Moca berhenti berjalan, menoleh ke belakang melihat Rey yang memasang tatapan kesal. Moca menanggapinya dengan senyuman kecil. "Aku lelah." Kemudian kembali melanjutkan jalannya.
"Kuharap kita bertemu lagi!" Rey berteriak.
.
.
.
"Oh, itu dia kan?" Mata Mira dengan jeli menangkap sosok Moca yang berada di kerumunan. Eli yang melihat gadis itu bersandar pada tiang stan langsung mendekat.
Tubuhnya merasa panas, tidak merasakan dinginnya malam. Bajunya basah penuh keringat. Permainan pedan pemuda bernama Rey itu membuatnya benar-benar kewalahan. Taktik yang digunakan membuatnya harus menggerakkan badannya secara efektif. Sebenarnya jika pertarungan diadakan lebih lama lagi, ia jelas akan kalah karena kelelahan. Beruntungnya dia sedikit bisa membaca taktik Rey.
Eli tersenyum melihat Moca sudah memegang pedang di tangannya. "Biar aku lihat pedangnya." Moca menoleh ke sumber suara. Mata Eli terbelalak, "Kau berkeringat hingga basah begini?"
Moca menyodorkan pada Eli pedangnya, "Bagaimana, apa itu cukup bagus?" Eli mengeceknya sebentar, membuka sarungnya dan kembali menatap Moca. "Ini bagus, tapi bagaimana denganmu? Apa yang terjadi?"
"Aku habis bertarung." Matanya melihat sekitar. "Aku haus." Eli menghela napas.
"Dengan siapa?" Eli memaksa Moca memberi jawaban dengan menatapnya erat.
"Ahem, Pie carikan dia air." Mira mengangkat suaranya.
"Rey"
"Ha?" Eli selalu diberi jawaban singkat yang membuatnya bingung. "Dilihat dari situasinya kau kalah?" Moca tersenyum kecut mendengarnya.
"Aku memang menang hanya karena beruntung." Moca menatap mereka berdua. "Ah, Eli, aku rasa kau bisa membawanya kembali ke istana." Eli mengangguk.
Moca menerima minum dari pelayan Mira. "Kalau begitu, aku pergi dulu, Mira." Eli mengirimkan pamitnya. "Berjanjilah kau akan mengunjungi rumah lain kali." ia hanya mengangguk dalam respon dan berjalan bersama Moca ke istana.
"Kau senang menggunakan pedangmu pertama kali?" Mereka tidak saling menatap, hanya berjalan beriringan. "Aku suka bunyinya, kini aku merasa seperti benar-benar prajurit."
"... maaf"
"Ha?" Moca menatap ke arah Eli membuat mereka berdua berhenti melangkah. "Aku tidak merasa kau membutuhkan pengampunan atau apapun itu, apa yang sebenarnya kau katakan?" Moca tersenyum miring sebelum kembali fokus pada jalannya.
Eli terhenyak menatap Moca yang tampak hidup tanpa beban. "I will also be happy if you life so peacefully like that." Senyumnya mengembang, ia menyusul ke arah Moca dan mengacak rambutnya. "Aish, Brother, aku keringetan tau!" Ia menata kembali rambutnya yang berantakan.
.
.
.
Musim gugur akan segera datang. Hujan badai turun begitu deras malam itu.
"Moca, aku membawakanmu herbal hangat." Sarah meletakkan nampan berisi teko dan gelas itu di atas kasur. "Haf.. Sarah.." Moca beranjak duduk. Badannya basah oleh keringat dingin, bibirnya memutih dan pecah-pecah. "Apakah itu semakin parah?" Sarah bertanya dengan wajah khawatir, ia mengecek suhu tubuh Moca dengan memegang dahinya.
Moca tersenyum, "Mungkin semakin parah, tapi juga lebih nyaman karena ada kau dan Eli."
Sarah menggeleng. "Bagaimana kamu menghadapi dua tahunmu saat itu.. tubuhmu seolah-olah hancur." Sarah kali ini termakan rasa penasarannya akan kondisi Moca yang selalu saja tidak bisa menahan cuaca hujan atau dingin.
"... Dua tahun itu, separah apapun aku hanya berusaha untuk tidur meringkuk setelah menyelimuti diriku sendiri dengan semua kain yang ada, hari-hari it_ eumph" Ia segera menutup mulutnya, berdiri berlari menuju kamar mandi mengeluarkan isi perutnya.
Sarah segera menghentikan tangan gadis itu yang hendak menyeka dengan lengan bajunya dan menyeka dengan sapu tangannya. "Minumlah, ini akan membuatmu merasa hangat." Moca memegang gelas hangat itu dengan kedua tangannya dan meneguknya pelan.
"Moca." Eli yang selesai mengawal itu langsung mengecek kondisinya. Moca kembali berdiri menyambut kakaknya dengan tenang. "Eli, aku akan segera baik- euf.. baik saja kau tidak perlu selalu memeriksa_ cough cough." Moca hanya bisa mengakui badannya yang kelelahan dengan bersandar pada kusen pintu.
"Kau hanya gadis berusia 10 tahun, aku tidak bisa tidak khawatir." Ia segera mengangkat gadis itu dengan kedua tangannya, dan mengangkatnya menuju ke tempat tidur. "Eli juga.. hanya seorang lelaki berusia 16 tahun." Moca membalas ucapannya.
"So what?" Eli menatap Moca menantang.
"Don't act like a strong person, you weakling.. I'll make sure you'll share all of your burden with me" Suaranya hanya berbisik. "You'v_ cough-cough-cough."
"Rest!" Eli merapikan selimut untuknya dan bersiap keluar. "Eli.. tinggal?"
"Nggak setelah kau mengatakan saudaramu sendiri weakling." Eli tersenyum dengan kerutan di antar alisnya dan pergi keluar. Moca terdiam sejenak sebelum akhirnya ia terbatuk-batuk.
Ia tertidur setelah ditemani oleh Sarah.
.
.
Paginya, ia bersiap untuk kembali berlatih. Sarah sudah terbiasa dengan sikap keras Eli dan kini Moca. "Hanya jangan memaksakan diri." Moca mengangguk. Lagipula berlari dalam latihan membuatnya merasa lebih hangat.
"Selamat 40 tahun, Guru Pascal!" Ia menerima ucapan selamat dari para muridnya, membuatnya cukup naik ke udara. "Hahah, apa yang bisa dibanggakan dengan usia tua?" Ia berusaha mengelak. "Guru, apa kau tidak akan mengadakan pesta?" Seorang murid dengan kentara menunjukkan motifnya.
"Hah, kalau begitu sebaiknya kalian semua mengocok pasangan untuk bertarung hari ini, aku tidak akan memberi aturan apapun karena ini hari ulang tahunku dan semua boleh menonton." Moca yang mendengarnya menyimpulkan kalau hari ini tidak ada latihan sehingga ia berjalan kembali ke asrama.
"Mo, jangan kabur! Tunggu dulu hasil kocokannya." Moca yang mendengarnya hanya bisa menghela napas dan kembali duduk sembari mengistirahatkan kepalanya pada batang pohon.
"Oh, Andrass!" Mereka berseru karena Andrass sudah terkenal dengan kemampuan pedangnya, merupakan salah satu murid terbaik di kelas itu. Ialah orang yang pernah menjadi bahan pelampiasan Eli, mematahkan lengan kirinya.
"..." Pemuda itu agak ragu membacakan rivalnya. "Mo adalah rivalnya."
"Hahah, kemampuan Mo juga tidak buruk aku yakin ia tidak akan mengecewakan. Dia sudah mengalahkan hampir setengah dari kita." Murid lain memberikan kepercayaannya pada Moca.
"Sui, kau tidak tau? Tubuhnya agak sedikit berbeda selama musim-musim ini."
"Apa maksudmu, tubuh seseorang tidak berubah-ubah."
"Ahhh! bukannya ia sedikit lemah dengan cuaca dingin?"
Pascal sebagai seorang guru juga sangat mengerti akan hal itu, "Ganti bocah itu dengan yang lain!" Pascal memberinya order.
"...Ah, tapi dia merupakan anak yang lebih baik dari kita! Siapa dari kita yang bisa bertahan tidak mati ditangan Andrass?" Mereka jadi agak ragu untuk mengganti kandidatnya.
"Guru, itu akan lebih adil jika anda tidak membedakan berdasarkan umur, ia sudah terpilih di acara ulang tahun anda." Andrass menyeringai. "Mo, tunjukkan seberapa baik Eli sudah mengajarimu!"
Moca bukan anak yang tidak mengerti kenyataan. "Maaf, Andrass, tapi_"
"Kau takut?"
"Bukan begitu_"
"Kau ingin menghancurkan perayaan ulang tahu Pascal?"
Moca menatap Andrass yang tidak memberinya kesempatan bicara.
"Euf, baiklah."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Moca
Historical FictionTerlahir sebagai pembawa sial ? Tema : Kerajaan . . . Kritik dan saran sangat diperbolehkan :) Bukan plagiasi dan tidak boleh :v revisi berlangsung sangat pelan karena sibuk #1 princess 07-08-2021 tanggal ditulis: 30-3-2020 s/d 01-01-2021