Monice08

204 26 6
                                    

Danau kecil yang berada agak jauh ke utara. Eli bisa melihat sosok kecil yang tengah duduk berteduh dipinggiran danau dengan kuda yang merumput disekitarnya.

Ia baru saja ingin tersenyum lega, sampai ia melihat lebam kebiruan di pipinya. Gadis itu memandangi danau sambil bersandar di batang akasia muda. 

Eli turun dari kudanya, ketika akhirnya Moca menyadari ada sosok Eli didekatnya. Tetapi, gadis itu justru mendekap lututnya murung. 

Liel mendekat dan duduk disampingnya, "Bisa ceritakan padaku apa yang terjadi?" Ia mengelus lembut pipi gadis yang membiru itu. 

"Alma menjatuhkanku saat jalan pulang, dan aku tidak bisa kembali dengan wajah memar karena mereka akan mengira sesuatu terjadi selama tugasku menjadi perwakilan, jadi aku kemari." Alma yang mendengarnya, tidak terima, ia berkikik keras karena tidak mau martabatnya sebagai kuda bangsawan dinodai dengan melempar penunggangnya. 

Menurutnya barusan adalah kemampuan berbohong yang lumayan. Eli hanya diam menanggapinya. "Bagaimana, apa pertemuannya berjalan dengan lancar?" Melihat Eli mengangguk, ia sedikit lega. 

"Apa kau tidak mau menceritakannya?" Eli kembali bertanya. 
"Aku sudah"
"Dengan jujur" 

Moca tersenyum miring. "Kalau begitu apa kakak bisa ceritakan apa yang terjadi saat itu dengan keluarga kerajaan," Ia menatap Eli, "dengan jujur?" 

Eli mengangguk, "Ratu Edelweiss memintaku agar tidak kembali dari medan peperangan dengan utuh karena menganggapku akan menjadi saingan berat bagi Pangeran Ji saat ia diangkat menjadi Raja nanti. Princess Ai seperti biasa hanya tertawa, Raja sendiri setuju dengan pemikiran Ratu. Aku tahu Ji tidak menduganya, tetapi karena kesal, aku berkata buruk di depannya, dan karena itu ia juga kesal."

"Aku juga sudah memutuskan untuk mengundurkan diri dari posisiku begitu masalah ini selesai"  

Moca tidak ingin percaya mendengarnya, tetapi ia tahu kalau itu memang yang sesungguhnya. "Jadi, apa yang terjadi tadi malam?" Moca tidak memiliki pilihan lain selain menceritakan semuanya. 

".... dan aku memang tidak kembali karena memar di wajahku bisa menyebabkan salah paham." Eli mengangguk. "Ada berita lebih buruk lagi.." "Liel, itu Ayahmu" Moca bisa melihat dari tempatnya sekarang, dua orang yang tengah berkuda ke arahnya. Liel segera berdiri, ia waspada akan apa yang mungkin Ayahnya lakukan. 

"Moca, jangan mendekati mereka, tetap di belakangku." Moca merasa bingung hingga ia mengetahui kalau identitasnya kembali terungkap. 

Mereka saling berhadapan. "Eli, minggir." Jelas sekali motif orang itu kemari. Ia berniat menghunuskan pedang berat itu. 

"Ayah! Apa yang akan Anda lakukan?" Ketika pedang berat itu dihunuskan, ia tidak ragu untuk mengangkat pedangnya juga. 

"Liel" Tetapi Eli tidak membiarkan Moca keluar dari jarak yang menurutnya aman. 

"Eli, minggir" Sekali lagi kata-kata itu diucapkan. 

"Kenapa Anda masih mengurus Moca? Gadis ini sudah bukan anak Anda lagi, aku yang mengurusnya." Eli memegang pedangnya erat. 

"Dan karena kau adalah penerusku satu-satunya aku yang harus mengurusmu dan sekitarmu." Eli mendengus mendengarnya. 

"Jangan_" Moca, apa ia harus bangga memiliki kakak yang sangat melindunginya. Melihat keduanya beradu pedang dengan serius, rasanya menyebalkan. Kenapa karenanya seorang ayah dan anak harus beradu pedang? 

"Ayah, apa kau harus melakukan ini?"

"Kalau bisa aku juga tidak ingin, tapi ini harus." 

Aku ini apa? 

Sebuah variabel pengganggu? Apa setiap keputusan yang diambil adalah kesalahan? Kalau aku biarkan yang kali ini lewat, apa itu juga kesalahan? Bagaimana agar aku berhenti melakukan kesalahan?

Sama dengan satu nyawa pasukan di peperangan, terlihat tidak berharga, kan? 

"Nampaknya dia lebih tau apa yang harus dilakukan.." Eli mengernyit, mengikuti arah mata Ayahnya. 

Moca sudah mengarahkan pedang itu ke jantungnya sendiri. Sementara Eli yang ingin mencegahnya harus berhadapan dengan pedang Ayahnya. Tanpa berpikir panjang, Eli melempar pedangnya untuk melempar pedang Moca, dan kalau saja Kapten bukanlah kapten yang mengendalikan pedangnya dengan baik, ia bisa membunuh anaknya sendiri. 

"Moca!"
"Eli!"
"Kapten George!"

Ia melepaskan pedang beratnya ke pasir. Jantungnya berdegup kencang karena kecerobohan anak sulungnya. 

Eli langsung berlari mendekati Moca. Ia segera memeriksa luka yang ada di dada Moca. Tetapi, Moca justru memukul Eli. "Apa yang barusan kau lakukan?!" Ia ingin berteriak, tetapi suaranya sangat kecil karena menahan tangis dan kesal. "Kau bisa saja mati di pedang Ayahmu!" Kesal, apa ruginya dengan membiarkannya hilang dari hidupnya? Kenapa ia bertindak sangat gegabah?

"Moca, kau benar-benar ingin mati?!" Iya, apa ruginya dengan itu?

Luka yang dibuat Moca tidak bercanda, telat setengah detikpun gadis itu tidak mungkin bisa memukulnya seperti sekarang ini. "Akh_" Rasa perih itu datang menyusul, ia terduduk lemas, sementara tangannya dibanjiri darahnya sendiri. 

Tetapi orang itu mengambil kesempatannya, ia mengkode bawahannya untuk menembakkan anak panah ke arah Moca. 

My MocaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang