MOLI

1.1K 125 6
                                    

Tidak ada yang mengharapkan gadis yang saat ini tengah tertidur dalam pelukannya. Ia sadar akan hal itu. 

Tok tok!

"Kak Eli!" Mengetahui Mira mengetuk pintunya, Eli segera melepaskan pelukan Moca dan membuka pintu. "Mira, ada apa?" 

"Kakak disuruh datang makan malam bersama" Mira berdiri sambil memeluk boneka beruang. "Hanya kau saja, gadis itu tidak." 

"Baiklah." Ia mengusap kepala Mira. "Kak Eli.." Mira memaksa masuk kedalam kamar, meskipun seandainya ia meminta tidak akan ada yang melarangnya. "..." Ia bisa melihat fitur wajah gadis itu, imut sekali.. Gadis itu bahkan memiliki titik dibawah mata kirinya sama dengan orang yang ia anggap ayahnya. 

"Eli kalau disuruh memilih Moca dan Mira, pilih yang mana?" Mira tiba-tiba bersuara. Ia jelas sakit hati melihat kakak yang selama ini selalu memerhatikannya, memerhatikan orang lain. 

"Apa yang kau katakan.." Eli tidak berniat menjawab pertanyaan itu, ia duduk di ranjang memerhatikan Moca yang tertidur. 

"Imut sekali, kan?" 

Tanpa sadar, Mira mengangguk setuju. 

"Kau tidak akan menyebutnya gadis jelek lagi, kan?" 

Mira : "..." 

"Cih!" Ia menyilangkan tangannya dan keluar dari kamar Eli masih mengapit boneka di tangannya. 

Eli hanya tersenyum melihatnya. Benar, Mira bisa berkomunikasi layaknya anak seusianya. Sedang gadis yang tertidur itu baru saja terlihat naif sekali berharap bahwa orang tua yang mengurungnya selama dua tahun itu masih akan menyambutnya. Moca bahkan tidak bisa berkata-kata lebih baik dari anak berumur tiga tahun. Yang gadis itu tau hanya namanya. 

Eli berjalan masuk kedalam ruang makan dan duduk di kursi bersebelahan dengan Mira. Ayah dan ibunya, Tuan dan Nyonya George dan Bibinya yang juga marga George serta Mira George. Acara makan-makan itu mungkin hanya basa basi, intinya adalah apa yang akan mereka perbincangkan setelah itu.

"Eli mungkin kau berlum pernah mendengar hal ini sebelumnya, tapi kami akan memberikanmu alasan mengapa gadis itu berada di kamar itu selama dua tahun terakhir. Bahkan setahun sebelum kepulanganmu." Segera setelah Mira keluar dari ruangan. Tuan rumah itu menceritakan semuanya, alasan mereka. 

"Mana ada orang terlahir sebagai pembawa nasib buruk." Eli sedikit tertawa sarkas. "Kalau begitu aku tinggal mengirim pembawa nasib buruk itu ke negara musuh" Eli tidak bisa menerima kepercayaan orang tuanya. 

"Eli, kami awalnya juga tidak percaya_"

"Hentikan.." Eli tidak ingin melawan orang tuanya sendiri, "Tenanglah, lagipula aku akan kembali ke istana secepatnya." Eli berdiri menatap orang tuanya. "Aku yakin tidak memerlukan izin kalian untuk membawa gadis itu bersamaku" 

Eli berjalan keluar tetapi tangannya ditahan. 

"Eli, sebagai ibumu aku tidak mengizinkanmu kembali ke istana!" Eli berhenti, mendengar perkataan itu ia tidak bisa mengabaikannya. Eli menoleh, melihat mata ibunya. "Bersama dengan Pangeran Ji lebih baik daripada bersama seisi rumah ini," lirihnya sebelum benar -benar keluar dari ruangan itu. 

.

.

.

Beberapa hari berlalu, Moca sama sekali tidak mengeluarkan sepatah katapun. Eli menekuk kakinya membiarkan salah satu lututnya menyentuh lantai sehingga tingginya sama dengan Moca. "Moca, aku harus kembali ke istana karena aku sudah berjanji akan kembali dalam waktu 3 bulan." Eli menyibakkan rambut Moca kebelakang telinganya.

 "Moca.. apa kau mau ikut denganku?" Eli sebelumnya hanya akan membawa Moca bersamanya. Namun, Vanilla menyadarkannya kalau mungkin saja Moca masih berharap kasih sayang orang tuanya sehingga ia menanyakannya. 

Eli mengajukan kedua tangannya, berharap Moca akan membalasnya dengan pelukan. 

Gadis itu menggeleng membuat entah mengapa Eli merasa hatinya terasa berat. 

"... Moca tidak ingin pergi denganku?" Ia tidak bisa menyembunyikan nada kecewa dari suaranya. 

Moca senang berada dengan lelaki itu, tetapi ia tidak pernah memikirkan untuk pergi dari rumah dimana orang tuanya berada. Pintunya sudah dibuka, tetapi mengapa orang tuanya tidak menyambutnya? Mengapa mereka seolah lupa dengannya? 

"..." Eli benar-benar tidak berpikir Moca akan menolak sekeras itu. Ia sudah harus pergi siang ini dan ia bukan tipe pemaksa. Ia adalah orang yang dengan bodohnya memilih diam daripada berusaha membuktikan pendapatnya adalah benar. 

Gadis itu memandang wajah kakaknya yang jelas terlihat kecewa. Tangan kecilnya meremas erat vest kakaknya. 

Eli memegang balik tangan itu penuh kecewa. "Kalau begitu aku akan sering-sering mengunjungimu." Ia mendorong tangan itu perlahan sehingga tidak lagi menyentuh bajunya. 

"Tuan Muda Eli, kapan tepatnya Anda akan berangkat?" 

"Aku.." Ia melihat kembari ke arah Monica. "sudah ditunggu oleh kereta undangan istana di depan.." Eli berdiri. "Aku kira Moca mau pergi denganku, tadinya aku tidak terlalu khawatir.." 

"Mm, Ayah dan Ibu tidak mungkin mengurungmu lagi.. Kalau itu terjadi aku pasti akan kembali dan membawamu bersamaku." Ia mengelus poni gadis itu sebelum berjalan mundur dan berbalik. 

Gadis itu mulai kebingungan. Ia tidak mau lelaki itu pergi, tapi ia juga tidak ingin dilupakan oleh orang tuanya sendiri. Berjarak beberapa detik dari kalimat Eli, gadis itu mulai menangis kencang: "Huwaa!" 

Itu pertama kalinya gadis itu menangis begitu keras, mencuri perhatian para pelayan yang tengah bekerja. 

"Vanilla, jaga dia baik-baik selama aku di istana. Aku akan mengunjunginya bila ada waktu." Vanilla sedikit terkejut mengetahui bahwa Moca tidak ikut bersama dengan Eli. Ia hanya bisa mengangguk menanggapi permintaan tuannya yang berjalan menjauh. 

Gadis itu sedikit kecewa ketika Eli sama sekali tidak melihat ke arahnya. "Huwaa!" Dengan air mata yang terus mengalir, ia berlari ke arah Eli pergi. Ia terus menangis. 

Eli. Ia menghargai betul pilihan gadis itu. Ia ingin sekali menculiknya saja mendengar tangisnya yang semakin keras. Tapi ia masih percaya orang tuanya akan memperlakukan Moca lebih baik. Bagaimanapun Moca adalah anak kandung mereka. 

Duk!

Air mata itu membuat pandangan Moca remang-remang. Tidak heran jika ia terjatuh. Tubuhnya tidak bisa mengikuti kemauannya. Rasanya susah sekali untuk kembali mengangkat badannya berdiri. Ia tahu Eli masih berada dalam pandangannya. "E_waah!" Ia takut kata-katanya tidak akan tersampaikan. Ia takut karena selama ini perkataannya tidak pernah didengar lagi. 

Eli berusaha tidak menoleh. Ia tidak ingin perhatiannya teralihkan. Ia hanya terus berjalan menuruni tangga menuju kereta kuda. 

"Tuan Muda Eli!" Vanilla segera menyusul. Dipelukannya terdapat Moca yang masih menangis. "Aku rasa anda tidak boleh meninggalkannya begitu saja. Anda membuatnya membuat keputusan secara mendadak, saya juga tidak tahu bagaimana menghadapi keluarga Anda.."

Moca menengadahkan kedua tangannya. "Moca" Monica menyebutkan namanya sendiri. Wajahnya memerah karena menangis. Eli menahan tangannya untuk tidak segera menggendong Moca kedalam tangannya

"Aku" Ia terdiam, ingin berpikir tapi tangis Moca semakin kencang. "kurasa aku harus menunggunya sebentar." Ia mengambil alih Moca dari tangan Vanilla yang langsung memeluknya erat. "Aku akan pergi.. kalau Moca pergi denganku" 

Vanilla mengangguk setuju. 

Mira yang baru saja menyelesaikan pelajaran sejarah bersama gurunya itu langsung berlari turun. "Eli!" Eli sedikit terkejut ketika Mira memeluk kedua kakinya erat. Itu sebuah anugrah mendapatkan dua adik kecil yang sama-sama menyayanginya. 

Ia harus mengurus surat permohonan maafnya kepada Raja, juga menyampaikan penjelasan singkatnya pada Pangeran Ji. Beruntungnya surat permintaan itu tidak dipermasalahkan oleh Yang Mulia Raja sehingga ia mendapat sedikit perpanjangan waktu. 


My MocaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang