MOLI.4

883 86 7
                                    

Eli. Ia takut adiknya kembali menolak ajakannya sehingga ia tidak menanyakan apapun terkait keberangkatannya pada Moca. 

"Moca.. kapan kau akan berbicara dengan lancar?" Tangannya mengusap rambut Moca seIagi gadis itu masih tertidur disampingnya. Lagi-lagi sehari sudah berlalu, ia tidak siap dengan seberapa cepat waktu bergerak. 

Terlebih lagi ketika orang tuanya semakin sensitif semakin mereka bertemu, "Aku tidak akan mentolerir keberadaannya lebih lama lagi meskipun kau juga adalah bagian dari anggota kami, Eli George." Suara Ayahnya terdengar jelas ke-setidaknya-seluruh ruang tengah. 

"Untuk apa kau mengambil dan bersusah-susah untuk anak idiot yang hanya akan menjadi batu penghalang untukmu? Apa kau tidak takut kebodohannya akan menular padamu, Eli George?" Bibinya kembali bersuara, sedangkan Ibunya yang paling eman pada Eli hanya bisa diam setuju.

Ia hanya bisa memalingkan muka. "Lieru, Moca ingin pergi ke istana" Semua orang terdiam mendengarnya, mengalihkan pandangan mereka pada bocah yang berada di gandengan Eli. Gadis itu memegangi kakaknya dengan kedua tangan, ia menatap ke arah lantai. 

Eli merasa kurang yakin bahwa Moca barusan memanggilnya, tapi sepertinya ia tidak salah. Ia tersenyum tipis sebelulm berkata, "Aku akan membawa Moca bersamaku ke istana secepatnya" Kepercayaan dirinya langsung kembali, ia menundukkan badannya hormat sebelum melanjutkan jalannya bersama dengan Moca. 

"Moca! Kau tadi menyelesaikan kalimat pertamamu untukku?" Eli mengangkat Moca dengan kedua tangannya ke arah langit. Ia berbunga-bunga mengatakannya. "Moca, kenapa kau diam saja? Kau sebenarnya bisa menjawab, kan?" Ia menggoda Moca. "Juga tadi kau memanggil namaku, ya?" 

Gadis itu ikut tersenyum melihat ekspresi senang kakaknya.

Ia memeluk Moca dalam gendongannya. "Bukan Lieru, Moca.. Eli.." Ia mengejek Moca sambil mengacak rambutnya dari belakang. 

"Er" Moca menggeleng pelan "Rieru". 

"Sepertinya kau harus berlatih mengucapkan L dengan lebih jelas" Ia berjalan-jalan di taman, menikmati sinar matahari yang masih bersinar terang, hangat. 

"Lieru" 

"Hm, kalau kau lebih suka memanggilku begitu, aku persilakan." 

"ELI!" Mendengar namanya disebut oleh suara yang sudah tidak asing, ia segera menoleh. "Mira.. ada apa?" 

"Kau akan kembali ke istana?" Eli mengangguk. "Kenapa tidak disini lebih lama? Kau menggunakan alasan Moca untuk tidak pergi kemarin, kenapa kali ini tidak menggunakan alasan aku?" Moca juga melihat ke arah Mira. 

"Mira.. Kau bersama ayah dan ibu di rumah dan Moca hanya bersamaku." Eli berharap adiknya bisa mengerti. "Tidak boleh! Bersama kakak lebih nyaman daripada bersama Ayah dan Ibu! Curang kalau gadis itu bisa bermain bersama kakak sementara aku harus belajar ini itu di rumah!" Mira menarik tangan Moca agar turun dari gendongan kakaknya. 

Eli yang tidak ingin Mira terus menarik Moca, menurunkannya. Ketika mereka berdiri, untuk sesaat perbedaan tingginya membuat Eli salah fokus. 

"Ayah dan Ibu tidak pernah menolak permintaanku jadi aku bisa meminta Moca untuk menggantikanku dan aku bisa pergi bersama kakak.." Ia meminta sungguh-sungguh pada kakaknya itu. "Ya?" 

Eli meletakkan lututnya dilantai untuk berbincang pada Mira: "Mira kau anak yang pintar jadi kau pasti mengerti. Ayah dan Ibu tidak menyukai Moca." 

Gadis itu masih saja menolak, tentu saja ia tidak mengerti, yang ia mau hanyalah berada dekat dengan kakaknya. 

"Curang!" teriaknya. 

Mira mengalihkan pandangannya ke arah Moca. Ia menatap dengan kesal, dan ketika manik mata mereka saling bertemu, membuat Moca tanpa sadar meremat kain celana kakaknya. "Aku tidak suka kau! Kau datang dan merebut kakak dariku!" Seperti pertarungan anak kecil pada umumnya, Mira mendorong Moca. Tubuh Moca kecil, ia terdorong ke belakang dan terjatuh. Kurang lebih Eli sudah menduga itu akan terjadi, tetapi ia tidak mengira Mira akan mengarahkan tangannya untuk memukul Moca yang hanya diam menatap Mira bingung.  

My MocaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang