MOLI30

285 32 4
                                    

Gadis itu terbangun keesokan harinya, mengerjapkan matanya pelan. Pertama kali yang ia rasakan adalah pening di kepalanya. Ia melihat ke sekitar mendapati ia tengah berada di ruang kesehatan. 

Gadis itu berdiri, berjalan keluar dari ruangan itu sembari berpikir apa yang tengah terjadi tadi malam. Tidak salah lagi, akal sehatnya mengatakan pangeran berada di sana. "..." Bagaimana kalau penyamaranku terbongkar?

"Gadis berambut pirang.. wajah itu.. aku yakin pernah melihatnya.."  Ji memandang ke luar jendela dari hotel tempatnya menginap. "Aish, tidak mungkin aku ini tidak mengingatnyaa.." Ia mengacak rambutnya kesal, berjalan keluar dan membiarkan kakinya mengarah masuk kembali ke dalam gedung seni itu. 

Pilihannya tidak salah ketika ia melihat gadis itu tengah menuruni tangga. Kejadian itu terjadi sangat natural, bahkan Moca tidak sengaja melihatnya ketika ia hendak pergi ke kelas dansa. 

Ah, sial, padahal ia kira pangeran tidak akan kembali ke sana. Ia masih belum siap dipenjara karena penipuan publik. Ia tersenyum tipis ke arah pangeran, tidak ingin terlibat lebih jauh ia memilih cepat-cepat berjalan ke ruang dansa. 

"Tunggu" Ji menahan lengan gadis itu. "Monica!" Rey refleks berlari mendekat, "tunggu apa lagi? Sebentar lagi kelas dimulai" Hatinya mengatakan tidak suka kalau ada orang lain yang mendekati gadis itu. 

Ji tidak mengerti mengapa gadis itu menaruh wajahnya disudut dimana ia tidak bisa melihatnya. Sesaat Ji beradu tatap dengan Rey. 

"O-oh, ketahuan sekali dia tertarik dengan gadis ini" Ji menyeringai, menarik gadis itu ke sisinya. "Bilang gurumu aku akan meminjam gadis ini sebentar" Ji menggandeng gadis itu kembali menaiki tangga. 

Tapi Rey segera menahan tangannya melihat wajah gadis itu yang meminta tolong. "Ck, Hannah!" Gadis itu langsung merutuki dirinya sendiri, mana mungkin Hannah akan membiarkannya lolos dari kekuasaan pangeran yang satu ini.

Hannah segera melerai keduanya, meminta Rey untuk melepas gadis itu. Tentunya Rey berakhir dengan kecewa, memandangi gadis itu berjalan pelan mengikuti bangsawan ber*ngsek itu. Andai ia juga datang dari keluarga yang mapan, tapi ia sendiri tidak pernah tahu siapa orang tuanya itu.

Liel.. Sarah.. Harus bagaimana?  Hatinya berteriak. 

Ia sudah masuk ke ruang latihan yang kosong. Hatinya berdegup kencang kalau-kalau Pangeran Yo mengingat dirinya. "Karena kita sudah disini, bagaimana kalau beberapa dansa?" Ji mengambil satu piringan hitam dan meletakkannya pada gramofon. 

"A_ah, musik itu tidak asik, yang ini saja." Moca menarik salah satu piringan hitam dengan musik tempo cepat. "Kau yakin memilih yang itu?" Moca tidak bereaksi dan hanya meletakkan piringan hitam itu ke posisinya. 

"Tango?" Gadis itu mengangguk, ia terus berusaha agar wajahnya tidak terlihat jelas. "Hm" Tangan dan jemari Ji berusaha menyilakkan rambut gadis itu ke belakang telinganya, namun gadis itu dengan tiba-tiba mengambil lead untuk memulai dansanya dengan langkah mundur. 

Ji jadi merasa tertantang. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

"Belum pernah" Ji mengangkat alisnya mendengar hal itu, ia berkata belum tapi alasan apa yang membuatnya terlihat menghindari tatapannya. "Kau tau siapa aku?" Gadis itu menggeleng. 

"Lalu mengapa kau terlihat sengaja menghindariku?" Ia mengatakannya tanpa basa-basi membuat gadis itu sedikit bingung. "Aku tidak menghindar" 

"Tindakanmu jelas menyatakannya" Ji membuktikannya dengan setiap kali mereka berhadapan, gadis itu memalingkan wajahnya. "Berdansa memang seperti ini.." Ia kembali membuat alasan. 

"Hn, tapi kau tidak melakukannya dengan benar." Ji terkekeh. "Aku yang membawamu ke ruang kesehatan tadi malam, setelah kau putus asa menyatakan kau harus pulang" Ia mengingatkan gadis itu. "Ah_ eun, terima kasih" gadis itu bingung harus bagaimana. Pria itu mengambil alih jalan dansa itu sehingga tubuh gadis itu harus selalu berhadapan dengannya. 

"Kalau kita memang belum pernah bertemu sebelumnya.. seharusnya kita berkenalan" Itu benar tetapi rasanya tidak benar. "Yo Ji" Siapa yang tidak tau kalau marga Yo itu keturunan Raja. Kenapa juga ia terang-terangan mengatakan namanya di depan gadis yang tidak ia kenal. "Monica" 

"Kau bukan bangsawan?" Mendengar namanya yang hanya sebatas nama depan. Memang ia bukan bangsawan, kan? Namanya pasti sudah dihapus dari kartu keluarga. Gadis itu mengangguk. 

"Lalu atas wewenang siapa kau bisa berdiri disini?" Di gedung yang hanya dikhususkan untuk para aristokrat. Andai nama George masih tertempel disana, ia pasti sudah mendapatkan perlakuan istimewa sana sini. 

Tapi pertanyaan itu membuat gadis itu kecewa. Itu terdengar seperti 'Ia yang bukan siapa-siapa ini berani masuk mengganggu aktivitas kalangan bangsawan'. Ia mendorong tubuh lelaki itu pelan, memberhentikan dansanya. 

"Karena itu aku meminta mereka untuk meluluskanku" 

"Pfft, hahah, kau merasa layak untuk diluluskan?" Gadis itu terkejut mendengar pertanyaannya. "Entah siapa keluarga yang mengangkatmu dari bukan siapa-siapa menjadi seseorang. Kau bahkan memiliki kesempatan untuk berdansa dengan seorang pangeran.." Mata gadis itu menatapnya tak percaya. Apa ini orang yang sama yang ia temui di utara? 

"Apa mereka tidak memberi tahumu peraturan yang umumnya berlaku?" Ia menatap gadis itu datar. "Kau pergi kemari untuk mendapatkan judul bangsawan, dan sampai keluarga yang mengangkatmu memberimu nama keluarganya kau tidak akan bisa lulus." 

Gadis itu mengernyit. "Hannah bilang asalkan aku memiliki pengakuan_"

"Pengakuan itu datang hanya kalau kau sudah menjadi seorang bangsawan" Kenyataan itu memukulnya keras, ia jadi bertanya-tanya sebenarnya apa yang Sarah ingin ia untuk lakukan. 

"Biasanya mereka mendapat nama bangsawan setelah sebulan barulah pendidikan mereka dipertimbangkan, tapi melihat kasusmu yang tidak biasa.." Ia berjalan mendekat, menaruh rambut pirangnya ke belakang telinga. "Kau tidak akan sebentar berada disini, mungkin keluargamu memiliki rencana lain padamu daripada sekedar mengangkatmu." 

Ia berpikir bahwa mungkin Sarah memintanya kabur. "... setelah digunakan, kau dibuang." Ekspresinya langsung padam mendengar fokus kalimat Ji. 

Tidak, akal sehatnya berpikir itu tidak mungkin. Sarah menyayanginya lebih daripada pemuda yang lain. Tapi setengah batinnya tidak merasa itu benar-benar mustahil. Pasalnya orang tua yang pernah sangat menyayanginya juga sekejap berubah. 

Melihat raut wajahnya yang memucat, Ji jadi agak menyesal mengatakannya. "E_ei, tidak mungkin kan, aku hanya bercanda.." Tapi melihat wajah gadis itu menatapnya serius sepertinya secara tidak sengaja semua perkataannya itu benar. "Eish, mungkin karena masalah belakangan ini, data keluargamu jadi lebih lama diproses. Keluargamu hanya perlu mengurusnya di kantor, jadi jangan menganggapnya serius.." 

"Ini sekolah mahal, kalau kau disekolahkan disini mana mungkin mereka membuangmu. Ini jauh lebih mahal daripada guru privat jadi tenanglah." Oh ayolah, ia tidak mau membuat rekor baru sebagai Pangeran yang membuat seorang gadis menangis. 

"Terima kasih, Pangeran Yo, berkat melimpahi Kerajaan Emeria" Gadis itu menunduk mengangkat gaunnya, setelah itu berlalu begitu saja keluar dari ruangan itu terlihat terburu-buru.

Yah, mungkin takdir memburamkan ingatannya. Ia merasa pernah melihat gadis itu, tetapi tidak mendapati satupun gambaran wanita itu di masa lalunya. Apakah hanya karena gadis itu cantik jadi ia merasa pernah melihatnya? Oh, ayolah, ini tidak seperti ia kekurangan wanita cantik yang selalu mengelilinginya.


My MocaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang