MOLI.17

369 46 1
                                    

Hutan Emeria, tempat yang paling magis di kerajaan. Begitu menginjakkan kaki masuk ke dalam sana --yang ditandai dengan semerbak harum yang manisnya lebih lembut daripada gula kapas kalian akan masuk dalam nuansa yang menghanyutkan.

Keindahannya berasal dari bunga Emeria yang menjalar di tanah dan pada batang-batang pohonnya. Warna merah muda itu memancarkan sedikit cahaya. Beberapa rerumputan terlihat berwarna merah dan putih. "... Hah, aku tidak percaya ini." Siam hanya ternganga sambil terus berjalan masuk ke dalamnya. Hutan hijau yang gelap itu jadi terlihat seperti tempat mewah. 

"Loi!" Kakek itu langsung menegur keras ketika Loi hendak memetik salah satu dari banyaknya bunga disana. "Aih!" Loi kena jitakan keras dari belakang kepalanya dari Arka pemuda tertua. "Semua yang ada disini beracun, jangan sembarangan." Loi menggosok kepalanya sementara matanya mendapati sesuatu yang bergerak di balik semak.

"Wah, aku kira itu hanya sebuah dongeng." Rey dan Loi yang sama sama melihat ekor bulat kecil itu bergerak-gerak, benar-benar kagum. Sedangkan Siam dan Arka langsung penasaran apa yang mereka lihat. "There, pink bunny." Loi menunjuk ke arah kelinci kecil yang samar terlihat.

"Berhenti, dan fokus pada jalan kalian!" Mereka kemudian berjalan antara cepat dan pelan sembari melihat burung dengan warnanya yang eksotis. 

Air terjun itu tepat berada di pandangan mata mereka. Sungai yang membatasi antara hutan Emeria dan hutan hijau di seberangnya. "Oi, memangnya air sungainya tidak jadi beracun?" Loi kembali bertanya. "Kau coba saja, kalau kau keracunan kita tidak minum." Siam menawarkan air dari tangannya yang membentuk mangkuk. "Tentu tidak, kalau mata airnya tidak tercemar kita tidak keracunan." Suara Rey akhirnya kembali terdengar. "Airkan terus mengalir.." 

"Beristirahatlah, dan besok kita akan mulai pelatihan kita!"

.

.

Musim dingin sudah datang, seluruh penjuru bagian utara tertutup oleh putih salju. Pasukan depan milik Pascal dibawa ke bagian utara untuk berlatih menghadapi cuaca dingin.

Sudah seminggu mereka mendirikan tenda disana, beberapa sudah merasa bersahabat dengan cuaca dingin yang ada tetapi beberapa juga memilih untuk menghangatkan badan mereka di dekat perapian. Termasuk Moca. 

Meskipun ia sudah mencoba untuk berkeringat, rasanya telapak tangan dan kakinya kembali dingin begitu ia berhenti mengayunkan tongkat pedangnya. Putus asa. Ia memilih masuk tenda untuk menghangatkan tubuhnya.

"Berhenti malas-malasan!" Suara bass Pascal terdengar, membuat mereka bergerak malas keluar dari tenda dan berbaris.

"Ooh!" Beberapa orang menyadarinya kalau Pangeran Yo dan Eli, sepasang ahli pedang itu turut datang. Tidak dibutuhkan waktu lama untuk membentuk barisan rapi ala prajurit. 

"Kelompok yang berada dari barisan tengah ke kanan akan melawan Pangeran, dan bagian kiri akan melawan Eli!" Tak terkecuali Moca langsung merengut.

"Segera! Kita bagi lapangan menjadi dua!" Lapangan itu cukup sempit ketika dibagi dua, membuat mereka mengeluh lebih lagi. "Selama 10 menit pertama kalian tidak boleh melebihi garis itu! Setelah itu gunakan lapangan sesuka kalian." Pascal melihat wajah tak bersemangat pasukannya. "Kalian harus fokus target kalian hanyalah satu orang! Pangeran atau Eli!"

Moca kembali mengambil pedang kayunya. Tingginya hanya 141 akan berlatih melawan pria yang tingginya 183.. Terlebih lagi dengan postur tubuh yang terlihat sangat proposional dengan kaki panjang itu.. menjajikan sekali kekalahannya.

Namun, disisi lain ia tidak bisa tidak berusaha yang terbaik ketika Eli ada disana, turut menjadi saksi.

Mereka mulai melingkari masing masing lawan mereka dan mulai menyerang segera setelah peluit dibunyikan.

Dengan tubuh kecilnya, sangat tidak mungkin kalau mereka beradu kekuatan sehingga ia kembali bermain taktik. Ia bersembunyi dibalik tubuh temannya kemudian melangkah dengan cepat kedepan untuk menyerang dari belakang. Namun, ia langsung tersentak akan tatapan mata yang langsung menatap tajam ke arahnya. Kalau ini benar-benar pertarungan maka ia betulan langsung kalah telak bahkan saat ia baru menyerang pertama kali.

"Menarik! Pertarungan ini menarik!" Gadis itu tersenyum, kembali mengangkat pedang kayunya dan berdiri. Matanya berkilat saking senangnya. Ia bahkan melupakan rasa dingin yang tadinya merasuk hingga tulangnya. Seisi lapangan itu merasakan aura mematikan disekitar mereka semakin bertambah.

Merasa membara, gadis itu berlari cepat dari belakang ke depan ke samping mengganggu fokus Yo Ji.

Ji pun langsung merasakan aura pemuda kecil itu. "Heh" Ia hanya merasa pertandingannya baru akan dimulai, "jangan mengecewakanku bocah kecil!" Pertarungan itu jelas sulit ketika ia harus mengatasi 11 orang sendirian.

10 menit telah berlalu, beberapa orang telah dibuat mundur karena kehilangan motivasi, sebagaimanapun mereka berusaha, mereka tidak mendapati celah untuk benar-benar bermain serangan.

5 orang tersisa di medan Ji dan 7 orang tersisa di medan milik Eli sebelum ia berhasil mengetuk mundur seorang lagi.

Mata Moca fokus pada seluruh pergerakan Ji, hingga akhirnya ia mendapati celah ketika Ji tengah mengambil kembali posisi siap. Sinar abu-abu matanya itu berbentrokan dengan kilatan hijau milik Ji. Pedang mereka saling beradu sebentar sebelum Moca kembali lepas dari pandangan Ji.

Tiga orang mundur pada medan Ji, tersisa dua orang. Sementara Eli tengah beradu dengan Andrass seorang.

Moca melompat dengan tubuhnya yang ringan ia berhasil berada di atas mata Ji. Sementara Ji yang mengetahui gerakan bocah itu berhenti bermain-main dengan seorang yang lain dan langsung berbalik menghadap bocah itu. Ia menahan pedang Moca dengan ujung pedangnya mengarah kebawah, mempercepat gravitasi pada gadis itu. "Heh, kecil sekali." Moca hanya semakin menaikkan salah satu sudut bibirnya ketika mendengar Ji mengatainya.

.

"Aku akan membalas perbuatanmu padaku saat itu." Andrass dan Eli saling bermain serius. "Hoo.. aku tunggu." Eli tersenyum, memicu pedang mereka untuk beradu lebih cepat. "Kau sialan!" Andrass kesal. "Kau yang sialan, siapa suruh untuk membalaskan dendammu pada adikku?" Mengingat kejadian yang sudah agak lama berlalu itu membuat mereka berdua kesal.

Tak! Pedang itu mengenainya yang mana ia seharusnya sudah tumbang, "Huh, beruntung sekali pedang kayu aku jadi bisa bermain denganmu lebih lama." Andrass kembali fokus untuk menyerang Eli. "Kau benar-benar keras kepala!" Eli mengerat. Ia selalu memenangkan pertandingan tidak lebih dari 20 menit, sehingga ketika waktu sudah dirasa terlalu lama baginya, keinginan untuk menang itu menggantikan permainannya. 

Thwack! Sekali Eli bermain taktik, Andrass kehilangan fokusnya dan terjatuh ke lantai. "Hahah." Andrass tertawa hambar ketika pedang Eli mengarah ke lehernya. Tetapi matanya sekilas langsung terfokus pada lompatan nekat Mo, bocah itu..

.

Moca membiarkan pedang Pangeran selalu mengarah kebawah hingga ia kembali melompat. Ia hendak mengenai setidaknya sekali pada tubuh itu dengan kakinya --mendorongnya kebawah tapi teringat tidak semudah itu sehingga ia kembali memutar tubuhnya untuk mendarat tepat menyusuri badan tinggi itu dengan pedang yang ia dekatkan, menempel pada bajunya sendiri.

Grep! Ji yang tidak menduga pemuda itu akan mengganti gerakkannya tidak bisa menghindar. Padahal rencananya ia akan menangkap kaki kecil itu dan menggantung badannya di udara hehe. 

Tangannya menahan bocah itu ditangannya dan mengarahkan pedangnya balik ke punggung bocah itu.

"Apa ini? Kau hendak bunuh diri?" Ji penasaran apakah bocah itu sudah tau apa yang terjadi kalau ia berada sedekat itu dengannya dalam pertempuran. Ia kemudian melihat pedang yang berada di antara badannya dengan bocah itu. 

"Aku menang." Ji dengan percaya diri bersuara. Ia terkekeh melihat ekspresi kesal bocah itu yang semakin menekan pedang itu ke dadanya seolah mengatakan: "Aku yang menang." 

"Kalau dalam pertempuran yang sebenarnya, aku menggunakan baju ziarah jadi seranganmu itu tidak berguna." Untuk menurunkan bocah itu Ji bahkan harus menekuk satu kakinya hingga satu lututnya menyentuh lantai. 

"Puahahah, setidaknya aku tidak bunuh diri seperti bocah itu." Andrass tertawa menghibur dirinya sendiri sambil menggoda Eli sang kakak. 

My MocaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang