi untuk dipahami Moca. 

"Nona.." Vanilla sama sekali tidak mendapat respon selain tatapan kosong yang diarahkan padanya. Meski masih terlihat kurus, tapi penampilan Moca sudah tampak seperti anak-anak pada umumnya kecuali tubuhnya masih sekecil anak berusia 5 tahun walau dia berumur 7 tahun. 

Moca tidak rewel justru ia begitu tenang ketika bersama Vanilla, membuatnya tidak tahu harus bagaimana. "Apa kau mau bermain saja?" Vanilla melihat sekitar, tapi ia sama sekali tidak melihat mainan di kamar Eli. "Bagaimana kalau melipat kertas?" Vanilla agak lega ketika bocah itu memainkan origami kertasnya.

Klek! Brak!

"Moca!" Eli langsung memeluk Moca. "Udara musim panas memang yang terbaik!" Mengingat peperangan di utara yang dinginnya membekukan membuatnya begitu menyukai musim panas. "Eunh" Moca mendorong dada Eli tapi dorongannya tampak tidak berarti pada Eli yang sudah melatih tubuhnya bertahun-tahun. 

"Tuan muda tolong berhenti, Anda basah keringat, jangan langsung memeluknya begitu.." Vanilla tersenyum miring melihatnya. "Ah, benar juga. Kau jadi terkena keringatku hehe" Eli bisa melihat jelas ekspresi kesal Moca. "Moca bisa kesal juga ya? Haha" Eli kini suka sekali mengacak rambut Moca. 

Sedikit demi sedikit, gadis itu mulai membangun kembali dunianya berdasar apa yang ia lihat, ia dengar, dan ia rasakan. Mulutnya sudah mulai mengeja kata yang ia dengar. 

Tanpa terasa sebulan telah berlalu, Eli kembali mendapat surat dari istana. 


My MocaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang