MOLI33

223 30 8
                                    

Di ruang rapat istana..

"Kau mau menyia-nyiakan bahan pangan kita untuk mereka?" Yo Ai yang jarang menyumbangkan pikirannya, bersuara. "Kalian ingin mereka menjadi tambah kuat dan justru menyerang balik ke Kerajaan kita?" Masuk akal. 

"Mereka sudah bekerja sama sekali untuk menyerang negara kita, bukan berarti tidak akan terjadi kedua kalinya meskipun kita membantu kedua kerajaan itu" 

Semua orang di ruang rapat itu terdiam mendengarnya. Pasalnya, Yo Ai bukanlah orang yang disegani, justru mereka berani cemooh dalam hati karena jaranglah bagi seorang perempuan untuk menghadiri pertemuan kerajaan kecuali sang Ratu. Gadis itu juga terlihat terlalu santai, nampak tak perduli. 

"Hn, lebih baik memang menghabisi mereka terlebih dahulu sebelum mereka menjadi semakin kuat," Pemilik tahta menyatakan persetujuannya. 

"Bagaimana secara damai menyatakan bahwa mereka akan menjadi bagian kerajaan kita? Kita harus meminimalisir korban tentara kita dan itu dapat menambah kuat pasukan kita?" Ji menyampaikan pendapatnya. "Lagipula kita tahu mereka sedang dalam masa sulit." 

"Ck, Kalian pikir Keluarga Kerajaan mana yang mau menyerahkan negara mereka begitu saja? Kita tahu betul seberapa keras kepala Raja Utara itu." Ai lagi-lagi membantah. "Berhenti memberikan ide tidak masuk akal. Bukankah lebih baik meladeni musuh? Setidaknya memberi kesempatan mereka untuk menyerang akan sedikit menyisakan harga diri mereka." 

"Hormati pendapat adikmu, Ai." Sang Ratu tidak diam. "Kalau kita bisa mencegah salah satu negara saja, maka mereka tidak akan percaya diri untuk menyerang." 

"Kita bisa menawarkan perjodohan Princess Yo Ai dengan Pangeran Albert" Pernyataan itu langsung membuat Ai berwajah sengit. 

"Mother!!" 

Semua orang disana hanya diam, hanya dia yang tampak geram. "Yang Mulia, perjodohan itu sudah gagal_"

"Memang gagal sekali, tapi bukan berarti tidak ada kesempatan kedua" Ratu membalikkan perkataannya. . 

"Khem" Sang Raja mengamati gadisnya, "Ai, Bukankah umurmu sudah mencukupi untuk melangsungkan pernikahan?" Yang terkejut bukan hanya Ai, tetapi juga Ji dan Eli. Bagi anak muda, perkataan itu terkesan keterlaluan. 

"Ayah hendak menjodohkanmu dengan Kerajaan Armania" Kerajaan besar di sebelah timur dengan harta yang melimpah. Tetapi gadis itu memilih untuk berdiri dan meninggalkan ruangan dengan kesal. 

Bukan Ai namanya kalau ia tidak meluapkan kekesalannya pada orang lain. Ia mencari keributan di Istana Prajurit. Sulit dimengerti, setiap kali ia marah, ia meluapkan semuanya pada Sarah. Ia tidak segan memberantakkan ruangan yang sudah ditata rapi itu. 

Sarah keluar dari kamarnya mendapati Ai yang tengah bersungut-sungut. 

"Princess.." Tidak pernah didepan matanya, gadis elok itu terlihat bahagia. 

"Am I really a princess?!" Tangan gadis itu mengacak aduk semua perabot dan isinya. 


"Sarah.." Ia mengatakannya pelan, matanya menatap marah juga sedih. "Kenapa pendapatku nggak pernah didengar? My feeling never matters and my existence just like invisible air?" Sarah berjalan pelan mendekati gadis itu. Just if, kalau saja ia tidak pernah membuat masalah, kalau saja ia selalu penurut, mungkin keberadaannya akan sama sekali tidak akan pernah diketahui. 

"Aku.. why am I have to tried so hard to get their attention? their love? and one more time, end up nothing" Perih, ketika melihat seringainya dengan wajah yang tertekan. Sarah memeluknya pelan, membiarkan gadis itu bersandar pada bahunya. 

Sebentar hingga gadis itu mendorong Sarah menjauh dan pergi dari ruangan itu begitu saja. 

Sarah hanya memandangi gadis itu pergi sebelum memutuskan untuk segera membereskan ruangan itu sebelum malam kembali datang. 

.

.

.

"Hehe" Gadis bersurai merah itu bersenandung senang di kamarnya sembari membaca buku. Tahun belakangan ini hidupnya terasa benar-benar bersemi penuh dengan bunga-bunga. 

Mulai dari rasa cintanya pada Pangeran Yo Ji, kemudian tanpa alasan khusus Sang Ratu sering menaruh perhatian padanya bahkan tidak segan menunjukkan perbedaan dengan memberinya kartu masuk istana dan menghadiahinya permata Alexandrite yang langka itu. 

Belum lagi hidupnya yang serba terpenuhi dan dirinya yang selalu disanjung-sanjung. 

Sebagai anak perempuan satu-satunya dari keluarga George, ia juga sering dibanggakan akan etika dan kebaikan hati. Tidak heran, ia menjadi buah bibir bagi kalangan bangsawan di usianya yang masih belia. 

Di istana ia juga disambut hangat oleh Tuan Putri Yo Ai, orang yang tidak pernah ia temui sebelumnya itu ternyata memberikan kesan hangat pada pertemuan pertama mereka. 

Mira George. Jujur, penyayang, rendah hati, murah senyum, ramah, dan naif. 


My MocaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang