Monice05

204 28 9
                                    

Sepertinya mereka sudah salah meremehkan pasukan gurun. Gerakan mereka cepat akibat pelatihan diatas pasir setiap harinya. Entah darimana asalnya tetapi beberapa dari mereka bertubuh besar dan tinggi. 

Beberapa pasukan Emeria meneguk ludah melihat sosok-sosok besar berotot yang ada di baris kedua setelah perisai dan berderetan dengan para pemanah. 

Mengetahui rasa takut yang merayap pada pasukannya, Moca yang berada di sayap kiri justru mempercepat langkah kudanya. 

Dari lapangan musuh, tergambar puluhan kuda memimpin tanpa rasa takut, melaju kencang membuat kabut debu. Emeria bangsa yang kuat. Bangsa yang subur. Bangsa yang damai. 'Bangsa yang jahat'  yang ditafsirkan wanita itu. 'Serakah, tidak adil.'  Bagaimana mereka mendapatkan begitu banyak berkah sementara diluar mereka banyak yang masih menderita. 'Keadaan harus berbalik'

Karena tekadnya yang kuat, ia jadi sulit menerima kenyataan bahwa semakin banyak pasukan tumbang semakin ia bertahan. 

"Hello, young lady.." Moca berhadapan langsung dengannya. Gadis berkepang itu mengadukan kedua pedangnya pada pedang Moca. "Lady Anya" Gadis berkepang banyak itu berkerut dahi. Pemuda didepannya banyak nyali, ia segera mendorong pedangnya keras. 

"Aku mendengar cerita Liel.." Anya kebingungan dengan  maksud perkataan Moca yang justru terkekeh. "Aku hanya ingin menyapa karena pedang Anda tampak bersinar." Ia tidak berlama-lama dan segera pergi dari pandangan Anya. 

Moca memfokuskan pandangannya ke arah manusia raksasa itu. Ia mengambil belati dari balik pakaiannya.

Merasa ada pandangan tajam menuju kearahnya, manusia besar itu mencari sosok yang melayangkan pandangan kepadanya dengan begitu sembrono. 'Aku tidak bisa semudah itu dihabisi' pikiran itu jadi penyesalan terakhirnya ketika belati itu dengan kecepatan kilat menancap pada dahinya. 

Anya jadi tersadar pasukannya tidak memiliki kesempatan untuk menang, lagi-lagi tidak hari ini. Ia menyadari walaupun sudah berlatih pagi malam pagi, saat ini mereka dalam kondisi mental yang tidak menguntungkan, apalagi setelah melihat manusia raksasa itu dikalahkan begitu saja oleh sosok pemuda kecil. 

Anya segera meniup peluitnya memberitahukan pada seluruh pasukan untuk mundur. Pasukan Emeria memandang dengan serius bagaimana pasukan lawan lari terbirit-birit kembali ke kandang mereka. 

Sudah lima hari permainan ini berlangsung seperti lagu yang terus berulang. 

Pasukan Emeria kembali mengadakan rapat, tiga orang bermata perak itu kembali ditempatkan diruangan yang sama. "Siang besok kita akan melakukan aksi penyerangan untuk menguasai Kerajaan Anaran dan membawanya menjadi bagian dari Kerajaan Emeria" 

"Daripada penyerangan, mengapa tidak diselesaikan dengan diplomasi? Aku yakin mereka tidak ingin meneruskan lebih jauh, mereka pasti mempertimbangkan nyawa tentara mereka dan harga diri mereka juga" 

"Tidak ada waktu, tidak ada tanda-tanda dari pemimpin mereka untuk menyerah ataupun bernegosiasi." 

"Tentu saja itu karena tidak mungkin mereka meminta keringanan ketika mereka yang memulai semua ini. Tetapi berbeda kalau kita yang memutuskan untuk bernegosiasi terlebih dahulu." Orang-orang didalam ruangan itu menggangguk setuju, mereka merasa iba harus melihat pasukan yang berlari terbirit-birit setiap kali peluit untuk mundur dibunyikan. 

"Baiklah, kirim pasukan perwakilan malam ini supaya pertemuan dapat dilaksanakan besok. Minta mereka baik-baik datang kesini, kita bisa menjamu mereka lebih di wilayah kerajaan Emeria" Sang Kapten juga setuju untuk memulai langkah diplomasi.  "Tidak, kau" Ia mengarahkan dagunya maju ke arah pemuda bertubuh kecil. "Mo, kau cukup ahli di medan perang, jadi aku harap kau juga bisa melaksanakan perwakilan ini dengan baik" Tanpa tau siapa sebenarnya orang yang ia tunjuk pergi.

"Moca? Kenapa anak ini? ia tidak berpengalaman, biar aku saja." Meskipun tugas itu tampak sepele Eli tetap tidak mau menaruh Moca dalam resiko apapun. 

"Komandan Eli, apa kau berpikir aku menunjuk orang sembarangan?" Tidak ada hubungan darah yang terjalin di dalam urusan medan pertempuran, sekadar atasan dan bawahan yang saling dingin. 

"Saya lebih berpengalaman, saya tidak akan mengecewakan" Ia agak menaikkan volumenya. 

"Mayor Mo, apa kau menerima tugas ini atau tidak?" 

"Saya akan melakukannya dengan baik, Kapten." Tidak ada yang bisa Eli lakukan ketika ia sudah menerima tugasnya. 

"Kalau begitu segera laksanakan, tidak ada waktu." Mo segera mengangguk dan keluar dari tenda.

"Kita lanjutkan rapatnya, kau siapkan surat untuk suruhan itu bawa." Ia menyuruh seorang tangan kanan yang berdiri di sampingnya. 

Tidak seperti yang dikhawatirkan Eli, Moca justru bersemangat dengan misi pertamanya, lebih panjang lagi perintah Ayah kandungnya. Meskipun bukan begitupun, ia juga tidak akan mengecewakan. 

Ia mengganti pakaian tempurnya dengan pakaian pemuda biasa dan menyelipkan surat di lapisan bajunya. Tidak lupa membawa pedangnya untuk perlindungan diri.  

Kemudian menunggang kudanya dan berangkat dengan perasaan riang. 

.

.

.

Sementara ruang rapat di tenda Kerajaan Anaran agak ricuh, hari ini mereka kedatangan langsung Raja Anaran. 

Kemudian bersamaan dengan itu masuk kabar bahwa seorang perwakilan dari Kerajaan Emeria datang membawa berita tanpa pakaian tempur dan hanya dengan sebilah pedang. Sehingga dibawalah perwakilan itu masuk kedalam ruang rapat tanpa senjata. 

Sang Raja tersenyum mengetahui perwakilan itu bertubuh kecil dan tampak lemah, berarti Emeria tidak sedang bercanda tentang negosiasinya. Tetapi para pemimpin pasukan semuanya tidak tersenyum bahkan hanya memandang ngeri. 

Ia lah yang membunuh begitu saja manusia raksasa itu tanpa takut, ia bukan seorang yang tinggi dan gagah seperti dua ayah-anak-bangsawan-George itu, ataupun seseorang yang memiliki pangkat tinggi. Bahkan tubuhnya begitu kecil. Mereka tidak menyangka mayat-mayat yang tertumpuk adalah ulahnya. 

Anya yang dari tadi duduk diantara mereka menatap pemuda itu heran. Tetapi, Moca tidak menanggapi pandangan Anya dengan tetap fokus pada reaksi Raja Anaran. 

Karena Raja tidak keberatan dengan kehadirannya, maka ia bisa menyelesaikan misinya dengan lebih mudah. 

Ia hanya tersenyum tipis melihat Anya yang tengah mengambil sepucuk surat yang disangkutkan pada kaki elang. 

________________________

**✿❀ ❀✿** **✿❀ ❀✿****✿ 𐐪𐑂 ❀ ❀✿****✿❀ ❀✿**        **✿❀ ❀✿****✿❀ ❀✿*𐑂 *      **✿❀ ❀✿**                  **✿❀ ❀✿****✿❀ ❀✿****✿❀ ❀✿****✿❀ ❀✿****✿❀ ❀✿**        **✿❀ ❀✿****✿❀ ❀✿*  𐐪𐑂   ***✿❀ ❀✿**  **✿❀ ❀✿**            **✿❀    𐐪❀✿* 𐐪𐑂  ***✿❀ ❀✿****✿❀ ❀✿****✿❀ ❀✿****✿❀ ❀✿***  *✿❀ ❀✿****✿❀ ❀✿**       **✿❀ ❀✿****✿❀ ❀✿****✿❀ ❀✿** Flowery Ribbon.

Aku bingung sama pangkat kemiliteran. Jadi urutan dari atas ke bawah buat cerita ini : Raja, Kapten, Komandan, Jenderal, Kolonel, Mayor, Letnan, dst.. ///note: jangan buat patokan ngerjain tugas karena ini mengarang bebas.

Aku bukan orang yang aesthetic. Rapi itu sudah cukup, rapi dan sesuai itu bagus. Jadi maaf kalau emotikon berantakan. 

Alur cerita sudah diusahakan rapi, gaya bahasa juga sudah saya usahakan agar lebih mudah dimengerti. Saya tau cerita yang saya buat banyak kekurangan, tapi saya tidak tau bagaimana memperbaiki kekurangannya. Sehingga saran dan kritik sangat diperbolehkan. 

Saya sangat berterimakasih sekali bagi yang sudah mengikuti cerita ini, memberi apresiasi dengan vote dan membuat saya terus termotivasi untuk melanjutkan cerita ini. 

Semoga adanya pandemi semakin menyemangati kita untuk berkarya. 

My MocaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang