Disisi lain, Eli menyelinap masuk ke barat daya. Sehari-harinya ia berkeliling mengumpulkan informasi. Bahkan ia harus menyamar sebagai pembawa barang untuk benar-benar masuk ke camp militer dan mengamati semuanya.
Siapa juga yang menyangka kalau seseorang tiba-tiba melompat dari atas dan mengacungkan pedang padanya. Seorang perempuan, menarik masker wajahnya turun. "Kau bukan pembawa barang biasanya, siapa kau?"
"Ia sedang sakit, dan penggantinya tengah pergi. Jadi saya yang ditugasi." Perempuan itu memicingkan matanya. "Kalau begitu bolehkan aku mengambil satu apelmu?" Ini merupakan kata kunci apakah ia benar seorang utusan. Bahkan Eli tidak menyangka benar-benar seketat ini persiapan yang dilakukan oleh negara gurun itu.
Eli tersenyum, "Tidak boleh." Namun, ia jauh lebih pengalaman daripada yang orang-orang tahu.
"Hm." Perempuan itu kembali memicingkan matanya pelan tetapi tubuhnya bergeser sambil mengurungkan pedangnya, memberi jalan bagi kuda dan gerobak itu. "Terimakasih" Eli menganggukkan kepalanya, tidak menyangka kalau perempuan itu justru bersenandung riang mengikutinya.
"Siapa namamu?"
"Leo." Eli mengarang cepat.
"Anya" Mereka saling bertukar nama.
"Kau tinggal di mana?" Eli terkekeh mendengarnya, "Apa urusannya denganmu?" Eli menjelajahkan matanya ke arah lapangan luas yang berisi ratusan orang berlatih, suara mereka terasa sangat ramai.
"Kenapa kau tidak mendaftar menjadi tentara?" Gadis itu tampak sangat berteman. "Kau bisa melatih tubuhmu dan bayarannya juga tidak sedikit daripada menjadi kurir."
"Aku harus merawat ibuku di rumah" Ia mendengarnya mengangguk.
"Hnn, Aku selalu penasaran seperti apa rasanya punya orang tua" perempuan itu bergumam sembari terus berjalan di sampingnya. "Berapa umurmu?" Eli duluan bertanya.
"Tahun ini, 17." Gadis itu melambaikan tangannya turun ketika beberapa orang yang lewat memberinya hormat, "Aku datang kemari saat usiaku 10 tahun dan tidak ingat apa-apa."
"Tampaknya kau cukup dihormati disini" Eli mulai memindahkan barang-barang itu ke depan gudang. "Itu wajar karena aku senior disini." Anya sama sekali enggan untuk membantu Eli, tapi ia tetap menyelesaikannya dengan cepat.
"Kau akan pergi begitu saja?" Anya terlihat sedikit canggung menanyakannya. Eli bersiap untuk membawa keluar gerobak itu ketika perempuan itu bersuara.
"Memangnya kau akan memberiku makan?" Eli mengernyit. Sandiwaranya sempurna.
"E_eun!" Ia tidak mengerti mengapa senyum gadis itu mengembang lebar, ia menggandeng tangannya dan mengajaknya masuk ke lantai dua sebuah gedung kuno.
"Van, tolong siapkan makanan untuk dua orang." Anya duduk senang sambil bersenandung ketika menaruh pantatnya ke atas kursi. "Duduklah" Ia tersenyum melihat Eli masih berdiri agak jauh.
"Terimakasih" Eli bersuara ketika melihat makanan disuguhkan kepadanya.
"Ahah, tidak perlu sungkan.." gadis itu tersenyum manis. "Apa kau punya saudara?" Gadis itu kembali bertanya.
"Tidak."
"Bagaimana dengan pacar?" Eli menatap gadis itu sebentar, bingung apakah itu adalah pertanyaan yang penting. "Kenyataannya ada" Gadis itu sedikit terkejut mendengarnya, kecewa. "Ah_ hm, kau ganteng sih ya jadi pasti sudah punya.."
"Seperti apa orangnya? Mengapa kau menyukainya?"
"Cantik." Gadis itu berdecak mendengarnya, "Kau hanya menyukainya karena cantik?"
"Imut, pintar, pendiam tapi nakal, kecil, suka memaksakan diri, dan pemikirannya sedikit tidak realistis. Sama denganmu," Hati gadis itu sedikit berdebar, "tapi letaknya berada di bawah mata kirinya." Anya jadi sedikit linglung mendengarnya.
"A_ahah, tahi lalat?" Ia memegang tahi lalat yang berada di atas bibirnya. Eli mengangguk.
"Hmm, sepertinya kau tau banyak tentangnyaa. Eh jangan-jangan kau serumah dengannyaa?" Eli kembali mengangguk membuat gadis itu langsung patah hati. "Humm, padahal aku juga bisa mengurus ibumu di rumah" gadis itu bahkan tidak sadar mengatakannya.
"Tidak. Bukannya kalian akan segera berperang?" Anya sedikit terkejut menyadari apa yang baru saja dikatakannya, beruntungnya "Leo" menggubrisnya dengan materi lain.
"Eun" Gadis itu mengangguk.
"Bodoh sekali, apa kau pikir negara kita bisa menang? Kau yakin tidak akan menambah sengsara warga?" Leo mendengus.
"E_ei! Kau tidak boleh mengatakan seperti itu kepada negaramu sendiri! Kali ini kita pasti menang!" Leo kembali mendengus mendengarnya.
"Kenapa kau yakin sekali?"
"Kita pasti menang! Tenanglah! Setelah menang kita tidak perlu bingung akan kekeringan." Anya mengepalkan tangannya di atas meja.
"..." Leo menatap gadis itu yang benar-benar optimis. Ia jadi mengurungkan niatnya untuk melawan balik tentang seberapa tidak masuk akalnya. "Apa negara kita memiliki jumlah tentara yang cukup?"
"Jangan khawatir. Mereka telah berlatih dengan keras setiap harinya hingga kulit mereka merasa sinar matahari itu dingin." Leo terkekeh mendengarnya, sementara seseorang berlari masuk ke dalam ruangan.
"Lady Anya, pimpinan mencari Anda." Gadis itu menatapnya mengerti dan mengangguk. "Leo? Bolehkah aku memanggilmu Leo? Hahah, pokonya kau bisa nikmati saja makananmu, aku akan kembali." Anya berdiri dan berjalan keluar dari ruangan. Leo bisa melihat ekspresi Anya yang berubah dari periang itu menjadi datar dan serius ketika mendengar kata "pimpinan".
Seolah bukan apa-apa, Eli menghabiskan makanannya cepat kemudian menyelinap ke lantai empat menara itu kemudian memandang dari jendela seberapa banyak tentara yang ada di benteng itu. Kurang lebih 3000 tentara. "Apanya yang bilang akan menang?" Eli tersenyum miris. Berdasarkan penyelidikannya, kalau digabung hanya ada sekitar 40.000 tentara. Di mata Eli juga mereka tidak terlalu terampil.
Sementara 137.000 tentara terampil ada di Kerajaan Emeria.
Ia berbalik dan berjalan turun, membawa kuda dan gerobaknya keluar dari situ. Misi terakhirnya sudah selesai, kini ia hanya perlu kembali ke tanah airnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Moca
Historical FictionTerlahir sebagai pembawa sial ? Tema : Kerajaan . . . Kritik dan saran sangat diperbolehkan :) Bukan plagiasi dan tidak boleh :v revisi berlangsung sangat pelan karena sibuk #1 princess 07-08-2021 tanggal ditulis: 30-3-2020 s/d 01-01-2021