Chapter 43

541 77 5
                                    

A U T H O R POV

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

A U T H O R POV

"Kau melakukannya?" Lucy terkekeh untuk kesekian kalinya karena hal lucu yang tengah Ryan ceritakan padanya.

Lebih tepatnya Ryan sedang mencoba mendekati Lucy, hatinya terasa sakit jika mengingat kenyataan bahwa ia sudah bercerai dengan Lucy karena ia menandatangani surat yang telah James siapkan jauh-jauh hari itu.

Ryan semakin tidak ingin kehilangan Lucy dan ia semakin mencintai Lucy ketika ia telah mendapatkan jawaban dari bayangan yang selalu menghantuinya itu.

Ia sekarang tahu jika pemilik bibir itu adalah Lucy. Bibir yang tersenyum dengan begitu tulus padanya di masa lalu.

Selama ini Ryan hanya mendapat 1 ingatan itu saja, dan menurutnya kilasan itu cukup mampu menjawab semua pertanyaan di fikirannya.

Ryan tertawa sembari memainkan jari jemari Lucy di genggamannya kemudian menganggukkan kepalanya, "Aku selalu merasa malu jika mengingatnya. Bahkan aku menceritakannya padamu sekarang. Memalukan sekali." Kekeh Ryan dan Lucy.

Lucy semakin menengadahkan wajahnya untuk menatap wajah Ryan. Ia bergerak dengan nyaman di dada bidang Ryan yang kini menjadi bantalan kepalanya. "Kau sungguh cemburu pada Henry? Sampai kau menendang meja?" Tanya Lucy masih tidak percaya akan apa yang sedari tadi Ryan katakan.

Ryan tidak menjawabnya. Ia hanya menatap wajah Lucy untuk beberapa detik karena begitu malu.

Ryan bergerak untuk posisi menyamping menghadap ke arah Lucy di atas ranjang yang seharusnya hanyalah diperbolehkan untuk satu orang.

Lucy merasakan debaran jantungnya yang kembali berdegup kencang. Ia merasa lemah jika ditatap dengan begitu dalam oleh Ryan. "Kau tidak membenciku?" Tanya Ryan tiba-tiba membahas hal yang serius.

Lucy mengernyitkan dahinya, "Untuk apa?" Tanyanya penasaran.

Ryan mengeratkan pelukannya pada tubuh Lucy hingga wanita itu mampu menghirup aroma tubuh Ryan dengan begitu baik. Bahkan begitu dekatnya Lucy dengan Ryan, Lucy dapat mendengar dengan jelas detak jantung Ryan yang berirama cepat.

Perlahan Lucy tersenyum, 'Apakah ia berdebar saat berada di dekatku?' Batinnya bersorak gembira.

Lucy memejamkan kedua matanya menikmati betapa nyamannya usapan lembut Ryan di kepala dan punggungnya. "Apa kau tidak membenciku dengan semua yang telah ku lakukan padamu?" Tanya Ryan akhirnya membuat Lucy kembali membuka matanya.

"Apa kau tidak marah padaku karena selama ini aku telah berbuat kasar padamu? Aku bahkan membuatmu menangis setiap waktu, bukankah begitu?" Tanya Ryan membuat Lucy menyetujuinya dalam diam.

Benar, Ryan selalu membuat Lucy menangis setiap waktu. Hanya saja hati Lucy terlalu luas untuk menerima kehadiran Ryan di hidupnya. Cintanya terlalu besar untuk Ryan hingga ia benar-benar buta dan mati rasa dengan semua hal yang Ryan lakukan padanya.

Ia akan selalu memaafkan Ryan. "Apa kau tidak marah karena aku telah membuat anak kita pergi?" Kini Lucy menitikkan air matanya.

Ia memejamkan kedua matanya. Tangannya bergerak untuk memeluk tubuh Ryan dengan erat. Ia bahagia mendengar Ryan akhirnya mengakui anaknya yang telah pergi itu sebagai anaknya juga, hanya saja keadaan tidak akan berubah. Janin itu telah tiada. "Seharusnya aku melakukan apa yang James katakan. Aku harusnya masuk ke dalam penjara karena telah membuat anakku sendiri pergi." Kini Ryan terdengar gemetar.

Lucy mencengkram pakaian Ryan dengan kuat, hatinya tidak setuju dengan apa yang baru saja Ryan katakan. Ia tidak ingin semua perjuangannya sia-sia.

Lucy bergerak untuk beringsut semakin masuk ke dalam dekapan Ryan yang begitu hangat. Sudah lama ia merindukan hal seperti ini. 

"Kau tidur?" Bisik Ryan tidak bergerak berlebihan. Ia tidak ingin pergerakannya membuat Lucy terbangun.

Walau sebenarnya Lucy masih terjaga. Hanya saja ia menikmati momen itu. Ia masih mendekap tubuh Ryan dengan erat, kedua matanya terpejam dan ia masih setia mendengarkan semua keluh kesah Ryan. 

Lucy sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan memperlihatkan air matanya pada Ryan. Ia hanya ingin memperlihatkan senyum dan tawanya.

"Aku ingin hidup bersamamu ... Wanita lucu." Kedua mata Lucy kembali terbuka.

Kini ia benar-benar terkejut bukan main. 'Julukan itu ...' Batin Lucy menjerit. Air matanya kembali menetes membasahi pipi dan sedikit pakaian Ryan. 

'Bagaimana bisa kau memberikanku julukan yang sama ... Saat pertama kali kita bicara lewat telefon? Bagaimana bisa? Sedangkan kau bilang tidak mengingat apapun bersamaku ...' Batin Lucy bertanya-tanya.

"Julukan itu sangat cocok dengan postur tubuh, wajahmu dan caramu berbicara." Tukas Ryan lagi yang masih setia bergumam sendirian.

'Kau benar-benar ajaib. Kau mengatakannya sangat sama persis dengan dulu Ryan.' Lucy menggigit bibirnya kuat, ia tidak ingin Ryan mendengar isakannya.

Sesekali Ryan mencium puncak kepala Lucy dengan manis dan mengeratkan dekapannya. "Aku memang tidak mengingat apapun, dan sungguh ... Itu sangat menyiksaku. Hati dan fikiranku selalu berbeda arah, dan hal itulah yang membuatku selalu gegabah dan berakhir menyakitimu. Maafkan aku ..." Parau Ryan kembali menciumi puncak kepala Lucy.

"Aku mencintaimu."

.
.
.

L U C Y POV

"Aku mencintaimu." Itulah kalimat terakhir yang Ryan katakan padaku sebelum ia benar-benar terlelap di sampingku.

Ia masih mendekap tubuhku dengan erat.

Aku benar-benar terkejut dengan apa yang baru saja ia katakan hingga membuatku menangis. Lebih tepatnya ia sedang mengatakan banyak sekali pengakuan padaku.

Aku tidak tahu sejak kapan ia mencintaiku dengan dirinya yang sekarang. 

Aku tidak tahu sejak kapan ia mengakui anak ku dengannya.

Dan aku tidak tahu ... Sejak kapan ia memberikanku julukan itu dengan dirinya yang sekarang.

Aku bergerak menengadahkan wajahku.

Perlahan aku tersenyum melihat wajahnya yang tengah terlelap dengan sangat damai disana.

Tanganku bergerak naik ingin menyentuh wajahnya yang begitu menarik perhatianku sejak dulu.

Dan setelah berhasil, aku mengusap wajahnya dengan lembut. Dan entah mengapa aku mengeluarkan air mataku lagi.

Apa aku sedang menangis terharu?

Bahkan diriku tidak bisa menentukan suasana hatiku sendiri sekarang.

"Aku juga mencintaimu Ryan." Gumamku gemetar.

Aku bergerak menyatukan dahiku dengan miliknya. Tanganku masih mengusap salah satu pipinya yang begitu lembut.

Kedua mataku terpejam. "Aku juga mencintaimu Ryan. Sangatt mencintaimu."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
My Endless Love [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang