Ketika pelatihan selesai, Rey yang tidak sabar langsung berjalan ke arah Mo. Rey, mengabaikan pesan Siam dan Loi untuk tidak ikut campur masalah orang lain.
"Moni_"
"Nanti" Moca menatap datar Rey, ia stress dengan masalah ini.
"Andrass, tampaknya Rey ingin mengobrol pribadi denganku" Gadis itu meminta Andrass untuk duluan kembali ke istana. "Apa aku tidak boleh ikut?"
Rey mengernyit sementara gadis itu langsung menggeleng. "Ini hal pribadi.."
"Kau masih tidak sadar juga?" Andrass memiringkan kepalanya heran. "Aku sudah tau, Monica George.." Gadis itu juga sudah tau kalau Andrass tau karena itu ia selalu dekat dengannya. Andrass tersenyum miring melihat gadis itu hanya diam.
Rey mengamati suasananya. "Aku tau." gadis itu menghela napas. "Lalu?"
Moca tidak menanggapi, ia mengalihkan pandangannya pada sosok Rey. "Mo" Moca tersenyum tipis, "panggil aku begitu". Rey mengernyit, "Kau berasal dari keluarga George? ... Eli George? Kau ada hubungan dengannya?" Nama keluarga George itu termasuk jajaran bangsawan terkenal.
"Kalau kau Monica George, lalu apa yang kau lakukan disini?" Gadis itu menggeleng.
"Kubilang namaku Mo."
"Monica, hari itu kenapa kau kabur dari Seni Aritokrat?" Arh. Untung saja ia bukan pemarah.
Jantungnya berdegup kencang, ia ingin mereka mengerti situasinya. Andrass juga disana, mendengar perkataannya. "Karena aku rasa harus kembali ke Istana sebelum Eli kembali" Ia menjelaskan.
"Mengapa kau tidak mengenalkan nama George-mu itu? Kau membuat semua orang khawatir."
"Aku sudah berusaha." Ia pasrah "Aku bukan George." Andrass justru semakin tidak mengerti, "Apa maksudmu" Ia menarik pundak Moca sehingga tubuhnya serong ke arahnya, tapi gadis itu tidak berani menatapnya, ia memalingkan kepalanya menatap ke arah lain dan kepalanya mengarah serong ke bawah. "Andrass, sejak Liel membawaku kemari, bukan, lebih lama dari itu, nama George sudah tidak menjadi bagian dari namaku. Bahkan nama Monica seharusnya juga tidak ada." Ia tidak tegar mengatakannya.
Eli tidak melihat sosok gadis itu di Istana, begitu pula Andrass, karena itu ia memilih untuk pergi keluar mencari udara segar. Setelah sekian tahun pun, ia masih tidak bisa mempercayai Andrass sebagai teman Moca.
"Apa yang kau maksud?" Rey semakin tidak mengerti.
"Mira." Andrass mengernyit. "Kenapa dengan kembaranmu?"
"Mira George. Monica George tidak ada, adanya Mira.."
"Maksudmu namamu Mira?" Rey bingung 100%.
"Monica bukan kembarannya, Monica itu pembawa sial." Ia meremas celananya sendiri. "Makanya, papa_ Tuan George mengurung Monica di kamar." Andrass merasa lucu dengan ceritanya, kalau mau bohong jangan sembarangan dong. "Intinya kau masih ingin terus berbohong pada kami" Andrass tersenyum sinis.
"Monica pembawa sial." Ia mengulang perkataannya. "Aku tidak bohong." Ia tidak lupa apa yang ia alami sewaktu kecil. Satu tangannya menggosok lengan yang lain. Merasa suasananya sudah kejauhan. "Hahah, ga percaya justru gapapa. Namaku Mo." Ia kembali mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis, "Dingin, aku mau masuk" Ia berjalan ke arah Istana, mendapati sosok Liel yang ia tidak sadari sudah berdiri tidak jauh dari sana.
"Liel.." Ia berharap apa yang barusan ia katakan tidak didengar.
"Monica George" Gadis itu terhenyak mendengar nama itu keluar dari mulut kakaknya. Ia pasti mendengar sebagian besar. "Kembaranmu meninggal karena mother yang tidak hati-hati. Kakek sangat bersyukur karena ia memang berharap bisa melihat cucunya terakhir kali sebelum meninggal." Liel berjalan mendekat. "Peperangan tidak bisa dihindarkan dan karena kurangnya pasukan, pasukan milik Ayah berkorban banyak untuk menghabisi musuh yang jumlahnya lebih besar dari mereka."
"Paman.. berita kematiannya baru disampaikan setelah mayatnya ditemukan tiga hari setelahnya dan agar berita itu sampai ke kota dibutuhkan waktu 4 hari."
"Monica George dari Tuan George memang sudah tidak ada. Tapi Monica George dari Eli George." Ia menaruh satu lututnya ke tanah. "Moca.. kau bukan pembawa sial, dan selamanya Monica George masih namamu"
"Bukan" Moca menggeleng. "Itu alesan kenapa Moca dikurung di sana; kenapa mereka benci Moca; dan Mira ada disana.. karena Mira lebih baik dari Moca." Eli membelai lembut wajah yang memerah itu.
"Mira ada di sana, supaya Moca bisa ada di sini" Mendengar kalimat itu, gadis itu tersenyum tipis, perasaan dan beban yang selama ini ia tanggung rasanya terangkat begitu saja. Penyesalan dan rasa takutnya pecah, ia menangis. Eli tersenyum lembut, menepuk nepuk punggungnya saat gadis itu masuk dalam pelukannya. Membiarkan gadis itu menangis hingga lelah.
Rey hanya diam bingung. Sementara Andrass menduga-duga.
"Gasp!" Rey tanpa sadar mundur selangkah melihat tatapan Rey. Nyalang.
"Siapa namamu? Umurmu?" Tanyanya tegas
"Rey, 13"
"Dimana kau melihat Moca pertama kali?"
"Monica_ di Sekolah Seni Aristokrat selama 5 bulan"
"Tsk, kau seumuran dengannya jadi aku ingin memaafkanmu, ... tapi kau laki-laki jadi tidak bisa." Ia menggendong Moca dan berdiri. Moca seolah tidak mendengarnya, pasrah saja mengistirahatkan kepalanya ke ceruk leher Eli.
"Ma-maaf saya telah lancang" Rey menyadari yang ada dihadapannya adalah seorang George, salah satu lututnya langsung ditaruh di tanah.
"Benar, kau membuat menangis seorang putri keluarga George. Kalau kau berani mengumbar satu pun tentang malam ini, mati." Tatapannya tidak main-main. Ia bergidik ngeri.
Melihat Eli sudah menjauh bersama dengan Moca, Andrass hanya terdiam. Ia tidak terkekeh atau tertawa. Diam.
Rey pun begitu, diam. Ia tahu ia harusnya merasa senang temannya itu berasal dari keluarga ternama, tapi ia justru merasa ditipu.
🌷
Maaf kalo agak ga ngena suasananya.. Authornya lagi mati rasa, udah pake lagu sedih malah ketawa ( ・ᴗ・̥̥̥ ). Lagi ga bisa baper, ga bisa sedih. Bisanya cuma ketawa, kesel, marah, atau biasa aja, ga enak yakin, kek rusak.
SR

KAMU SEDANG MEMBACA
My Moca
Historical FictionTerlahir sebagai pembawa sial ? Tema : Kerajaan . . . Kritik dan saran sangat diperbolehkan :) Bukan plagiasi dan tidak boleh :v revisi berlangsung sangat pelan karena sibuk #1 princess 07-08-2021 tanggal ditulis: 30-3-2020 s/d 01-01-2021