selama mereka menikmati festival. "Oh, Eli!" Ia menoleh dan mendapati Mira tengah menuju ke arahnya. "Apa-apaan ini? Kau bilang di surat kalau kau belum mau pulang, aku kira aku akan bertemu dengan gadis bertubuh ranting itu, tapi kau justru keluar bersama dengan temanmu.." Mira memeluk lengan Eli erat.
Moca hanya terdiam, tau persis apa yang dimaksud Mira. "Eli, mengapa kita tidak menghabiskan waktu berdua kali ini? Aku tidak akan bilang ayah atau ibu." Mira menarik lengan Eli.
"Mira, tidak malam ini."
"Kenapa?" Ia menatap mata kakaknya kemudian melihat Moca disebelahnya. "Ah, karena kau segan bersama temanmu?" Mira tersenyum. "Ei, teman yang baik pasti mengerti.. maaf tapi, aku dan kakakku belum pernah bertemu selama tiga tahun, boleh aku meminjamnya untuk malam ini?"
Moca : "..."
"Tidak, sepertinya tidak bisa, dia baru pertama kali keluar istana aku tidak bisa meninggalkannya sendirian." Tangan Eli menggandeng tangan Moca. "Hmm, kalau begitu kita berjalan berdampingan saja, tidak apakan ?" Ia menatap baik Eli dan Moca.
Hingga mereka bertiga berjalan dalam satu garis. "Eli, kau seharusnya tidak usah menyalahkan ayah dan ibu sebegitunya." Mira berceloteh dengan matanya yang menulusuri stan festival. "Ayah dan Ibu sangat kecewa karena kau tidak kunjung mendatangi rumah. Kalau kau ingin pulang tetap jangan ajak gadis itu.. Ayah dan Ibu semakin menyalahkannya karena membuatmu tidak pulang ke rumah."
Eli menoleh ke arah Moca, ia takut kalau perkataan itu menyakitinya, tapi Moca hanya berjalan sembari menikmati pemandangat sekitar. "Mungkin berlebihan tapi katanya jika gadis itu mengakibatkan hal-hal buruk terjadi padamu, ayah tidak segan menghabisinya dengan tangannya."
"Ah, sudahlah aku malas membahasnya.. jujur saja aku merasa kasian pada gadis itu, tapi entah kenapa aku juga kesal." Mira menarik tangan Eli menuju stan perhiasan.
"Mmh, berikan aku gelang dengan warna emas itu.." Ia menukar beberapa koin dengan gelang itu dan menyodorkannya kepada Eli. "Aku juga ingin memberi gadis itu hadiah, berikan ini padanya."
Eli hanya tersenyum hambar menerimanya, "Terima kasih"
"Ah, kau, umurmu berapa?" Mira bertanya dengan nada bersahabat. "Aku 10 tahun." Moca turut menjawab ramah, seolah ia benar-benar tidak tau siapa Mira. "Uwah, kalau begitu kita sebaya! Siapa namamu?"
"Orang-orang memanggilku Mo."
"Aku Mira, salam kenal." Ia kembali menghadap kakaknya dan membisikkan sesuatu. "He's so cute" Moca hanya tetap tersenyum meskipun suaranya terdengar jelas di telinganya.
"Mira, kau ingin pergi ke mana?" Eli bertanya tujuan selanjutnya.
"Bagaimana dengan membeli sesuatu yang manis terlebih dahulu?" Mira mulai menjelajahi festival itu. "Ah.. beruntung sekali kita bertemu sebelum menikmati festivalnya." Ia mengambil beberapa manisan dan membiarkan pelayannya membayar.
"Eh? Dimana bocah yang disampingmu itu?" Mira melihat ke arah samping kanan kiri Eli tapi tidak melihat sosok pemuda itu.
"..." Eli memeriksa saku bajunya, ternyata benar kalau ia kehilangan dompetnya '. Gadis itu pasti kebosanan menemaninya dengan Mira. "Dia tidak mungkin terbawa kerumunan, kan?" Mira bertanya dengan raut khawatir. "Apa seharusnya tadi aku tidak memaksamu untuk menemaniku?" Ia merasa bersalah.
Eli tersenyum, "Aku yakin ia tidak begitu tapi sebaiknya kita menikmatinya lebih cepat." Mira mengangguk setuju.
.
.
.
Gadis itu memutar kenop pintu, membuat suara kerincing bel. "Selamat datang." Seorang pria tua menyapa dari balik rak penjualan. Moca hanya membalas dengan senyum hangat.
Ia menelusuri setiap peralatan yang terpampang di dinding dan etalase. Setelah sekian lama tidak menulusuri baru mendapati satu baris pedang, ia memutuskan untuk bertanya pada pria tua penjaga itu.
"... Tuan, saya mencari pedang yang sesuai dengan ini." Ia memberikan sebutir permata ruby kepada tuan itu. Penjaga itu sudah keriput wajah dan lengannya, matanya nyaris tidak terlihat membuka, tapi garis senyumnya masih terlihat. "Bagaimana dengan ini, anak muda?" Ia mengambil dari etalase gantung di belakang kepalanya.
"..." Ia melihat pegangan berwarna coklat dengan selarik garis emas pada pegangannya. "Aku akan mengambilnya." Orang tua itu hanya tersenyum sedikit melihat gadis itu berjalan keluar.
"Rey" Suara sepuh itu tidak keras, hanya gerayangan.
Jalannya tidak tenang, ia merasa sedang diikuti beberapa orang tapi ia berjalan santai. "Hoi!" Ia sedikit terkejut ketika salah satu orang itu berhasil menghadang dirinya. "Kau, kau dari istana benar?" Lelaki berusia 14 tahun itu tingginya jauh dari ia gadis berusia 10 tahun.
"Y." Ia menatap lurus ke mata lelaki itu meski harus mendongak agak tinggi.
"Kau tau cara menggunakan pedang dengan baik?" Moca tidak menjawabnya, membiarkan mereka tepatnya berlima dengannya diselimuti keheningan untuk sesaat.
"Cobalah bertarung dengan Rey!" Moca mencerna baik-baik apa yang lelaki itu katakan kemudian menoleh kebelakang, mencari sosok anak bernama Rey. "Hm" Moca hanya mengangguk, dan setelah itu ia mengikuti para lelaki itu menuju lapangan kosong dimana pria tua itu sudah berdiri di sana hendak ikut menonton.
Untuk Liel yang sudah mengajarinya selama ini, ia menjanjikan pada dirinya sendiri akan rasa kemenangan pada duel pertamanya menggunakan pedang sungguhan.
Moca dari tadi mengamati sosok bernama Rey yang menggunakan baju mewah, menandakan bahwa ia adalah anak bangsawan. Rey juga terlihat cukup pendiam, tampaknya lelaki itu seorang pemalu.
"Start!"
Mereka berdua saling memandang sebelum akhirnya bunyi benturan pedang terdengar.
"Hah.." Moca berhasil mengalahkan lelaki itu. Tubuhnya berada di atas tubuh lelaki yang terbaring di tanah dan ujung pedangnya mengarah ke jantung lelaki itu.
Mereka tertegun, melihat Rey pertama kali dikalahkan.
Moca bangkit berdiri, membiarkan Rey juga berdiri. Baik Moca ataupun Rey sama sama tidak mengatakan sepatah katapun. Mereka saling menatap dan membungkukkan badan tanda pertandingan selesai.
"Hahah, tampangmu seperti seorang gadis, tapi kau ternyata diluar dugaan." Pemuda tinggi itu kembali bersuara. "Hn" Ia melihat ke arah pria usia lanjut itu, menundukkan kepalanya tanda pamit dan berjalan menjauh.
"Apa aku tidak merepotkan?" --Rey membicarakan tentang tekniknya. Ia merasa direndahkan karena Moca tidak mengatakan apa-apa bahkan setelah mengalahkannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Moca
HistoryczneTerlahir sebagai pembawa sial ? Tema : Kerajaan . . . Kritik dan saran sangat diperbolehkan :) Bukan plagiasi dan tidak boleh :v revisi berlangsung sangat pelan karena sibuk #1 princess 07-08-2021 tanggal ditulis: 30-3-2020 s/d 01-01-2021