Monice02

246 31 5
                                    

Bahkan hingga ketika kuda mereka siap berpacu, Eli menarik pacunya lebih dulu, membawa timnya lebih dulu daripada Ji. 

Ji mencoba memahami, ia memimpin pasukan dengan kepala dingin. Sementara Eli dengan panas terus mempercepat laju kudanya. "Lieru.." Semua orang mengira Eli memang sengaja untuk memacu kuda dengan cepat, tetapi Moca bisa membaca semuanya. 

Kalau kondisi hati Liel sedang tidak baik, hatinya juga jadi begitu. Sakit. 

Mereka tidak berani mengeluh akan kecepatan maksimum Eli yang membuat beberapa dari mereka agak tertinggal. Kuda mereka tidak terbiasa berlari secepat milik Eli. Hingga akhirnya malam menyapa. Jalanan hutan yang gelap membuat mereka memutuskan untuk beristirahat. 

Beberapa dari mereka berburu, sementara yang lain mulai menciptakan api unggun. Mereka menaruh masing masing topeng kepala mereka untuk membentuk lingkaran tempat mereka beristirahat malam itu. Beberapa melepas baju zirah mereka, jadi tampak baju tentara tipis mereka. 

Dari ekpresi Eli, tidak tergambar apapun selain wajah yang datar. Tapi justru itulah yang membuatnya terlihat berbeda. "Roy, kau ambil alih sebentar, beri aku waktu sebentar." Ia melepas baju zirahnya dan keluar dari lingkaran peristirahatan mereka. 

Saking panasnya otak, ia bahkan tidak merasakan dinginnya hawa malam. Hingga akhirnya ia sampai di ujung tebing. Ia duduk bersandar di batang pohon bisa merasakan sosok yang tengah mengikutinya dari jauh. Tapi sosok itu berhenti, justru duduk disana, tidak mendekat. 

"Moca" 

"Hm?" 

Mereka berbincang tanpa berhadapan. 

"Kamu juga memilikinya?" Moca memiringkan kepalanya tak mengerti. "Kau bisa merasakan hawa orang-orang.. Aku sudah sering memperhatikan, kau mudah menemukan orang atau membaca gerakan mereka.." 

Moca tidak begitu mengerti, pasalnya ia tidak merasa ada yang spesial. "Apa karena kita sedarah? Atau karena kita memang membutuhkannya.." Eli melanjutkan. "Kemarilah" 

Gadis itu tidak ragu untuk cepat mendekat. "Aku bisa menemukanmu waktu itu karena ini.." Ia menarik tangan gadis itu untuk duduk di sampingnya. "Aku sempat ragu karena ayah tampak tidak perduli, dan hawa keberadaanmu tipis sekali.." Eli tersenyum menatap pandangan malam. 

"Moca, aneh kalau kau belum menyadarinya, tapi kebanyakan orang tidak bisa melakukannya. Orang-orang tidak bisa bersembunyi dari kita. Kita selalu menyadari siapa saja yang berada di dekat kita. " Ia tersenyum tipis. 

"Liel" Moca yang sedari tadi hanya memperhatikan, "apa ada masalah dengan keluarga kerajaan?" Eli mengelus rambut gadis itu sebentar. 

"Maaf, aku tadi memacu kuda terlalu kencang." Moca menggeleng, bukan itu yang ia tanyakan. "Tadi kau jelas-jelas mengabaikan pangeran.." Eli tidak lagi kesal mengingatnya.

Ia membaringkan kepala Moca pelan pada pangkuannya. "Sejak kecil aku sudah mengabdi pada Emeria. Aku mempunyai banyak kejadian karena Emeria.." Kalau mengingat masa lalunya, ia melihat keindahan dan kepedihan Emeria di setiap perjalanan. 

"Aku berteman dengan seorang pangeran yang penuh percaya diri. Aku juga melihat keputusasaan seseorang" Ia tidak bisa lupa akan Ai yang sangat gigih. "Aku tersadar hari ini.. Untuk mengabdi pada sesuatu, dibutuhkan lebih dari pengorbanan.." Moca tidak mengerti, "Apa yang dibutuhkan lebih dari itu?" 

"Tapi percumah, apapun yang sudah aku lakukan, mereka selalu meminta lebih." 

Moca meremas kain baju Eli. "Apa yang mereka minta?" 

"Itu tidak penting. Aku akan berhenti. Setelah perang ini selesai, aku tidak akan bekerja di Istana lagi." 

"Kau mau pulang?" 

My MocaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang