MOLI.7

617 85 0
                                    

Beberapa pemuda lain disana merasa heran mengapa Sarah hanya menyuruhnya untuk membantunya melakukan pekerjaan pelayan. Seorang pemuda seharusnya sudah berlatih di lapangan, tetapi pemuda itu hanya mengikuti Sarah setiap harinya. 

Sarah tidak merasa keberatan Moca mengikutinya setiap hari pasalnya gadis itu memang tidak banyak bicara kecuali Sarah memulainya terlebih dahulu. Alasan lainnya adalah agar ia dapat melihat makanan masuk ke dalam mulut itu setiap saat. Ia membiarkan Moca menaikkan berat badannya. Hingga ia mendapati bahwa Moca dapat menjadi gadis yang menawan, tidak tertutupi oleh pakaian ala pemuda itu. 

"Moca, apa yang ingin kau lakukan?" Sarah duduk di depan piano dan mengalunkan beberapa lagu. "Aku ingin memainkannya juga." Ia sudah berhari-hari mengamati dan mendengarkan permainan Sarah yang menurutnya sangat indah. 

"Tentu saja kau bisa." Sarah mengajaknya duduk di depan tuts hitam putih itu. Ia mengajarinya sedikit sebelum kembali bertanya padanya. "Selain bermain piano, tidak ada lagi yang ingin kau lakukan?" Moca mendongak menatap Sarah. 

"Liel. Aku ingin bersama Liel." Ia menunggu respon dari Sarah apakah ia akan menolak atau membawanya kepada Eli. 

Sarah sudah menduga apa yang ia katakan. "Benarkah?" Sudut bibirnya terangkat makin tinggi ketika Moca mengangguk. "Agak sulit. Sekarang ini kau mungkin hanya bisa menemuinya pagi hari atau menghabiskan waktu disaat hari libur saja. Kau tahu ia adalah tangan kanan Pangeran Yo."

Moca memandangnya diam, tengah berpikir apakah itu berarti iya atau tidak. 

"Kau pasti ingin menghabiskan waktu bersama Eli seharian, kan?" Gadis itu kembali mengangguk. "Aku punya solusinya.. tapi, kau bisa memutuskan sendiri apa kau mau melakukannya atau tidak." Sarah menunggu kedepannya apa keputusan yang akan gadis itu ambil. 

Sarah menggandeng Moca menuju lapangan pelatihan. Ia melewati barisan pemuda yang tengah bermain pedang, juga melewati barisan pemuda yang tengah latih baris-berbaris. "Yo! Paskal!" Sarah melambaikan tangannya ke atas, sementara pria berusia 30-an --yang tengah memimpin barisan pemuda yang tengah berlari keliling lapangan berlari mendekat. 

"Sarah!" Ia menyapa balik. "Oh, kau membawa pemudi kecil.. hahaha" Ia tertawa melihat wajah seorang pemuda terlihat seperti seorang gadis. "Panggilannya Mo, aku ingin kau melatihnya sebagai prajurit barisan depan." Dahi Paskal berkerut mendengarnya. 

"Aku tidak melatih sembarang orang.."

"Ia mungkin kelihatan lemah dan kau mungkin kesulitan untuk mengajarinya, tapi siapa yang tahu.. Karena ia dipilih sendiri oleh Eli." Paskal menatap tak percaya. "Ah, hahah, mungkin saja ia benar dapat seperti Eli.." Tangannya mengelus lembut dagunya sendiri. "Kalau begitu aku akan coba melatihnya.." Ia mengamati pemuda itu.

Moca sedikit terkejut ketika Paskal menarik tangannya hingga ia berhadapan dengan Paskal yang tengah menaruh satu lututnya di tanah. 

"Huh, aku tidak pernah lihat pemuda selemah ini sebelumnya." Ia berterus terang. "Aku tidak yakin." Ia kembali memikirkan untuk menolak permintaannya. 

"Paskal.. Apa kau berpikir pemuda yang tinggal di istana yang aku jaga adalah sembarang orang?" Ia berpura-pura merasa tersinggung yang membuat Paskal sedikit gelagapan. "Aku dan Eli sudah setuju untuk membuatnya menjadi pahlawan negara.. aku tidak mengerti kenapa kau masih meragukannya. Kalau aku membuat keputusan yang salah sebaiknya aku berhenti menjadi pengurus is_"

"Ahahah" Ia tertawa kaku, "Jangan begitu.. Aku percaya kepada keputusanmu.. Lagipula tidak ada orang yang gagal aku didik." Paskal menggandeng tangan kecil itu erat disisinya. 

Sementara Moca tengah bingung akan apa yang terjadi. Sarah tidak mengantarnya kepada kakaknya tetapi justru kepada orang yang memiliki bekas luka di wajahnya. "Ma_dam.. Eli.." Ia mencoba meraih gaun Sarah tetapi lengannya di pegang erat oleh Paskal. 

Sarah memandang Moca yang terlihat kacau. "Mo. Kau harus berhasil menjadi prajurit terlatih dan setelah itu pergi menemani Eli kemanapun ia pergi." Sarah mengelus kepala Moca sedikit setelah itu berbalik menuju istana. 

Moca tidak bisa pergi kemanapun ketika tangan itu menarik, membawanya menuju gerombolan pemuda. "Ia akan menjadi murid baru setelah ini, bantu dia dengan baik!" Suara Paskal berubah menjadi tegas di lapangan, membuat Moca sedikit tersentak. 

"Ah, kau yang sejak kemarin bersama dengan Madam Sarah!" salah satu pemuda itu tersenyum dan mendekat. "Siapa namamu?" Tetapi Moca tidak menjawab, ia tidak mengerti apa yang tengah terjadi. 

"Berhenti berbincang dan kembali ke dalam barisan!" Sekejap mereka membentuk barisan, beruntungnya seorang pemuda menarik tangan Moca dan membawanya membentuk barisan. 

Ia sedikit terbata-bata dalam mengikuti gerakan para pemuda itu berlatih pedang kayu. "Kau!" Moca kembali tersentak ketika Paskal menunjuk ke arahnya. "Aku tidak akan memberimu pelatihan dasar, cobalah untuk menyesuaikan!" Moca berulang kali kehilangan pegangannya pada pedang kayu. 

Ia melihat para pemuda lain terlihat keren dan menyadari kalau dirinya adalah payah. "Ck, pegang yang benar seperti ini." Paskal membenarkannya sebentar tapi setelah beberapa gerakan pedang kayu itu kembali terlempar ke tanah. Moca mencoba mengangkat kembali pedang kayu itu, tapi tangannya sudah tidak kuat untuk mengangkat ujung pedang mengudara. 

Pedang kayu itu jelas berat karena terdapat baja pada bagian tengahnya. 

Paskal hanya bisa mengerutkan alisnya melihat bocah pilihan Eli itu begitu tidak berguna. "Hentikan latihannya!" Ia hanya bisa memberinya tugas lain yang bisa ia lakukan. 

"Lari bersama sampai jam pelatihan selesai!" 

"Baik!" 

Antara terkejut tidak percaya namun memaklumi bagi Sarah ketika melihat Moca kembali dengan kondisi kotor diatas punggung pemuda lainnya. Ia sedikit tertawa kecil membayangkan kalau Eli mengetahui Moca tengah berada di punggung pemuda lain. 

"Biar aku yang mengurusnya, Roy." Sarah mendekat mengambil Moca dari punggung pemuda bernama Roy itu. "Madam, kalau boleh tau siapa namanya dan berapa usianya?" Pemuda berusia 12 tahun itu tidak bisa tidak penasaran. 

"Kau bisa memanggilnya Mo, usianya 7 tahun." Sarah menjawab ramah. "Madam, dia melakukannya sangat parah di pelatihan. Tidak ada yang bisa ia lakukan dengan benar." Roy mengasihani Moca yang terlihat kesulitan itu. "Ahah, benarkah?" ia tertawa kecil. "Pasti tubuhnya akan pegal semua. Aku harap ia masih bisa bertahan karena Tuan Paskal tidak suka ada yang membolos dari kelasnya."

Sarah mematung. Berpikir mungkin ia sudah mengambil keputusan yang salah. 

"Baiklah, kembali ke kamarmu, aku yang akan mengurusnya." Roy mengucapkan selamat malam dan segera kembali ke kamarnya. 

Ia memandikan Moca yang hanya menatapnya diam. "Kau kesal denganku?" Sarah bisa tau apa yang matanya ucapkan. "Memang sulit dan itu satu-satunya jalan kalau kau ingin mengabulkan impianmu. Aku masih ingat Eli menghabiskan waktunya hanya untuk bermain pedang setiap harinya. Ia mencuri perhatian Pangeran Yo yang mengajaknya berduel." 

Moca merasa lelah, tapi ia mendengarkan baik-baik. "Dulu Eli juga kesal karena keluarganya mengirimnya ke istana. Ia berlatih dengan keras dan bukannya kembali ke rumah ia harus pergi memimpin pasukan perang." 

"Pernah ia kesal, karena itu ia melampiaskan semuanya ketika berduel dengan temannya. Ia mematahkan lengannya." 

"Moca.. aku tidak akan memaksamu. Apa kau ingin berlatih atau tidak, aku juga bisa mendidikmu menjadi seorang wanita bangsawan kalau kau lebih menginginkannya." 

"Liel.. aku tidak boleh memberitahunya, kan?" Sudut bibirnya terangkat membuat Sarah ikut merasa bangga. 

My MocaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang