Monice04

204 28 1
                                    

Tidak banyak waktu istirahat bagi pasukan Eli. Setibanya disana, mereka langsung disambut dengan meja rapat yang diatasnya terletak peta perbatasan. 

"Kita tidak bisa bergerak seperti yang sudah direncanakan, pasukan mereka sudah bergerak jauh lebih dulu daripada kita, tidak bisa dianggap enteng," ucap salah satu pengawal setia Tuan George, ayah dari Eli. 

"Sudah sampai mana mereka bergerak?" 
Perbincangan itu terus berlanjut hingga tengah malam. 

Akhirnya masing-masing dari mereka keluar dari tenda pengap itu. 

"Bagaimana? Apa menurutmu semua akan baik-baik saja?" Eli menanyakannya pada Moca yang sudah turut berdiskusi. Gadis itu menggeleng, "Aku tidak tau apa, tapi ada perasaan tidak enak.." 

Eli terkekeh, "Mungkin karena ini kali pertamamu, kau hanya gugup." Gadis itu mendengar dan mengendikkan bahunya. "Mungkin begitu?" Ia tidak yakin akan mengapa ia merasa janggal, "Aku lapar."

"Hahah, makanlah dan tidur, besok akan jadi hari yang panjang." Ia menekan kepala Moca dan mengacak rambutnya. 

.

.

.

Moca terbangun dari suara gaduh yang terjadi di luar. Suara dentuman pedang yang saling beradu. Blet! "Wuh!" Ketika pedang dari luar merobek tendanya dan tepat menyambut lehernya, ia segera menghindar. "Sial, aku lengah." Ia langsung berjalan keluar menghunuskan pedangnya. 

Ia tanpa basa basi menarik satu orang dari komplotan penyerang dan membawanya masuk ke dalam tenda. "Camp mana saja yang kau serang malam ini?" Ia sudah mengacungkan pedangnya ke leher. "Bu-bunuh saja aku.." 

"Hm? sure." Berbeda. Boneka jerami sama sekali tidak memancurkan cairan merah segar. Orang itu menjadi orang yang pertama. Darah itu mulai membanjiri bersamaan dengan masuknya 3 orang masuk ke dalam tenda. 

"Markas mana saja yang kalian serang, beritahu aku!" seorang pemuda kecil itu diremehkan. Gadis itu hanya menyisakan satu orang. "Bermain dengan mereka kalian cacat, bermain denganku kalian mati, beritahu aku!" 

"C_Camp 202" 

"Hanya itu?" Ia semakin mendekatkan pedangnya ke dagu. 

"C_camp 304, hanya itu" Moca tersenyum puas dan segera berjalan keluar dari tenda. Pria itu merasa memiliki kesempatan untuk menghabisinya, tetapi belati itu lebih dulu menghujam jantungnya. "Cih" Ia melanjutkan jalannya menuju camp yang berada di pinggir timur, camp 304. "Rey, kalau sudah selesai, camp 202."

Ia menarik kudanya dan segera menuju ke camp 304 yang sudah ramai oleh bara api. Merasa kesulitan untuk bertarung di situasi panas, ia masuk ke salah satu tempat peralatan dan mengambil busur dan anak panah. 

"Cih, kenapa banyak sekali, bagaimana mungkin?" Ia mengernyit sembari terus melayangkan anak panahnya. "Senior Moca! terima kasih sudah datang membantu." Orang yang hanya memanggilnya senior ketika butuh bantuan membuat Moca semakin mengernyit. 

"Apa yang terjadi dengan bara apinya?! Jangan sampai menyebar, tidak ada air yang bisa didapatkan!" Ia tambah kesal karena ia harus berteriak. 

"Kami tidak punya waktu untuk itu.. tapi kami sudah memanggil bantuan dari pasukan sebelah, mereka akan segera datang." 

"Ck" 

Ketika pagi datang, sebagian kecil tenda-tenda hangus, mayat berserakan dan pasir berwarna merah. 

Tapi tidak ada waktu beristirahat ketika terompet untuk segera bersiap dan berkumpul di tiup. Peperangan yang sebenarnya baru akan dimulai. 

Pemuda yang baru saja meletakkan pantatnya segera berdiri lagi melihat seseorang dengan pangkat lebih tinggi berjalan di jalurnya. "Lima menit hingga garis depan." Pemuda itu hanya bisa mengangguk melihat baju ziarah yang menunjukkan pangkat itu. Seusai memberi arahan, Moca segera menaiki kudanya dan kembali ke kemahnya. 

Ketika ia sampai semua sudah kembali bersih dan sudah bersiap untuk menggerakkan pasukan. Moca melihat sekilas sosok Eli dan Rey, tetapi tujuan utamanya adalah menjemput salah satu junior yang ditunjuk sebagai tangan kanannya. 

"Senior Mo!" orang dengan tubuh kekar berotot itu langsung menjalankan kudanya mendekat. "Hm. Freya, apa yang diminta Kapten?" Moca memacu kudanya lebih cepat untuk kembali ke pasukan atas komandonya. 

"Beliau meminta agar semua segera siap ke garis perbatasan dalam lima menit.. itu Anda dicari Komandan Liel.." 

"Liel? Aish.." Ia segera menarik tali kekangnya dan mengarah kudanya untuk berbalik. "Hahah, aku kira aku sedang berusaha untuk mengutamakan kepentingan negara dengan tidak mencoba menyita waktunya, tetapi aku selalu berusaha mentolerir apapun tentang Liel" 

"Satu-satunya orang yang berani memanggil Komandan dengan namanya begitu blak-blakan dan seseorang yang selalu mengikutinya.. adikku dirumah selalu memusuhiku meskipun aku berusaha dekat dan berbuat baik dengannya, tapi Anda bilang mentolerir apapun tentang komandan.." Moca hanya tersenyum tipis mendengarnya. "Senior, apa anda bisa beralih menjadi adik saya saja?"

"Hahah" Tapi senyumnya langsung hilang dan kembali lagi melihat Eli yang sama sekali belum naik ke kudanya dan masih di depan kemah. Gadis itu turun dari kudanya.

"Li_" "El.. jangan menatapku begitu, aku jadi takut hhh" 

"Apa yang kau tunggu, kau harus sampai ke perbatasan 3 menit lagi" Ucapnya setelah menginspeksi gadis itu dari atas hingga  ujung kaki. "Bukannya sama dengan kau?" 

"Kudaku lebih cepat" Ia menaiki kudanya. "Pastikan tidak terluka" Ia menatap adiknya sebentar kemudian pada orang yang ia pilih sendiri untuk menjadi tameng bagi Moca. 

"Kau juga, tidak boleh terluka" Moca mengatakannya dan segera berbalik, memacu kudanya lebih cepat. 

Liel melihat gadis itu agak lama hingga kudanya terlihat sangat kecil, "Komandan? Kita tidak boleh terlambat.." Leon tangan kanannya mengingatkan. Kemudian ia memacu kudanya cepat. 

Ia kira ia dapat melaksanakan semuanya seperti biasa tapi nyatanya jantungnya berlari lebih kencang oleh karena gadis itu tidak ada dipandangannya seperti seharusnya. Lebih berharga, paling berharga. Moca. 

My MocaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang