Pascal mengumumkan pemenangnya, Pangeran Yo dan Eli. "Kau pikir keahlian Pangeran Yo dan Eli yang terbaik di negara kita tidak dimiliki negara lain?" Pascal mulai berceramah akan seberapa payah kelompok yang dibilang bakal pemimpin barisan depan ini jika menghadapi musuh yang kekuatannya masih tidak diketahui.
Kelompok tentara pasukan Emeria bukanlah makhluk lemah. Ratus ribu pasukan itu membentang dari utara hingga selatan dengan tempat pelatihan mereka masing-masing yang terbilang ekstrim. Baik di bagian utara yang selalu dingin dan bagian selatan yang panas. Setiap pasukan akan mengitari perbatasan dari utara hingga selatan dan dari selatan ke utara, dan diberikan pengecualian untuk pasukan istana yang harus berlatih ekstrem di istana dari guru pilihan.
Pascal berbincang panjang lebar ditengah salju yang tengah membuat pasukan dengan pakaian tipisnya membeku. "Hatsyim!" Suara salah seorang prajurit itu menghentikan ceramah Pascal, mencuri atensinya. "Lihat ini! Belum seberapa kalian sudah lemah! Blah-blah wadda-wadda~"
Pangeran Yo yang juga ikut berbaris di bagian depan juga merasa simpatik pada pasukan itu. Ia menepuk pundak Pascal untuk berhenti. "Sir, sebaiknya kau menghajar mereka dengan latihan keras." Ia tersenyum pada Pascal membuatnya mengangguk setuju. "Benar! Jangan malas latihan! Ingat sebulan kita disini kalian harus mencari makanan kalian sendiri! _" Pascal ingin melanjutkan pidatonya tetapi tangan Pangeran Yo mencengkeram pundaknya lebih keras.
Eli hanya nyengir melihat kelakuan yang hanya bisa dilakukan oleh wewenang "pangeran".
"Ekhem_ Baiklah bubar dan urus diri kalian masing masing!" Pascal membubarkan pasukan yang langsung masuk ketenda dan menyalakan perapian.
Pascal yang melihat hal itu menggeleng kepala, pidato panjangnya sia-sia. Tetapi yang dilihatnya kemudian membuatnya tambah kecewa, Pangeran dan Eli juga turut masuk ke dalam tenda. Meninggalkannya sendiri di lapangan.
"Pangeran Yo, kapan anda akan kembali ke istana?" Eli bertanya pada Pangeran yang tengah duduk di kursi. "Apa Ayah memintaku untuk cepat kembali?" Ia balik bertanya. Melihat Yo menggeleng pelan membuatnya tersenyum. "Kalau begitu aku akan disini sedikit lebih lama.. Aku bosan terus-terusan di istana." Eli hanya tersenyum tipis, paham karena ia juga bosan.
"Pasukan Pascal semakin berkembang pesat, aku sampai ragu apa aku yang semakin lemah." Pangeran Yo menyatukan tangannya di meja. "Tapi tetap saja, aku tidak lemah. Bahkan aku sudah mengalahkanmu ilmu pedangmu."
"Saya ikut senang anda semakin baik setiap harinya."
"Duduklah, kau pasti juga lelah melawan 11 orang sendirian." Ia mempersilahkan agar Eli bisa duduk di sebelahnya. "Kelihatannya kau masih tidak mau mengalah pada Andrass." Ia tersenyum mengingat Eli lagi-lagi mengalahkan Andrass.
"Omong-omong, that beauty boy cukup menarik.. hahah, apa karena dia masih kecil jadi wajahnya terlihat persis seperti boneka? Kau tahu namanya?"
"Mo, namanya Mo."
.
.
.
Emeria adalah negara yang panjang, melintang dari bagian utara yang dingin hingga ujung selatannya yang hijau dan subur. Sumber daya alam mineralnya juga tidak bisa diremehkan. Bagian barat laut merupakan laut yang berbatasan lagi dengan negara lain, tetapi bagian timur lautnya merupakan laut lepas.
Kekayaan itu bisa dikatakan menjadi kebanggaan, tapi juga menjadi nilai minus. Negara di sebelah timur laut merupakan negeri yang penduduknya kesulitan bertahan di musim dingin karena kekurangan pangan, negara di bagian barat daya adalah negeri yang tandus dan gersang. Hal itu membuat mereka merasa perlu untuk mendapatkan daerah Emeria. Setiap kesempatan yang ada mereka gunakan untuk menyerang dan berperang.
Hari yang panas, ditambah mereka harus berlari mendaki gunung yang terjal dengan kantung batu di pergelangan kaki dan tangan mereka. "Sial! Beda sekali kalau dibandingkan latihan biasa kita!" Siam menyeka keringat di dahinya.
"... mau mati" Rey ikut mengeluh ketika melihat tanjakan gunung yang tidak ada habisnya. "Ayolah semangat!" Arka mencoba menyemangati ketika yang tersisa pada dirinya hanya motivasi. Tubuh mereka basah oleh keringat. Dalam diam mereka mencoba setengah merangkak untuk terus mendaki.
"Ogah. balik." Rey berkata lemas sambil membalik badannya dan berjalan turun tanpa ragu. "O_oi!" Arka yang melihat Rey kembali mencoba mencegah tetapi bocah itu tentu sudah kehilangan telinganya.
"Rey benar, sebelum mencapai puncak aku mungkin sudah terkapar duluan.. Aku akan menggunakan sisa energiku untuk kembali.." Loi langsung menyusul Rey.
Akhirnya tidak ada satupun dari mereka yang mencapai puncak. Semuanya kembali turun dan itu masih tengah hari. Pria tua yang melihat hal itu sama sekali tidak heran dan hanya diam mengamati pemuda-pemuda yang menyerbu air sungai.
"Maaf, kami tidak dapat sampai ke puncak." Arka yang tertua itu merasa bertanggung jawab dan langsung menuju menuju kepada lansia itu. "Nanti kalian akan berlatih melompati batu batu itu bolak balik, 500 kali." Ia hanya memberi order tenang sementara Arka hanya mengiyakan dengan profesional.
.
.
.
Malam sudah datang.
Kemampuan memanahnya memang belum seberapa dibanding yang lain, tapi matanya lebih jeli mendapatkan mangsa dan memanahnya tanpa ragu. Kelinci itu sudah dibakar hingga matang olehnya. Andrass yang kembali masuk ke tenda membawa semangkuk besar paha rusa tapi ia tanpa ragu menggigit daging kelinci itu. "Oh, tasty.." Moca bertingkah tidak peduli dan membawa satu tusuk kelinci itu keluar dari ruangan.
Kakinya menuju tenda milik Pangeran Yo dan Eli.
"Ah, aku teringat dengan adikmu.." Mata Eli langsung bergerak cepat ke pada Ji. "Aku sudah lupa nama yang kau sebutkan.. Anyway, kau yang menyelamatkannya dari sana ia pasti menganggapmu malaikatnya." Eli tidak mengerti kenapa Ji tiba-tiba menanyakannya. "Kenapa kau membahasnya sekarang?"
"Melihat bocah kecil tadi membuatku teringat kau punya adik selain Mira." Eli hanya mengangguk. "Apa kau membawanya ke panti asuhan?"
"Begitulah." Eli menjawab ambigu. "Ey, kau tidak akrab dengannya?" Ji menelisik lebih jauh. "Mungkin akrab mungkin tidak.. Setiap aku kesana ia hanya lekat dengan penjaganya.." Ia merasa kesal ketika mengingat kejadian dimana Moca bahkan mengusirnya dari sofa. "Hahah, tentu saja ia mungkin sudah lupa kalau kau pernah mengurusnya."
"... dia lupa?"
"Ia hanya anak kecil.. Mungkin ia hanya menganggapmu sama seperti temannya? Kenalannya?" Ji merasa hal itu pasti terjadi karena mereka jarang bertemu. "Tidak, Mira bahkan masih lengket ketika bertemu denganku.."
"Kau menyamakan gadis itu.. dengan Mira?"
"Nggak, dia jelas lebih imut tapi.."
"Sudahlah. Makan saja." Satu sudut bibirnya terangkat melihat Eli yang tampaknya kecewa berat.
"...." Kaki kecilnya berlari masuk ketenda membuat Andrass dan temannya yang tengah memasak itu terperanjat. "Kau cepat sekali.. aku kira kau akan ber_" Andrass fokus dengan daging yang masih utuh itu. "Kenapa?" Ia meneguk ludah melihat ekspresi kesal Moca. "Wajahmu memerah.. Apa Eli menolaknya?" Moca hanya diam, ia duduk dekat perapian dan memakan daging kelinci itu.
"Bilanglah kalau kau ada masalah.." Melihat gadis yang biasanya tenang itu berwajah muram membuatnya merasa bersalah, ya.
"... Apa rambut berwana merah gelap lebih bagus daripada merah muda pekat?"
Pertanyaan itu membuatnya mengernyit tidak mengerti, "Kalau warnanya.. ya_ eh tidak, warna rambutku jelas lebih bagus." Ia menggosok rambutnya yang berwarna hijau tua.
"Hais, apa warna mata golden hazel lebih bagus daripada silver?"
"Kalau yang itu aku setuju." Temannya yang selama ini duduk disamping Andrass langsung menyikut lengannya. "Kau bodoh sekali!"
Ekspresi gadis itu semakin muram. "Tidak, tidak, warna rambut dan matamu itu bagus apa adanya." Ia mencoba menenangkan tetapi gadis itu hanya semakin kesal, menyodorkan kelincinya pada Andrass dan langsung berbaring di dipan, menutup badan seluruhnya dengan selimut.
They have no clue what happened.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Moca
Historical FictionTerlahir sebagai pembawa sial ? Tema : Kerajaan . . . Kritik dan saran sangat diperbolehkan :) Bukan plagiasi dan tidak boleh :v revisi berlangsung sangat pelan karena sibuk #1 princess 07-08-2021 tanggal ditulis: 30-3-2020 s/d 01-01-2021